Jakarta (ANTARA) - Pendiri Yayasan Sejiwa Diena Haryana mengatakan dampak buruk pornografi pada anak lebih besar daripada narkoba, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza) sehingga anak-anak harus dilindungi dari pornografi.
"Menurut para ahli, kecanduan napza mengakibatkan kerusakan pada tiga bagian otak, sedangkan kecanduan pornografi menyebabkan kerusakan pada lima bagian otak," kata Diena dalam seminar daring yang diadakan dalam rangka Hari Anak Nasional 2020 yang diikuti dari akun Youtube Kemen PPPA di Jakarta, Kamis.
Diena mengatakan kecanduan pornografi bisa merusak korteks prefrontal yang salah satu fungsinya adalah membedakan hal baik dan hal buruk serta memberikan pandangan bijaksana kepada seseorang.
Anak harus dibiasakan untuk belajar membedakan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Bila anak sudah kecanduan pornografi dan ada kerusakan pada korteks prefrontalnya, maka pembelajaran mengenai baik dan buruk akan terganggu.
"Menonton pornografi akan memicu hormon dopamin yang berlebihan pada otak. Padahal kerja hormon di otak harus seimbang. Otak anak masih berkembang, masih mencoba berkaitan satu sama lain, sehingga memerlukan sistem hormon yang seimbang," tuturnya.
Menurut Diena, ada beberapa alasan mengapa anak mengakses pornografi, antara lain merasa jenuh, kesepian, marah, stres, dan lelah. Hal-hal lain yang bisa memicu anak mengakses pornografi di internet adalah rasa ingin tahu, ajakan teman, dan iklan sembul (iklan pop up) yang muncul di internet.
Karena itu, Diena mengajak anak-anak untuk menjadi pribadi yang tangguh, yaitu mampu menolak godaan, termasuk godaan pornografi di internet.
"Kalau ada yang mengajak, menjanjikan macam-macam, atau merayu, anak yang tangguh pasti bisa menolak," katanya.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengadakan rangkaian seminar daring dalam rangka Hari Anak Nasional 2020 bertajuk "Aku Netizen Unggul" yang diikuti oleh para pegiat Forum Anak dari seluruh Indonesia.
Selain Diena, narasumber lain dalam seminar tersebut adalah Asisten Deputi Perlindungan Anak dalam Situasi Darurat dan Pornografi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Ciput Eka Purwianti dan Koordinator Riset ECPAT Indonesia Deden Ramdani.
"Menurut para ahli, kecanduan napza mengakibatkan kerusakan pada tiga bagian otak, sedangkan kecanduan pornografi menyebabkan kerusakan pada lima bagian otak," kata Diena dalam seminar daring yang diadakan dalam rangka Hari Anak Nasional 2020 yang diikuti dari akun Youtube Kemen PPPA di Jakarta, Kamis.
Diena mengatakan kecanduan pornografi bisa merusak korteks prefrontal yang salah satu fungsinya adalah membedakan hal baik dan hal buruk serta memberikan pandangan bijaksana kepada seseorang.
Anak harus dibiasakan untuk belajar membedakan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Bila anak sudah kecanduan pornografi dan ada kerusakan pada korteks prefrontalnya, maka pembelajaran mengenai baik dan buruk akan terganggu.
"Menonton pornografi akan memicu hormon dopamin yang berlebihan pada otak. Padahal kerja hormon di otak harus seimbang. Otak anak masih berkembang, masih mencoba berkaitan satu sama lain, sehingga memerlukan sistem hormon yang seimbang," tuturnya.
Menurut Diena, ada beberapa alasan mengapa anak mengakses pornografi, antara lain merasa jenuh, kesepian, marah, stres, dan lelah. Hal-hal lain yang bisa memicu anak mengakses pornografi di internet adalah rasa ingin tahu, ajakan teman, dan iklan sembul (iklan pop up) yang muncul di internet.
Karena itu, Diena mengajak anak-anak untuk menjadi pribadi yang tangguh, yaitu mampu menolak godaan, termasuk godaan pornografi di internet.
"Kalau ada yang mengajak, menjanjikan macam-macam, atau merayu, anak yang tangguh pasti bisa menolak," katanya.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengadakan rangkaian seminar daring dalam rangka Hari Anak Nasional 2020 bertajuk "Aku Netizen Unggul" yang diikuti oleh para pegiat Forum Anak dari seluruh Indonesia.
Selain Diena, narasumber lain dalam seminar tersebut adalah Asisten Deputi Perlindungan Anak dalam Situasi Darurat dan Pornografi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Ciput Eka Purwianti dan Koordinator Riset ECPAT Indonesia Deden Ramdani.