Saldi Isra pria kelahiran Solok, Sumatera Barat, pada 20 Agustus 1968 itu, selama ini dikenal suka berteriak lantang menyuarakan keadilan hukum dari pinggiran.
Lewat pemikiran dan tulisan-tulisannya yang tajam, Prof Saldi kerap menjadi panitia seleksi untuk memilih komisioner di berbagai lembaga negara.
Kini guru besar hukum tata negara Universitas Andalas tersebut resmi masuk gelanggang Mahkamah setelah resmi disumpah sebagai Hakim Konstitusi oleh Presiden Jokowi pada Selasa, 11 April 2017.
Suaranya yang konsisten menyorot tata kelola hukum di negara ini serta keteguhan sikap dalam gerakan antikorupsi membuat ia selama ini cenderung menjaga jarak dengan kekuasaan.
Menjadi hakim konstitusi termuda dari sembilan hakim yang ada, yakni baru berusia 49 tahun, membuat sejumlah harapan tertumpang di pundaknya untuk membenahi lembaga peradilan.
Apalagi Mahkamah Konstitusi pernah tercemar oleh perilaku hakimnya yang korup sehingga kehadiran Saldi diharapkan ikut andil menaikkan kembali marwah lembaga tinggi negara yang wibawanya nyaris terpuruk itu.
Menjadi hakim konstitusi pada hakikatnya adalah pilihan sunyi, karena Saldi kini tentu tak bebas lagi dan harus menjaga diri dari semua hal yang akan menistakan lembaga peradilan.
Usai pengucapan sumpah jabatan, Saldi Isra menyatakan dirinya siap menerima kritik yang membangun terkait dengan kinerjanya sebagai bagian dari Mahkamah Konstitusi (MK).
Ia pun bertekad membangkitkan kepercayaan ke Mahkamah Konstitusi yang sebelumnya terpuruk akibat dua hakim Konstitusi terkena Operasi Tangkap Tangan KPK.
"Makanya saya katakan, yang paling penting sekarang adalah membangkitkan kepercayaan ke posisi yang dulu pernah dicapai MK. Ini harus jadi kebutuhan dan keinginan kolektif di MK. Itu yang paling penting menurut saya," kata Saldi.
Saldi juga berjanji akan total bekerja di MK, utamanya menjelang pemilu 2019.
"Ya, (jabatan) ini perlu perhatian total, karena saya menganggap 2019 akan menjadi periode yang krusial, dan menuju 2019 semua hakim, semua komponen baik di Setjen ataupun di kepaniteraan harus memiliki komitmen yang sama. Pada 2019 tingkat kepercayaan publik harus pulih seperti sedia kala kepada MK," tambah Saldi.
Harapan lain tertumpang dari praktisi dan akademisi hukum di Sumbar yang berharap Saldi dapat membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap MK.
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta, Miko Kamal, PhD mengatakan hadirnya Saldi Isra diharapkan dapat membangun kembali kepercayaan publik terhadap MK, usai permasalahan korupsi yang muncul.
Hal senada juga disampaikan oleh praktisi hukum dari Kantor Hukum Independen Padang, Defika Yufiandra yang menilai Saldi Isra sebagai sosok yang pantas menjadi hakim MK, sesuai dengan keahliannya dalam tata negara.
Selain itu kredibilitasnya juga sudah diakui secara nasional, tahap pertama diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan publik," katanya yang saat ini juga menjabat sebagai ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Sumbar.
Sebagai ahli hukum tata negara, lanjutnya, ilmu Saldi diharapkan bisa diandalkan dalam pengujian suatu perundang-undangan. Hal yang sama juga diharapkan terkait penanganan sengketa Pilkada yang merupakan kewenangan MK selain uji materi Undang-undang.
Terlebih mengingat Saldi Isra sebelumnya adalah Ketua Panitia Seleksi anggota KPU dan Bawaslu periode 2017-2022.
"Prof Saldi adalah salah satu dosen yang sering mengajar Pilkada, sering membahas dinamika Pilkada, pernah menjadi Ketua Pansel komisioner KPU dan Bawaslu, itu menggambarkan pengalamannya terkait Pilkada," katanya.
Sementara terkait Pilkada, Miko Kamal juga mendorong Saldi Isra mengeluarkan terobosan-terobosan baru dari MK dalam penanganan sengketa Pilkada.
Salah satunya yang ia dukung tentang penerapan syarat ambang batas untuk permohonan sengketa hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Di dalam Pasal 158 Ayat (1) Undang-undang Pilkada dijelaskan bahwa provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan dua juta jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar dua persen dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi.
Sementara provinsi dengan jumlah penduduk dua juta hingga enam juta, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5 persen dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi.
"Peraturan yang demikian saya dukung, jika memang syarat formalnya tidak terpenuhi untuk diajukan ke sengkat hasil Pilkada, maka tidak perlu diterima. Diharapkan nanti MK mengeluarkan aturan-aturan internal yang serupa," katanya.
Namun terpenting dari semua itu, yang ditumpangkan dari sosok Saldi adalah dipertahakannya semangat anti korupsi yang sudah ada selama ini.
Saldi Isra sebelumnya banyak menulis buku dalam dunia tata negara dan dukungan kepada gerakan anti-korupsi, antara lain Obstruction of Justice diterbitkan Themis Books, Jakarta , dan "Membangun Demokrasi, Membongkar Korupsi" diterbitkan oleh Rajawali Pers, Jakarta.
Ia juga meraih banyak penghargaan, seperti Megawati Soekarnoputri Award sebagai Pahlawan Muda Bidang Pemberatansan Korupsi (2012), Tokoh Muda Inspiratif versi Kompas (2009) dan Bung Hatta Anti-Corruption Award (2004, serta Mahasiswa Berprestasi Utama Tingkat Nasional 1994.
Saldi menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Andalas pada 1994 dengan predikat lulus cumlaude dan pascasarjana ia tuntaskan dengan meraih gelar Master of Public Administration di Universitas Malaya, Malaysia tahun 2001.
Kemudian gelar Doktor di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada 2009, predikat lulus Cum Laude. Pada tahun 2010, ia dikukuhkan sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas.
Sejak mahasiswa Saldi suka menulis dan hingga kini, tercatat ribuan karya tulis berupa artikel di jurnal ilmiah nasional dan internasional, makalah seminar yang dihantarkan dalam berbagai seminar mulai dari tingkat lokal, regional, nasional, hingga internasional serta tulisan ilmiah populer yang diterbitkan oleh berbagai media cetak nasional dan internasional.
Selamat bertugas Prof Saldi, palu mahkamah kini sudah ada di tangan, dengan dorongan darah segar yang masih muda tertumpang harapan mengembalikan kewibawaan hukum di negeri ini. (*)