Kunjungan kerja untuk yang pertama kalinya ke Desa Dusun-Sarolangun dalam dalam rangka orientasi tokoh desa, dikejutkan dengan munculnya seorang perempuan diantara tumpukan sampah dihalaman rumah pak Khalek, salah satu penduduk. Dengan tampilan rambut panjang acak – acakan, pakaian lusuh, dan berkain sarung panjang jenis batik. Setelah diperhatikan ternyata tangan sebelah kanannya memegang Parang. Dari gerak geriknya, tampak perempuan ini sedang mencari sesuatu diantara tempat sampah. Tapi secara mendadak salah seorang penduduk yang berdiri tepat disampingku, melontarkan sebuah kalimat agar perempuan tadi cepat keluar dari halaman rumah dan tidak mengambil barang apapun dari situ. Tanpa menjawab dan sedikit menoleh kearah kami, akhirnya perempuan itu bergegas pergi dengan membawa bungkusan karung. Sesaat kemudian semua orang terdiam. Untuk memecah keheningan suasana, aku mengajukan pertanyaan kepada pak Khalek tentang siapa perempuan tadi? Dan apa yang dia lakukan sebenarnya ? Karena sebelumnya sempat terlintas dikepala ku perempuan tadi adalah orang (maaf) gila. Ternyata dari keterangan Pak Khalek diketahui bahwa perempuan tadi adalah orang yang berasal dari kelompok yang disebut penduduk desa sebagai - Orang Kubu atau Sana’ Kenyataan ini membuatku makin terkejut. Pengetahuan ku tentang penamaan Kubu biasanya cenderung berkonotasi negatif (kotor, bau dan bodoh), dan bukankah seharusnya mereka berada jauh didalam hutan rimba sana, di lingkungan budayanya disekitar Taman Nasional Bukit Dua Belas. Dan kalaupun keluar dari habitatnya, pola hidup yang mereka pilih tidak begitu jauh berbeda dari pola hidup/kerja yang mereka geluti selama ini, mulai dari berladang ataupun berburu binatang hutan. Pak Khalek dan warga yang lainya mengatakan bahwa banyak orang Kubu (orang Rimba) seperti perempuan tadi yang berkeliaran di sekitar desa mencari barang bekas ataupun besi tua untuk dijual kembali ke penampung di Sarolangun. Tapi terkadang mereka (dituduh) mencuri barang ataupun hasil ladang karet (getah) penduduk desa. Salah seorang penduduk,Iwan, mengatakan pernah menemukan anak – anak orang rimba memanjat pohon pinang miliknya. Itu adalah awal pertemuanku dan pembentukan pengetahuan baru ku tentang orang rimba yang sudah tidak di rimba. Sekembalinya dari desa, di ruas jalan lintas sumatera menuju pusat kota Sarolangun, aku berpapasan dengan sebuah rombongan kecil. Dari atribut yang dikenakannya ku pastikan mereka orang rimba. P ernah disuatu siang di antara deretan pertokoan, serombongan kecil orang rimba yang terdiri dari ibu dan anak-anaknya, terlihat sedang meminta – minta ke pada pemilik toko ataupun pembeli yang lalu lalang, termasuk aku. Bahkan aku juga pernah menyaksikan rombongan orang rimba yang di usir seorang bapak pemilik gudang barang bekas. Saat itu mereka sedang mengorek - gorek tanah dengan parangnya dan secara kebetulan lokasinya berhadapan langsung dengan gudang barang bekas. Mungkin si bapak merasa khawatir orang rimba itu akan mencuri tumpukan barang bekas miliknya. Atau mungkin ada alasan lain. Aku pikir ini adalah realitas baru, sebuah episode baru dari perkembangan budaya orang rimba.Dan bisa saja pentahapan perkembangannya menjadi seperti pengkategorian yang diberlakukan terhadap suku Baduy, yang membentuk dua kategori sosial yakni Baduy Dalam dan Baduy Luar. Hal ini perlu di angkat kepermukaan dan di cari jawaban tentang apa yang terjadi sebenarnya? Dan secara ke ilmuan apakah ini berarti bahwa harus ada pendefenisian ulang tentang identitas orang rimba, menyangkut pengakuan sosial dari in group dan out group apakah mereka tetap dapat disebut dan menyebut dirinya sebagai orang rimba? Aku sendiri berasumsi bahwa realitas ini merupakan cermin ketidakmampuan struktur ataupun sistem yang di miliki serombongan orang rimba ataupun orang rimba secara keseluruhan menghadapi tekanan ekologis baik itu dari dalam struktur komunitas nya sendiri maupun tekanan pihak luar dari aktivitas – aktivitas ekonomi dan lingkungan yang bersentuhan langsung ataupun tidak langsung dengan orang rimba. Sehingga pada gilirannya ada yang memutuskan memilih jalan dengan cara keluar dari rimba. Realitas ini juga menggambarkan sepertinya orang rimba terbagi dalam beberapa perkembangan ataupun tipologi. Untuk kebutuhan keilmuan dan praktis, sepertinya perlu segera dilakukan pemetaan sosial terhadap realitas ini. Bisa saja satuan sosialnya adalah “ rombongan – rombongan orang rimba” Tapi apa yang telah dipilih rombongan orang rimba dengan hidup keluar dari rimba, dalam pandangan ku tetap menempatkan posisi mereka dalam rimba yang lain. Rimba belantara yang belum sepenuhnya mereka kenal dan belum mau mengenal mereka. Rimba dimana orang – orangnya tetap memanggil mereka sebagai Kubu atau yang lebih sedikit bersahabat sebagai Sana’(saudara). (***)

Pewarta : Juan Fransiska
Editor :
Copyright © ANTARA 2024