Perjuangan bagi kaum perempuan dalam konstelasi politik di Indonesia mendapat perhatian serius oleh bebagai kalangan. Fenomena ini muncul manakala kaum perempuan acap diklaim sebagai kaum penopang bagi kaum laki-laki untuk terjun dalam dunia politik, bahkan diskriminasi tersebut hampir dirasakan disemua dimensi kehidupan dimana trend perempuan sebagai pemimpin masih dianggap sakral oleh kalangan laki-laki.
Hagemoni kalangan laki-laki terhadap perempuan dalam dinamika perpolitik begitu kuat.
Dalam upaya meretas hagemoni tersebut, masuknya klausul keterwakilan perempuan dalam UU pemilu merupakan langkah strategis dalam upaya peningkatan keterwakilan perempuan walau menjadi bahan pertanyaan terkait kemampuan klausul tersebut mengakomodir kaum perempuan dalam panggung politik.
Mencermati situasi demikian, sesungguhnya persoalannya adalah bukan kuota berapa persen keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai maupun daftar calon legislatif, tetapi mengapa keterwakilan tersebut tidak terjadi secara alami dan harus diintervensi oleh UU.
Dibanding negara-negara lain, keterwakilan perempuan di Indonesia masih ketinggalan, meskipun secara umum keterwakilan perempuan di hampir seluru negara persentasenya rendah.
Di Pakistan pada pemilu 1992 angka keterwakilan perempuan mencapai 17 persen atau sekitar 60 orang dari 342 orang, Prancis pada pemilu 2001 angka keterwakilan perempuan di parlemen mencapai 47 persen, Swedia negara yang memiliki indeks pembangunan manusia tertinggih dunia menempatkan hampir 50 persen perempuan dilegislatif maupun eksekutif dengan kuota 42 persen.
Bahkan Afrika Selatan yang bangkit pasca politik rasis menempatkan sekitar 32,75 persen perempuan diparlemen Nasional dan rata-rata 32,2 persen jumlah anggota parlema perempuan ditingkat propinsi dan 44,48 persen jumlah menteri dan wakil menteri saat ini. Sementara itu jumlah kuota perempuan di Denmark 38 persen dan Norwegia sebesar 36 persen.
Di Indonesia, pada pemilu 2004, jumlah legislatif perempuaan di DPR RI sebanyak 61 orang dari 550 anggota DPR atau sebesar 11,82 persen. Angka ini mengalami kenaikan dari pemilu 1999 yang hanya menempatkan perempuan sebanyak 46 orang dari 500 orang anggota DPR. Ironisnya pasca reformasi persentase perempuan di DPR mengalami penurunan dibanding masa orde baru yang sempat mencapai angka 15 persen.
Menurut penelitian CETRO bahwa pada tahun 2003, keterwakilan perempuan pada lembaga-lembaga publik di Indonesia masih jauh dari proporsional. Di lembaga MPR keterwakilan perempuan sebanyak 9,1 persen, DPR 9 persen, MA 14,8 persen, KPU, 18,1 persen, bahkan BPK dan Gubernur tidak satupun ada perempuan.
Dari perbadingan angka-angka di atas, sesungguhnya keberadaan perempuan dalam panggung politik belum menjadi prioritas. Ketergatungan politik pada kaum laki-laki seolah telah ditahbiskan dan keharusan dalam suatu negara meski fase dalam sistem pemerintahan silih berganti.
Kalaupun ada peningkatan persentase perempuan dalam panggung politik, bukan karena kesetaraan berpolitik pada setiap manusia, namun dikarenakan intervensi regulasi dan dalam rangka pemenuhan syarat Intervensi Regulasi.
Reformasi membukan ruang bagi setiap orang untuk terjun dalam dunia politik. Tidak terkecuali perempuan yang selama ini masih dinomorduakan dalam perolehan kesempatan berpolitik walau memiliki kualitas yang mumpuni.
Pada pemilu 2004 keterwakilan perempuan masih sangat minim, bahkan sejumlah regulasi yang mengatur keterwakilan perempuan dalam panggung politik tidak mampu terlaksana dengan baik.
Ironisnya hampir semua kontestan pemilu 2004 menempatkan perempuan pada nomor urut rendah atau hanya sekedar persyaratan daftar penyusunan calon legislatif suatu partai. Tidak heran jika jumlah perempuan di parlemen nasional sangat minim dari masing-masing partai atau bahkan ada juga partai yang tidak memiliki perempuan sebagai wakil dari partai yang bersangkutan.
Menjelang pemilu 2009, keterwakilan perempuan dalam daftar calon legislatif juga menjadi perhatian serius. Dalam perubahan terbatas UU partai politik yang menjadi UU nomor 2 tahun 2008 disebutkan bahwa pengurus parpol harus menyertakan 30% keterwakilan perempuan (Psl 1 ayat 2), bahkan dalam pasal 1 ayat 5 disebutkan kepengurusan partai juga menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan, termasuk pengurus parpol ditingkat propinsi dan kabupaten/kota yang diatur dalam AD/ART partai. Disamping itu dalam pasal 62 ayt 2 menyebutkan bahwa 1 dari 3 bakal calon terdapat perempuan sebagai bakal calon
Namun persoalannya terjadi ketika tiada saksi tegas kepada partai bila tidak menyertakan perempuan dalam daftar calon legislatif yang mengharuskan 1 dari 3 daftar calon harus menyertakan perempuan.
Ironisnya jika suatu partai tidak memuat 30 persen keterwakilan perempuan dalam daftar calon, KPU/KPUD propinsi, KPUD Kabupaten/kota akan memberi kesempatan kepada Parpol yang bersangkutan untuk memperbaiki daftar calon legislatif Mempolitisir Perempuan.
Sesungguhnya substansi UU Pemilu yang telah disahkan bukanlah jaminan kaum perempuan mendapat kesempatan yang luas sebagai calon legislatif meskipun Kuota dalam UU pemilu lebih tegas menyurakan keterwakilan perempuan.
Dalam konteks demikian, menurut Anna Ballebo anggota parlemen Spayol (dikutip dari buku menyibak tabir perempuan berpolitik) menyebutkan bahwa kuota merupakan pedang bermata dua.
Manakala kaum laki-laki yang berpikir tentang keterlibatan perempuan dalam dimensi politik praktis, maka ada kecendrungan laki-laki akan mencari perempuan yang mudah diatur, perempuan yang mudah menerima hagemoni kaum laki-laki, termasuk soal ideologi partai.
Implikasinya, meski keterwakilan perempuan bertambah di parlemen, namun tidak memiliki keleluasaan, bahkan sebagai pelengkap kaum laki-laki terutama terkait menyuarakan kepentingan partai.
Situasi budaya politik di Indonesia yang acap tidak berpihak kepada kaum perempuan mengharuskan perempuan selalu terbelakang. Belum terdapatnya konstruksi kebijakan terhadap perempuan, baik dalam pengaturan UU sampai pada porsi kebijakan menjadikan perempuan dalam multidimensi akan mudah dipolitisir. Proses ini ditandai dengan pengaturan spesifikasi perempuan dalam berpolitik yang mengindikasikan bahwa hak berpolitik hanya miliki kaum Adam dan akan diberikan sekian persen bagi kaum Hawa.
Image politik yang hanya diperuntukkan bagi kaum laki-laki harus segera diredusir. Meskipun saat ini telah banyak kiprah perempuan Indonesia yang memangku jabatan strategis dalam ranah publik (termasuk parlemen), tetapi persentasenya tidak refresentatif melihat angka perempuan di Indonesia mencapai lebih dari 50% dari jumlah penduduk Indonesia.
Penulis Adalah : Berman T. Sibuea
Ketua GMKI Cabang Padang Masa Bakti 2007-2009