Jakarta (ANTARA) - Pakar hukum tata negara Margarito Kamis mengingatkan pengajuan Peninjauan Kembali (PK) oleh seseorang harus disertai dengan bukti baru atau novum yang belum pernah digunakan terpidana.
"Pengajuan PK harus disertakan novum atau bukti baru, yang belum pernah digunakan pihak terpidana. Mulai dari pengadilan tingkat pertama hingga perkaranya masuk ke MA," kata Margarito Kamis melalui keterangan tertulisnya yang diterima di Padang, Senin.
Hal tersebut disampaikan Margarito yang turut mengomentari putusan Mahkamah Agung yang menolak PK Direktur Keuangan PT Keang Nam Development Indonesia (KNDI), Adelin Lis.
Ia mengatakan setiap narapidana atau ahli warisnya berhak mengajukan PK lebih dari satu kali, jika putusan pertama dinilai belum memenuhi rasa keadilan.
"Aturan kita membolehkan PK berkali-kali. Aturannya, tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 34/PUU-XI/2013," ujar Margarito.
Menurutnya, apabila terpidana tidak mempunyai bukti baru maka PK yang diajukan akan sia-sia atau percuma. Oleh karena itu, PK yang kembali diajukan tergantung ada atau tidaknya bukti baru.
Mantan Staf Ahli Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) tersebut menekankan setelah novum ditemukan, Adelin Lis bisa mengajukan saksi maupun ahli untuk menafsirkan dalil-dalil pembelaannya.
"Jangan sekadar mengandalkan saksi atau ahli dan memberikan tafsiran terhadap fakta yang ditemukan dalam sidang. Novumnya, harus benar-benar murni baru," kata dia.
Sebelumnya, Pakar Hukum Kehutanan Dr Sadino dan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Al-Azhar Indonesia Prof Suparji Ahmad menilai terdapat kekeliruan hakim saat menghukum Adelin Lis 10 tahun penjara.
Keduanya menilai ada disparitas dalam putusan pertama dan kasasi. Sebab, Adelin Lis sempat diputus bebas oleh Pengadilan Negeri (PN) Medan. Ia dinyatakan tidak melanggar pidana dan hanya melanggar Undang-Undang (UU) Kehutanan serta dikenakan sanksi administrasi.
Namun, di tingkat kasasi maupun PK, Adelin dihukum 10 tahun penjara karena dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Sementara itu, sejumlah terdakwa lain di kasus yang sama diputus bebas yakni Direktur Utama PT KNDI Oscar A Sipayung, serta Direktur Perencanaan dan Produksi PT KNDI Washington Pane.
"Kapasitas Adelin Lis hanya direktur keuangan, harusnya yang paling bertanggung jawab adalah Direktur Utama," ujar Sadino.
Sementara itu, Prof Suparji Ahmad mengatakan putusan tersebut terkesan tidak adil. Sebab, Adelin Lis sempat dinyatakan tidak terbukti secara sah dan bersalah melakukan tindak pidana korupsi.
"Ketika di kasasi dan PK, putusan berubah drastis. Dihukum 10 tahun. Jadi, ada kontradiksi," ucap Prof Suparji.
Oleh sebab itu, ia mendorong Adelin Lis mengajukan PK kedua. Menurutnya, ada kekeliruan hakim dalam mengambil keputusan yang didukung dengan novum.
"Dalil paling signifikan ada kekeliruan dan kekhilafan hakim. Kasusnya adalah pelanggaran administrasi. Jadi, yang dipakai Undang-Undang Kehutanan, bukan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi," jelas dia.
Untuk diketahui, Adelin Lis didakwa melakukan tindak pidana korupsi terkait pembalakan liar di Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumatra Utara. Dalam dakwaan, jaksa menyatakan PT KNDI memiliki Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di lahan seluas 58.590 Hektare di kawasan hutan Sungai Singkuang-Sungai Natal, Kabupaten Madina. Dia disebut menebang kayu di luar Rencana Kerja Tahunan (RKT) yang telah disahkan.
"Pengajuan PK harus disertakan novum atau bukti baru, yang belum pernah digunakan pihak terpidana. Mulai dari pengadilan tingkat pertama hingga perkaranya masuk ke MA," kata Margarito Kamis melalui keterangan tertulisnya yang diterima di Padang, Senin.
Hal tersebut disampaikan Margarito yang turut mengomentari putusan Mahkamah Agung yang menolak PK Direktur Keuangan PT Keang Nam Development Indonesia (KNDI), Adelin Lis.
Ia mengatakan setiap narapidana atau ahli warisnya berhak mengajukan PK lebih dari satu kali, jika putusan pertama dinilai belum memenuhi rasa keadilan.
"Aturan kita membolehkan PK berkali-kali. Aturannya, tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 34/PUU-XI/2013," ujar Margarito.
Menurutnya, apabila terpidana tidak mempunyai bukti baru maka PK yang diajukan akan sia-sia atau percuma. Oleh karena itu, PK yang kembali diajukan tergantung ada atau tidaknya bukti baru.
Mantan Staf Ahli Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) tersebut menekankan setelah novum ditemukan, Adelin Lis bisa mengajukan saksi maupun ahli untuk menafsirkan dalil-dalil pembelaannya.
"Jangan sekadar mengandalkan saksi atau ahli dan memberikan tafsiran terhadap fakta yang ditemukan dalam sidang. Novumnya, harus benar-benar murni baru," kata dia.
Sebelumnya, Pakar Hukum Kehutanan Dr Sadino dan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Al-Azhar Indonesia Prof Suparji Ahmad menilai terdapat kekeliruan hakim saat menghukum Adelin Lis 10 tahun penjara.
Keduanya menilai ada disparitas dalam putusan pertama dan kasasi. Sebab, Adelin Lis sempat diputus bebas oleh Pengadilan Negeri (PN) Medan. Ia dinyatakan tidak melanggar pidana dan hanya melanggar Undang-Undang (UU) Kehutanan serta dikenakan sanksi administrasi.
Namun, di tingkat kasasi maupun PK, Adelin dihukum 10 tahun penjara karena dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Sementara itu, sejumlah terdakwa lain di kasus yang sama diputus bebas yakni Direktur Utama PT KNDI Oscar A Sipayung, serta Direktur Perencanaan dan Produksi PT KNDI Washington Pane.
"Kapasitas Adelin Lis hanya direktur keuangan, harusnya yang paling bertanggung jawab adalah Direktur Utama," ujar Sadino.
Sementara itu, Prof Suparji Ahmad mengatakan putusan tersebut terkesan tidak adil. Sebab, Adelin Lis sempat dinyatakan tidak terbukti secara sah dan bersalah melakukan tindak pidana korupsi.
"Ketika di kasasi dan PK, putusan berubah drastis. Dihukum 10 tahun. Jadi, ada kontradiksi," ucap Prof Suparji.
Oleh sebab itu, ia mendorong Adelin Lis mengajukan PK kedua. Menurutnya, ada kekeliruan hakim dalam mengambil keputusan yang didukung dengan novum.
"Dalil paling signifikan ada kekeliruan dan kekhilafan hakim. Kasusnya adalah pelanggaran administrasi. Jadi, yang dipakai Undang-Undang Kehutanan, bukan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi," jelas dia.
Untuk diketahui, Adelin Lis didakwa melakukan tindak pidana korupsi terkait pembalakan liar di Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumatra Utara. Dalam dakwaan, jaksa menyatakan PT KNDI memiliki Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di lahan seluas 58.590 Hektare di kawasan hutan Sungai Singkuang-Sungai Natal, Kabupaten Madina. Dia disebut menebang kayu di luar Rencana Kerja Tahunan (RKT) yang telah disahkan.