Jakarta, (Antara) - Lulusan arsitek dalam negeri belum memiliki "jam terbang" yang memadai karena minimnya bekal penguasaan pengetahuan tentang arsitektur dari sisi ekonomi sehingga kalah bersaing dengan arsitek negara tetangga, kata praktisi arsitektur Kurjanto Slamet. "Mempelajari arsitektur tidak sekadar menguasai dari sisi teknis saja, yakni merancang dan menjadikan suatu bangunan memiliki nilai seni, tetapi juga wajib menguasai dari sisi ekonomi, yakni terkait dengan pembiayaan dan hitungan ekonomis ketika merancang bangunan," kata Kurjanto Slamet salah satu juri pada lomba "Nippon Paint Young Designer Award" (NPYDA) 2014 kepada pers di Jakarta, Senin. Kurjanto yang juga pemilik firma "Ong & Ong" berkedudukan di Singapura dan terlibat dalam perancangan Masjid "Al-Ansar Singapura" itu mengatakan bahwa perbedaan lulusan dalam negeri dengan, misalnya, mahasiswa arsitek di Singapura, yakni mereka diwajibkan selama minimal satu tahun melakukan praktik kerja di perusahaan arsitektur yang kredibel dengan pengawasan dosen dan menjadi salah satu syarat kelulusan. "Di sinilah seseorang akan belajar tentang isu-isu praktik yang sebenarnya, bagaimana menghasilkan uang dari usaha properti dan rancang bangun lainnya untuk mendapatkan praktik terbaik sehingga ketika lulus dia tidak sekadar menguasi teori semata, tetapi juga pengalaman bekerja. Intinya, mereka wajib memiliki portofolio," katanya. Kurjanto mengatakan bahwa seorang arsitek yang bekerja untuk sebuah developer akan dianggap sudah memahami secara teknik dan ekonomi ketika mulai merancang sebuah bangunan. "Dari aspek ekonomi, bagaimana nilai tanahnya? Apakah nilai suatu tanah dan lingkungan sudah cocok dan sesuai dengan harga bangunan? Penguasaan aspek ekonomi saya lihat yang belum dimiliki umumnya aristek dalam negeri," katanya. Lebih lanjut Kurjanto mengingatkan dunia arsitektur dan desain interior tidak bisa didalami secara instan, baik mahasiswa maupun lulusan baru dari jurusan arsitektur harus memiliki kemauan yang kuat pada bidang yang ditekuninya, keberanian untuk memujudkan ide-idenya. Oleh karena itu, lulusan serta mahasiswa arsitektur Indonesia harus rajin mengikuti lomba. "Kelemahan kita adalah kurangnya pengalaman mengikuti berbagai ajang lomba baik yang diselenggarakan di dalam maupun di luar negeri," katanya. "Ilmu saja belum cukup untuk menjadikan lulusan siap pakai sehingga mahasiswa arsitektur wajib mengikuti ajang lomba dan tidak cukup hanya di dalam negeri. Buat apa kalau hanya jago di kandang sendiri tetapi harus berani go internasional dengan mengikuti kompetisi sejenis tingkat internasional," ujarnya. Peluang bisnis arsitektur di Indonesia, menurut dia, masih cukup besar. Namun, kondisi perekonomian di dalam negeri turut memberikan pengaruh yang besar, seperti melemahnya nilai rupiah merupakan suatu ganjalan. Oleh karena itu, seorang arsitek harus memiliki wawasan ke depan, berani untuk mencari pengalaman hingga di luar negeri setelah itu praktik yang pernah didapat bisa diterapkan di dalam negeri. Lebih lanjut Slamet Kurjanto menyatakan mahasiswa dan lulusan arsiktur dari berbagai perguruan tinggi dapat menjajal kemampuan mereka melalui ajang NPYDA 2014 sebuah lomba merancang bangunan yang mengusung tema "Re Think, Re Create Future Living 2030". "Keberadaan sayembara maupun lomba-lomba desain sangat berharga dalam menjembatani dan menciptakan link and match antara pendidikan tinggi arsitektur dan dunia kerja," tambahnya. NPYDA sendiri merupakan ajang kompetisi tahunan untuk mahasiswa Arsitektur dan Desain Interior tingkat internasional yang diikuti oleh sembilan negara Asia, seperti Indonesia, Tiongkok, Jepang, Malaysia, Pakistan, Singapura, Thailand, Vietnam, dan Hong Kong. "Lomba-lomba sangat penting untuk membantu kesiapan SDM arsitektur Indonesia dalam memasuki pasar bebas ASEAN 2015. Kita harus siap, kalau tidak arsitek asing yang bakal menyerbu Indonesia," katanya. Para pemenang nantinya terbagi dalam beberapa kategori, yakni Gold Award dengan hadiah Rp15 juta, Silver Award Rp10 juta, dan Bronze Award Rp5 juta.(*/sun)

Pewarta : 172
Editor :
Copyright © ANTARA 2024