Setelah sang empu rumah membalas salam, Desna (45) dan suaminya, warga sebuah dusun di pinggir kota Padang, langsung duduk dan berkata "Jadi, maksud kedatangan kami, hendak memberi tahu, anak kedua kami akan menikah akhir pekan ini."
Lantas Desna menyodorkan bungkusan plastik berisi permen. Beberapa saat kemudian suami Desna melanjutkan, "Sekalian kami mengundang suamimu," sembari mengeluarkan dua jenis bungkus rokok.
"Ya...kami tinggalkan rokok ini dan tolong sampaikan ke suamimu," tambah Desna sambil pamit.
Sang empu rumah Liza (35), menyahuti, "Ya bu." Usai makan malam, Liza langsung memberi kabar pada suaminya, "Uda (kakak), tadi ada yang mengundang untuk datang ke pesta perkawinan Minggu depan. Ini sebatang rokok dititipkan untuk uda," tuturnya.
Mengundang ke pesta perkawaninan dengan sirih dan rokok, sudah menjadi tradisi sejak lama di pelosok Minangkabau.
Sekarang daun sirih, pinang muda, serta gambir telah diganti dengan permen. Tapi rokok sebagai undangan pesta, tetap belum berubah.
Undangan modern tampaknya tak mampu menggeser tradisi itu. "Tradisi merokok telah ditoleransi sejak dulu," kata Ketua Komisi Fatwa MUI Sumatera Barat, H. Gusrizal Gazahar di Padang Panjang.
Gusrizal mensinyalir tradisi semacam itu telah menjadi salah satu pemicu tumbuhnya jumlah perokok di Sumatera Barat, baik perokok anak-anak maupun dewasa.
Fatwa
Pada pertengahan Januari 2008 lalu, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) se-Indonesia pada Ijtima' ke-3 di Padang Panjang, Sumatera Barat, mengeluarkan fatwa haram merokok bagi anak-anak, wanita hamil dan merokok di tempat umum.
Keluarnya fatwa MUI ditanggapi beragam bagi kalangan masyarakat. Para perokok berat tentu sulit menerima. Sebaliknya ada juga merespons positif dengan mempertegas fatwa itu.
Pemeritah Kota Padang Panjang, Sumbar akan menindalanjuti dengan Peraturan Daerah (Perda) dan menolak iklan rokok, walaupun pemerintah harus kehilangan pajak miliaran rupiah tiap tahun.
Namun mengubah tradisi itu bukan pekerjaan mudah. Merokok telah menjadi tradisi yang ditoleransi sejak dulu.
Fatwa MUI tentang haram merokok juga diragukan bisa menyentuh tradisi rokok sebagai undangan pesta.
Bahaya Rokok
Ketua Komisi Perlindungan Anak (KPA) Sumbar, Muharman beberapa waktu lalu mengatakan, fatwa MUI mengharamkan merokok bagi anak-anak, wanita hamil serta anggota MUI harus didukung.
Namun, ia menyayangkan hukuman haram merokok hanya dibebankan kepada anak-anak. "Ini bentuk diskrimasi terhadap anak-anak."
Semestinya fatwa rokok harus tegas untuk seluruh elemen masyarakat, tidak hanya ditujuhkan terhadap anak-anak.
Koordinator Bidang Perlindungan dan Penguatan Aliansi di Komisi Nasional Perlidungan Anak (Komnas PA) Indonesia, Hery Chariansyah, ketika ke Sumatera Barat, sehari sebelum ijtima' Ulama berpendapat perlindungan terhadap anak, bisa saja dengan pelarangan menjual rokok pada anak-anak. Sebab, jumlah anak-anak merokok sudah terlampau banyak.
Data Susenas 2005 menunjukan, anak yang merokok mengalami peningkatkan yang mengkhawatirkan. Dampak rokok rokok terhadap anak-anak memang tidak dapat dilihat langsung. "Itu baru akan terlihat dalam jangka panjang, setelah mereka dewasa," ujarnya.
"Jika pada usia anak-anak sudah merokok, di usia 30 tahun mereka tidak akan produktif," katanya.
Hary menjelaskan, kelompok pendidikan rendah dan remaja adalah segmen masyarakat rawan yang perlu mendapat perhatian.
Karena sebanyak 67 persen laki-laki tidak sekolah atau tidak lulus SD kini menjadi perokok aktif. Perokok aktif remaja laki-laki usia 13 - 15 tahun kini mencapai 24,5 persen, remaja usia 15-19 tahun prevelensinya sebesar 33 persen.
"Yang mengkhawatirkan adalah rata-rata umur perokok juga semakin muda, yakni anak-anak berusia 5-9 tahun," katanya. Pemicu makin muda usia merokok, katanya, disebabkan maraknya iklan rokok yang mendorong anak-anak untuk merokok.
Selain itu, terdapatnya penjualan rokok secara eceran sehingga memudahkan anak-anak untuk merekok.
Pada anak berusia 5-9 tahun peningkatan prevalensinya tertinggi diantara semua kelompok umur di bawah 19 tahun, yaitu dari 0,4 persen pada 2001 menjadi 1,8 persen pada 2004 atau lebih dari empat kali lipat.
Hary mengungkapkan populasi perokok yang memulai merokok sebelum usia 19 tahun meningkat dari 69 persen pada 2001 menjadi 78 persen 2004. Padahal pada 1995 tercatat "hanya" 64 persen.
"Global Youth Tobacco Survey" (GYTS) yang diselenggarakan Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 2006 mengungkapkan 24,8 persen anak laki-laki dan 2,3 persen anak perempuan usia 13-15 tahun di Indonesia adalah perokok. Sekitar 3,2 persen dari jumlah tersebut telah berada dalam kondisi ketagihan atau kecanduan. Kondisi ini, hampir terjadi di seluruh wilayah Indonesia.
Menurut Hary tingginya angka perokok muda, salah satunya disebabkan lemahnya pengawasan orangtua dan sekolah terhadap perokok anak-anak. "Terbukti pelajar SLTP dan SLTA masih banyak yang merokok, bahkan saat jam istirahat belajar."
Fenomena itu, masih dapat ditemukan di Kota Padang dan juga pada kabupaten dan kota lainnya di provinsi Sumatera Barat.
Hal itu bisa terjadi karena selama ini masyarakat Minangkabau secara kultural memberikan toleransi soal rokok. Salah satunya adalah dengan menjadikan rokok sebagai simbol undangan perkawinan. ***