Padang (ANTARA) - Indonesia merupakan negara megabiodiversity nomor 2 di dunia setelah Brazil. Berdasarkan pemeringkatan Global Biodiversity Index 2022, Indonesia memiliki sebanyak 1,723 jenis burung, 282 jenis amfibi, 4,813 jenis ikan, 729 jenis mamalia, 773 jenis reptil, dan 19,232 jenis tanaman berpembuluh. Namun sumber kekayaan dunia tersebut terancam berkurang drastis.
Dalam Living Planet Index, World Wildlife Fund (WWF) mencatat populasi yang menjadi cerminan biodiversitas global telah mengalami penurunan rata-rata 69 persen sepanjang 1970-2018.
Bahkan Ketua Konsorsium Biologi Indonesia (KOBI) Prof. Budi Setiadi Daryono mewanti-wanti bahwa penurunan keanekaragaman hayati tidak hanya terjadi di tingkat global, penurunan populasi secara tajam juga tampak di Indonesia akibat berbagai kegiatan perusakan.
Berdasarkan kajian para peneliti, sebagaimana yang dirangkum oleh editor jurnal Frontier in Ecology and Evolution di tahun 2022, keanekaragaman hayati adalah faktor kunci untuk mengelola produktifitas dan kestabilan alam ini.
Selain bisa dimanfaatkan langsung oleh manusia sebagai sumber makan dan bahan baku, keanekaragaman hayati juga menyediakan jasa lingkungan seperti air dan dan udara bersih; mengelola pergerakan dan pengeluaran nutrisi, materi, dan energi; sebagai pelindung ketahanan dari perubahan iklim; serta menjaga kesehatan lingkungan dari penyakit.
Selain fungsi dan manfaat strategis yang sudah diketahui, masih banyak lagi peranan tersembunyi yang terus ditemukan baru-baru ini oleh para peneliti.
Bahkan usaha untuk menemukannya sudah dibakukan oleh pemerintah dalam istilah bioprospeksi.
Dalam Peraturan Menteri LHK nomor 02 tahun 2018 disebutkan bioprospeksi yaitu kegiatan eksplorasi, ekstraksi, dan penapisan sumberdaya alam hayati untuk pemanfaatan secara komersial baik dari sumber daya genetik, spesies dan atau biokimia beserta turunannya.
Dengan kenekaragaman hayati yang kita miliki, itu juga berarti keanekaragaman produk komersial yang bisa dihasilkan, dipatenkan dan memberikan dampak pendapatan signifikan bagi negara.
Bukan hanya keuntungan ketika menjaga, kerugian sistemis juga berpotensi muncul jika keanekaragaman hayati itu rusak dan berkurang.
Bahkan munculnya wabah Covid-19 kemarin itu disinyalir memiliki hubungan dengan rusaknya ekosistem yang dapat meningkatkan resiko penularan penyakit zoonosis (penyakit manusia yang awalnya berasal dari penyakit hewan).
Sebegitu besarnya aset kekayaan kita, namun sepertinya hal tersebut belum jadi perhatian yang serius oleh negara selama ini dan bahkan oleh calon pemimpin dan wakil rakyat di Pemilu 2024 ini.
Jika kita lihat di visi dan misi capres dan cawapres, tidak ada satu pun yang menyebutkan keanekaragaman hayati atau biodiversitas.
Misi capres cawapres yang paling mendekati dengan isu keanekaragaman hayati ini adalah terkait ekologis dan lingkungan. Pasangan Anies-Muhaimin, memiliki salah satu misi mewujudkan keadilan ekologis berkelanjutan.
Prabowo-Gibran memiliki salah satu misi penyelarasan kehidupan yang harmonis dengan lingkungan.
Sedangkan Ganjar-Mahfud memiliki salah satu misi pembangunan ekonomi yang memperhatikan kelestarian lingkungan.
Dengan demikian, keanekaragaman hayati itu baru sekedar dianggap sebagai bagian kecil dari objek lingkungan yang dikelola agar lestari dan manusia bisa hidup adil dan harmonis bersamanya.
Belum terlihat bahwa keanekaragaman hayati ini sebagai aset aktif yang bisa untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Jika kita lihat dalam aspek realisasi pelestarian, keanekaragaman hayati selama ini belum dianggap dan diberikan penuh haknya sebagai “warga ekosistem” bangsa.
Keanekaragaman hayati mungkin hanya sekedar digunakan, tanpa dipikirkan haknya untuk dikaji dan tetap terjaga.
Sebagai contoh, masifnya industri pertanian monokultur merusak ekosistem yang kita punya. Perkebunan sawit terus tumbuh pesat. Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS) di tahun 2022 mencatat seluas 16,8 juta hektar kebun sawit di Indonesia.
Perkebunan tersebut telah mengubah hutan hujan tropis yang berisi ribuan jenis tumbuhan menjadi spesies tunggal sawit saja dimana-mana.
Selain itu luas lahan pertambangan juga meningkat. KLHK mencatat 831 ribu hektar luas bukaan tambang.
Pertambangan ini memiliki dampak sistemi kerusakan ekosistem yang tidak hanya terjadi di lokasi tambangnya saja namun juga sampai dampaknya melalui limbah dan hanyutan sedimen jauh hingga ke muara dan bahkan ke lautan.
Ekosistem yang awalnya indah dan kaya dengan keanekaragaman hayati, namun sekarang menjadi rusak dan hancur.
Jika kita analisis dari berbagai contoh di atas, kebijakan selama ini seakan memiliki mindset bahwa demi mendapatkan pendapatan negara, boleh saja mengorbankan aset kekayaan negara.
Padahal keanekaragaman hayati yang hilang itu jika dihitung harganya mungkin saja lebih mahal dari pada hasil yang didapatkan.
Lalu apa hubungannya dengan pemilu?
Pemilu itu adalah ajang untuk kita mendapatkan pemimpin dan wakil rakyat. Mereka itu akan kita berikan amanah untuk mengelola negara ini secara adil untuk mensejahterakan segenap bangsa Indonesia.
Maka, orang-orang yang akan kita pilih itu akan menjadi tukang atur, membuat regulasi dan menjalankan fungsi pemerintahan sesuai regulasi itu. Termasuk mengatur industri yang akan berdampak merusak ekosistem dan keaenekaragaman hayati.
Namun ironisnya, orang yang seharusnya berfungsi sebagai pengatur malah ternyata juga bertindak sebagai yang diatur.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengingkatkan bahwa banyak caleg-caleg di maju di pemilu itu berasal dari pengusaha perkebunan dan tambang.
Bahkan menurut Jatam, ada 21 pengusaha tambang dan energi berjejaring di salah satu paslon capres dan cawapres.
Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) bahkan mencurigai aliran triliunan dana mencurigakan yang mengalir ke Partai Politik (Parpol) untuk kampanye dari perusahaan tambang ilegal.
Negara kita ini sekarang sedang dikuasai oleh konglomerat. Data LSM asal Inggris Oxfam mengilustrasikan harta empat orang terkaya di Indonesia itu setara dengan akumulasi kekayaan milik 100 juta penduduk, luar biasa ketimpangan terjadi.
Menurut Forbes yang dilansir oleh Kompas, 6 dari 10 orang terkaya di Indonesia adalah Konglomerat Sawit, Mungkin banyak yang akan berasumsi, dengan pendapatan industri itu akan menyejahterakan bangsa Indonesia.
Namun, jika dianalisis lebih dalam, perkebunan oleh perusahaan besar ini akan berpotensi meningkatkan kesenjangan keadilan.
Masyarakat satu daerah akan hanya jadi pekerja di lahan yang “dimiliki” segelintir orang kaya. Nasib dan gaya hidup masyarakat akan dikontrol sepenuhnya oleh industri.
Kita adalah negara dengan ribuan suku bangsa dan budaya. Budaya itu sangat erat kaitannya dengan sumber daya hati yang dimiliki, dalam bentuk penggunaan untuk kuliner, obat, adat, tradisi dan lainnya.
Maka, budaya dan gaya hidup masyarakat Indonesia akan dipaksa menjadi seragam seiring dengan seragamnya keanekaragaman hayati yang ada.
Kuliner-kuliner khas akan semakin berkurang. Obat-obatan tradisional, semakin menghilang. Tradisi-tradisi dan adat yang merayakan keanekaragaman itu akan terancam.
Padahal filosofi keanekaragaman ini termaktub dalam Bhinneka Tunggal Ika. Sudahlah aset kekayaan kita dari keanekaragaman hayati berkurang drastis, potensi ketimpangan ekonomi pun semakin besar.
Sebagai sarana untuk menentukan nasib bangsa, maka di pemilu 14 Februari ini warga negara Indonesia harus bergerak memilih pemimpin yang peduli dengan keanekaragaman hayati ini.
Selain melihat dari visi misi mereka, kita bisa melihat bagaimana track record dari calon dan para pendukung di sekitar mereka. Maka, caleg dan capres-cawapres yang terkait dengan usaha merusak alam dan keaneragaman hayati tidaklah layak untuk dipilih.
Walaupun dengan kekayaannya, mereka mungkin telah memberikan utang jasa kepada kita baik berupa sembako, atau bantuan lainnya. Namun, jangan gadaikan harga diri kita, nasib anak cucu, serta aset kekayaan keanekaragaman hayati kita.***(Penulis adalah Dosen Departemen Biologi FMIPA Universitas Andalas).