Jakarta (ANTARA) - Polemik Undang-Undang tentang Perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih menimbulkan kegelisahan di tengah masyarakat akan peran KPK ke depan.

DPR RI periode 2014—2019 telah mengesahkan persetujuan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas UU No. 30/2002 menjadi undang-undang pada hari Selasa (19/9). Pengesahan bersama perwakilan pemerintah, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, itu berlangsung dengan sederet unjuk rasa mahasiswa di berbagai daerah.

DPR RI bersama pemerintah telah membahas RUU tersebut. Selain Yasonna, perwakilan pemerintah dalam pembahasan itu yakni Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Syafrudin.

Revisi UU KPK merupakan inisiatif DPR RI periode 2014—2019. Sikap Presiden RI Joko Widodo setelah menelaah daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU itu, meminta KPK harus tetap memegang peran sentral dalam pemberantasan korupsi.

Menurut Presiden, selama 17 tahun usia KPK, diperlukan adanya penyempurnaan peraturan dengan tujuan pemberantasan korupsi yang lebih kuat.

Jokowi juga menekankan ketidaksetujuan sejumlah substansi dalam RUU inisiatif DPR tersebut yang berpotensi mengurangi efektivitas lembaga antirasuah itu.

"Pertama saya tidak setuju jika KPK harus memperoleh izin dari pihak eksternal untuk melakukan penyadapan. Misalnya, harus izin ke pengadilan, tidak. KPK cukup memperoleh izin internal dari dewan pengawasan untuk menjaga kerahasiaan," kata Presiden Jokowi pada hari Jumat (13/9).

"Kedua," lanjut Jokowi, "saya juga tidak setuju penyidik dan penyelidik KPK hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan saja. Penyelidik dan penyidik KPK bisa juga berasal dari unsur aparatur sipil negara yang diangkat dari pegawai KPK maupun instansi pemerintah lain. Tentu saja harus melalui prosedur rekrutmen yang benar."

Selain itu, Jokowi juga tidak setuju koordinasi antara KPK dan Kejaksaan Agung dalam hal penuntutan.

Mantan gubernur DKI Jakarta itu juga menolak pengelolaan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) diberikan kepada kementerian atau lembaga lain. Presiden tidak setuju jika hal itu diurus pihak lain selain KPK.

Menuai Kritik

Gelombang unjuk rasa terjadi di sejumlah daerah, tidak ketinggalan di Ibu Kota Jakarta. Masyarakat meminta Presiden untuk mengeluarkan Perppu KPK.

Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md., ada sejumlah opsi dalam mengatasi polemik UU KPK, yakni legislative review, judicial review, lalu perppu penundaan atau pembatalan undang-undang oleh Presiden.

"Artinya, ya, nanti UU itu disahkan, kemudian dibahas pada berikutnya biasa terjadi revisi UU," jelas Mahfud pada hari Kamis (26/9) terkait dengan legislative review.

Untuk opsi penerbitan perppu oleh Presiden menjadi jalan keluar terakhir dalam mengatasi polemik perdebatan UU KPK dengan alasan kegentingan negara.

Penerbitan perppu diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) NRI Tahun 1945 Pasal 22 Ayat (1), jika terjadi kegentingan yang memaksa, Presiden berhak mengeluarkan perppu.

"Itu gampang, 'kan memang sudah agak genting sekarang, itu hak subjektif Presiden bisa juga, tidak bisa diukur dari apa genting itu. Presiden menyatakan keadaan masyarakat dan negara seperti ini dan saya harus ambil tindakan (menerbitkan perppu) itu bisa dan sudah biasa dan tidak ada dipersoalkan itu," kata Mahfud Md. di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (26/9) terkait dengan pertimbangan penerbitan perppu.

Sementara itu, masyarakat "mengusulkan" Presiden untuk menerbitkan perppu penangguhan UU KPK tersebut, salah satunya Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Jember Bayu Dwi Anggoni.

Dalam diskusi bertema "Perppu apa perlu?" pada hari Sabtu (5/10) di Jakarta, Bayu menjelaskan bahwa selama masa penangguhan, Presiden bersama DPR dapat membahas lagi pasal-pasal yang direvisi yang menimbulkan penolakan masyarakat.

"Publik bukan menolak tawaran ke MK. Publik menuntut pertanggungjawaban proses legislasi yang tidak prosedural," kata Bayu.

Bahkan, Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyebutkan hasil surveinya menunjukkan 76,3 persen responden mendukung Presiden menerbitkan Perppu KPK.

Selain itu, survei tersebut juga memperlihatkan sebesar 70,9 persen responden percaya UU KPK hasil revisi malah melemahkan lembaga antirasuah itu.

Kegiatan survei LSI dilaksanakan pada tanggal 4 s.d. 5 Oktober 2019 dengan jumlah responden sebanyak 17.425 orang.

Mekipun demikian, sejumlah parpol koalisi Indonesia Kerja, pendukung Jokowi, belum sependapat dengan usulan penerbitan Perppu KPK.

Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (NasDem) Surya Paloh pada hari Rabu (2/10) mengatakan bahwa Presiden Jokowi bersama seluruh partai pengusungnya tidak akan mengeluarkan Perppu KPK.

Keputusan itu, menurut Paloh, disepakati ketika Jokowi bertemu pimpinan parpol pendukung saat bertemu di Istana Kepresidenan Bogor, Senin (30/9).

Bahkan, Paloh menilai jika Presiden dipaksa mengeluarkan perppu, berpotensi dipolitisasi dan dapat dimakzulkan.

Selain itu, Sekjen Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengatakan bahwa perppu menjadi opsi terakhir penyelesaian perbedaan pendapat.

Dua opsi lainnya untuk mengatasi persoalan UU KPK, yakni dengan legislative review dan judicial review.

Bahkan, mantan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menilai belum perlu Perppu KPK.

Masyarakat dapat menggunakan mekanisme konstitusional, salah satunya melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi.

Presiden Jokowi sendiri masih mempertimbangkan untuk menerbitkan Perppu KPK.

Ia mengatakan bahwa pihaknya terus menampung aspirasi dan usulan mengenai polemik UU KPK dari seluruh pihak.

"Pertama saya ingin menegaskan kembali komitmen saya kepada kehidupan demokrasi di Indonesia bahwa kebebasan pers, kebebasan menyampaikan pendapat adalah hal dalam demokrasi yang harus terus kita jaga dan pertahankan. Jangan sampai bapak ibu sekalian ada yang meragukan komitmen saya mengenai ini," kata Jokowi pada hari Kamis (26/9) saat bertemu tokoh bangsa di Istana Kepresidenan RI, Jakarta.

Sementara itu, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan bahwa posisi pemerintah seperti dihadapkan kepada buah simalakama.

"Karena keputusan itu seperti simalakama, enggak dimakan bawa mati, dimakan ikut mati, 'kan begitu, cirinya memang begitu. Jadi, memang tidak ada keputusan yang bisa memuaskan semua pihak," kata Moeldoko.

Mantan Panglima TNI itu menegaskan bahwa Presiden Jokowi tetap berkomitmen menegakkan hukum dan memperkuat pemberantasan korupsi.

Sementara itu, pakar hukum tata negara Profesor Juanda mengatakan bahwa tidak ada hukum yang menjelaskan jika Presiden menerbitkan perppu lantas dapat dimakzulkan.

Menurut Pasal 7A UUD NRI Tahun 1945, pemberhentian presiden dalam sistem konstitusi Indonesia dapat dilakukan jika presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, ataupun perbuatan tercela. Selain itu, apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Pada Pasal 7B UUD 1945, usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Ketua DPR RI Bambang Soesatyo menilai penerbitan Perppu KPK merupakan kewenangan Presiden Jokowi.

Hingga Senin (7/10), dia menjelaskan bahwa UU KPK yang telah disahkan oleh DPR belum ditandatangani oleh Presiden Jokowi.

Jika dalam 1 bulan undang-undang tersebut belum ditandatangani Presiden, otomatis UU KPK akan berlaku.

Pewarta : Bayu Prasetyo
Editor : Joko Nugroho
Copyright © ANTARA 2024