Pemilihan Umum (Pemilu) yang akan memberikan gambaran pembangunan Indonesia ke depan sekaligus seleksi bagi para calon anggota legislatif (caleg) adu kepiawaian meraih simpati publik belakangan menjadi pemandangan sehari-hari.
Berbagai pola dan cara dilakukan Sang Caleg untuk meraih simpati sekaligus mensosialisasikan dirinya secara langsung kepada masyarakat. Baik melalui media promosi berupa iklan di media massa baik cetak ataupun elektronik, billboard, kalender, spanduk, stiker hingga menghiasi kendaraan mereka dengan gambar dan partai yang mereka wakili.
Sejauh ini, sosialisasi yang dilakukan mereka cukup efektif setidaknya hal ini dibuktikan dengan lirikan mata masyarakat selaku konstituen pemilih terhadap promosi mereka. Walau ini tak serta merta menunjukkan basis massa, minimal keberadaanSang Caleg mulai mendapat tempat.
Namun di sini pula letak permasalahannya, para Caleg hanya gencar mensosialisasikan dirinya lewat media luar ruang. Sementara performa tak mereka ubah sama sekali. Sehingga konstituen pemilih masih sering dan malah sangat acap melihat Sang Caleg berkendaraan dengan kaca tertutup.
“Bagaimana mungkin mereka bersosialisasi kalau kaca mobil mereka tutup. Malah tak jarang selain kaca mobil yang mereka tutup, muka mereka pun ditutup oleh kaca mata hitam. Sangat disayangkan, kebanyakan Caleg hanya butuh masyarakat memilih mereka tanpa mereka hirau kalau masyarakat pun butuh melihat mereka,” kata Astuti Amelia (30) seorang ibu rumah tangga berkomentar.
Apa yang dikatakan ibu beranak tiga tersebut, mungkin mewaliki puluhan, ratusan bahkan ribuan konstituen lainnya. Kalau saja kebiasaan ini tak dirubah, secara tidak langsung Sang Caleg justru melakukan sosialisasi berupa kesombongan sosial mereka kepada publik.
Meraih simpati publik sebenarnya tidaklah sulit, namun demikian tidak pula semudah membalik telapak tangan. Pendewasaan politik melalui serangkaian Pemilu yang telah dilalui, telah memberikan gambaran kepada masyarakat tentang bagaimana mereka harus berbuat.
Ataukah Sang Caleg lebih bangga melakukan “tebar pesona” melalui media yang telah mereka buat. Sementara mereka lupa untuk menebar pesona sosok pribadi mereka. Apalah artinya ratusan atau ribuan media kampanye kalau justru silaturrahim tidak mereka bangun dengan masyarakat banyak.
Caleg yang diusul sebuah partai politik tentulah orang-orang terbaik yang dipilih dari ribuan kader partai. Tapi apakah seleksi melalui mekanisme partai akan bisa memberikan respon positif dari masyarakat banyak.
“Ke depan, partai jangan hanya mengusung kader untuk memenuhi kuota saja. Alangkah lebih baiknya kalau partai justru mengusung kader melalui proses fit and propert test sehingga kader yang mereka angkat adalah kader yang teruji kualitasnya,” ujar Drs H St Ambia B Boestam MSi.
Dalam banyak kesempatan, masyarakat diajarkan dan ditunjukkan akan kepribadian Sang Caleg. Meski tak bergaul secara langsung, namun dengan melihat tingkah polah Sang Caleg yang lebih mempertontonkan kehebatan mereka disbanding empati dan simpatio kepada masyarakat, rasanya sulit bagi mereka meraup suara.
Sekarang, dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan untuk memberlakukan suara terbanyak murni, tentu tebar pesona saja tak cukup. Malah gelontoran uang yang dimiliki Sang Caleg, juga belum memberi garansi akan sebuah kursi legislatif.
"Dengan semakin cerdasnya masyarakat, maka kualitas, dedikasi dan pengabdian menjadi segala-galanya. Apalah artinya uang banyak kalau justru menjauhkan mereka dari pemilih mereka sendiri,” kata ketua kompartemen Litbang DPW PAN Sumbar, Ir Israr Jalinus Malin Mudo.
Seorang ibu rumah tangga seperti Astuti Amelia, politikus kawakan seperti St Ambia B Boestam serta politikus muda Israr Jalinus, meski berbicara dari sudut pandang berbeda, namun sesungguhnya mereka memberikan masukan yang sangat berarti tentang bagaimana seharusnya seorang Caleg mensosialisasikan diri mereka.(***)