Bukittinggi (ANTARA) -
Kota Bukittinggi, Sumatera Barat menerapkan penambahan mata pelajaran bersifat muatan lokal di satuan pendidikan daerah itu, Wali Kota setempat menegaskan ingin mencetak generasi nasionalis religius dari kebijakan itu.
Wako Erman Safar mengatakan pemerintah Kota Bukittinggi telah mulai melaksanakan penambahan muatan lokal untuk pelajar SD dan SMP negeri yang diinisiasi olehnya secara langsung.
"Kami ingin cetak generasi emas penerus bangsa yang religius nasionalis, mereka akan urus bangsa dengan bekal agama yang cukup, seperti yang telah diwariskan oleh para pejuang asal Minangkabau Sumatera Barat sejak dulu," kata Erman Safar di Bukittinggi, Rabu.
Ia menyebut nama besar tokoh nasional seperti Buya Hamka, M. Natsir, H. Agus Salim, Bung Hatta dan lainnya sebagai referensi terbaik.
"Kami sedang siapkan generasi nasionalis religius dari Bukittinggi untuk Indonesia, kita bekali mereka dengan ilmu agama dan adat Minangkabau yang bisa menyelamatkan mereka dari hal hal yang negatif,” kata dia.
Erman menyampaikan, di seluruh SD dan SMP Negeri se-Bukittinggi, siswa telah diwajibkan untuk belajar Budaya Alam Minangkabau (BAM), Fiqih, Sejarah Islam, Bahasa Adab dan Aqidah Akhlak.
Program ini sudah disusun sejak beberapa bulan lalu dan tujuannya pun juga disamakan kepada seluruh guru dengan arahan langsung oleh Ulama Nasional, Ustadz Abdul Somad.
"Dengan penambahan muatan lokal ini, pelajar SD dan SMP Negeri, akan mendapat pembelajaran, untuk mengisi mental mereka sesuai prinsip Adat Basandi Syara’ Syara’ Basandi Kitabullah, ini penting bagi generasi muda untuk tidak terjerumus pada efek negatif perkembangan teknologi," pungkasnya.
Kebijakan tidak populer ini menjadi sorotan dari berbagai pihak yang pada umumnya mendapat dukungan penuh oleh masyarakat karena memberikan dampak positif bagi mental dan spiritual generasi penerus bangsa khususnya dari Kota Bukittinggi.
"Sangat mendukung penambahan muatan lokal ini, adab dan akhlak generasi muda harus dibangun sebaik-baiknya sejak dini, apalagi ditambah dengan program satu kelurahan satu tahfiz," kata seorang warga, Nurhayati (34).
Ia menambahkan harapan agar pembelajaran tambahan yang diberikan tidak ditambah dengan kewajiban memakai pakaian adat khusus saat proses belajar mengajar.
"Itu harapannya, agar bagi orangtua dan walimurid yang kurang mampu juga diperhatikan agar bisa tidak harus membeli tambahan pakaian seragam lagi," katanya.