Pada 1 Maret 2009, 10 Kepala Negara/Pemerintahan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) menandatangani Deklarasi Peta Jalan menuju Komunitas ASEAN 2009-2015. Deklarasi utama yang akan menjadi produk dari pertemuan puncak (KTT) ke-14 ASEAN di Hua Hin, Thailand, itu adalah semacam panduan bagi 10 negara anggota ASEAN untuk mencapai cita-citanya mewujudkan suatu identitas tunggal ASEAN sesuai Piagam ASEAN. Deklarasi tersebut akan mencakup tiga cetak biru Komunitas ASEAN yaitu cetak biru politik dan keamanan, cetak biru ekonomi ASEAN, serta cetak biru sosial dan budaya. Dalam cetak biru politik dan keamanan ASEAN akan diatur, antara lain, upaya mendorong demokratisasi di kawasan, perlindungan dan promosi HAM melalui pembentukan Badan HAM ASEAN, pemberantasan korupsi dan pengaturan tentang ekstradisi. Dalam cetak biru ekonomi ASEAN dibahas upaya kawasan untuk mencegah dampak krisis keuangan global. Sedangkan cetak biru sosial budaya ASEAN membahas mengenai pelestarian lingkungan hidup, perubahan iklim, pekerja migran, toleransi antar umat beragama serta pelestarian dan promosi warisan budaya. Cetak biru sosial dan budaya disepakati karena sekalipun ASEAN akan menuju suatu masyarakat tunggal ASEAN pada 2015 dan menolak segala bentuk proteksionisme, kawasan tersebut sepakat untuk melindungi warisan budaya guna mencegah insiden saling klaim warisan budaya yang melibatkan sejumlah anggotanya. Dalam kunjungannya ke Sekretariat ASEAN, Jakarta, pekan lalu, Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejjajiva --yang negaranya mendapat giliran sebagai Ketua ASEAN-- mengatakan bahwa ASEAN akan membangun kemitraan yang lebih kuat dan lebih dinamis dengan mitra di dunia untuk memelihara perdamaian dan kesejahteraan di kawasan berpedoman pada Piagam ASEAN. "Kami akan terus menjadi organisasi yang melihat ke luar dengan mempererat integrasi regional dan bekerjasama dengan mitra-mitra di dunia," kata Abhisit. Dalam dunia yang saling terkait dan bergantung secara global satu sama lain, katanya, tak ada negara atau kawasan yang dapat diisolasi dari lingkungan internasional. Menurut dia, ASEAN tak bisa melihat ke dalam dan harus terus bergerak maju menghadapi tantangan dan ancaman yang cenderung bersifat lintas batas dan kait-mengait dengan bagian lain. Dikatakannya, krisis keuangan global yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa tak ada negara di kawasan itu yang kebal. Ia menambahkan bahwa cara terbaik ASEAN untuk terus bergerak maju ialah terus mempercepat kiprahnya dengan fokus pada tekad mewujudkan cita-cita sebagai masyarakat ASEAN. Hanya melalui ASEAN yang lebih terintegrasi, katanya, "kita dapat berkompetisi secara global dan kita dapat menjamin masa depan yang lebih baik bagi rakyat kita." Semangat untuk menciptakan era baru ASEAN sesungguhnya telah dimulai sejak dua tahun lalu ketika kelompok tokoh ulung ASEAN berkumpul guna merumuskan rekomendasi bagi penyusunan Piagam ASEAN. Tepat padausianya yang ke-40, forum kerja sama yang menaungi 10 negara Asia Tenggara --Brunei, Filipina, Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand, Vietnam-- itu merasa perlu untuk meresmikan hubungan mereka ke tahapan yang lebih "serius" secara hukum. Sekalipun selama 40 tahun hidup berdampingan dalam satu payung tanpa status hukum, negara-negara ASEAN tidak pernah terlibat dalam suatu konflik terbuka berkepanjangan namun bukan berarti kehidupan bertetangga itu tanpa friksi ataupun perseteruan. Mulai dari ketegangan Indonesia-Malaysia yang dipicu kasus pekerja migran hingga perseteruan Kamboja-Thailand memperebutkan candi Budha Preah Vihear. Salah satu hal yang rentan memicu ketegangan adalah ketidakpatuhan salah satu negara anggota kepada kesepakatan yang telah disetujui oleh kawasan. Kesepakatan-kesepakatan ASEAN yang pada umumnya hanya berbentuk konsensus memang relatif longgar sehingga ketaatan anggota terhadap keputusan itu acap kali semata-mata hanya didasarkan pada niat baik. Sekalipun, friksi itu tidak menghancurkan jalinan persahabatan yang telah terbina sedemikian lama namun para pemimpin tertinggi 10 negara ASEAN merasa sudah saatnya "ikatan" tersebut diberi status hukum yang kuat sehingga ada suatu payung hukum yang jelas untuk mengawal "tingkah polah" anggota ASEAN. Menteri Luar Negeri RI Hassan Wirajuda mengatakan bahwa piagam ASEAN akan menjadi instrumen yang berfungsi sebagai hukum dasar atau kerangka kerja legal, namun akan tetap fleksibel sehingga dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Piagam itu, lanjut dia, akan dirancang untuk menjadi dasar bagi organisasi antarpemerintah yang kohesif, kuat, dan berbasis-aturan, namun tidak akan membentuk sesuatu yang supranasional sebagaimana Uni Eropa. Pengesahan pemberlakukan Piagam ASEAN pada 15 Desember 2008 di Sekretariat ASEAN oleh para menteri luar negeri ASEAN, berubah dari rencana semula oleh para Kepala Negara/Pemerintahan ASEAN seiring penundaan KTT ke-14 ASEAN akibat krisis politik dalam negeri Thailand, juga menjadi salah satu pertanda keseriusan ASEAN menyongsong era baru. Pilihan ASEAN untuk memegang teguh komitmen bersama mengesahkan pemberlakukan Piagam ASEAN sesuai jadwal setidaknya membawa citra baik untuk keseriusan kawasan tersebut. Lagipula pesatnya perkembangan jaman dan derasnya tantangan yang dihadapi ASEAN seiring arus globalisasi dan keperluan guna menggalang upaya bersama guna mengatasi krisis keuangan global membuat ASEAN tidak memiliki pilihan lain. ASEAN tidak dapat lagi menunda perkuatan kerangka institusionalnya dalam rangka meningkatkan kinerjanya demi pencapaian cita-cita mewujudkan kawasan yang aman, sejahtera dan damai. Tahun 2009 menjadi momentum penting kawasan itu untuk menguji ketangguhan Piagam ASEAN dalam menghadapi segala tantangan jaman.(***)

Pewarta : Gusti NC Aryani
Editor :
Copyright © ANTARA 2024