Padang, (Antara)- Ketika kota wisata Bukittinggi, Sumatera Barat, mulai sepi pada malam hari, saat warganya memilih berdiam di rumah untuk menghindari udara dingin, aktivitas sebagian warga kota tetangga Payakumbuh justru semakin menggeliat.
Payakumbuh yang hanya berjarak sekitar 27 kilometer di timur Bukittinggi dan dapat ditempuh dalam waktu 30 menit, sudah lama dikenal sebagai kota kuliner yang justru hidup dan bergairah pada malam hari.
Terletak 514 meter di atas permukaan laut dengan populasi hanya 116.000 jiwa itu, cuaca Payakumbuh yang tidak terlalu panas dan juga tidak terlalu dingin, terasa cocok bagi warga untuk beraktivitas di luar rumah di malam hari.
Di sepanjang jalan utama Soekarno-Hatta yang merupakan perlintasan dari Pekanbaru menuju Bukittinggi, terlihat ratusan tenda yang menjajakan berbagai jenis makanan, mulai dari yang berat sampai ringan, serta berbagai jenis minuman panas atau pun dingin.
Lidah masyarakat setempat tampaknya sudah mulai "berdamai" dengan makanan non-Minang, karena di beberapa tempat, juga tersedia warung pecel lele atau bakso. Selera "urang awak sejati" memang terkenal rewel karena sulit menerima makanan yang tidak pedas atau tidak bersantan.
Bagi mereka yang menggemari makanan khas Minang dengan spesifik Payakumbuh, tersedia sate danguang-danguang, rendang telur, atau minuman kawa daun (daun kopi seduh) dan ampiah dadiah (sejenis yogurt dari susi sapi).
Selain tenda-tenda makanan tradisional, juga sudah banyak bertebaran cafe-cafe dengan interior modern yang menyajikan menu barat, dilengkapi layar televisi layar lebar dan organ tunggal.
Dibanding kota-kota utama lainnya di Sumatera Barat, Payakumbuh adalah kota dengan suasana malam paling hidup karena sebagian kedai dan restoran buka sampai pagi. Bahkan pada bulan puasa, apalagi menjelang Lebaran, toko pakaian, perlengkapan rumah tangga dan toko emas yang buka sampai adzan subuh berkumandang.
Tidak mengherankan jika banyak wisatawan lokal yang khusus datang ke Payakumbuh hanya untuk menikmati suasana malam sambil bersantai menghabiskan waktu libur.
Di salah satu sudut kedai sate dan martabak daging, Elfi Yusra (53 tahun), seorang pengusaha peralatan pelaminan asal Painan, Kabupaten Pesisir Selatan, mengaku datang jauh-jauh membawa keluarganya hanya untuk menikmati suasana malam. Jarak antara Painan dan Payukumbuh sekitar 200 kilometer melewati Padangpanjang dan Bukittinggi.
"Saya hanya mendampingi anak-anak yang ingin makan sate danguang-danguang sambil bersantai melewati malam minggu," kata Elfi, yang bersama istri mendampingi ketiga anak perempuannya.
Elfi dan keluarga hanyalah salah satu dari banyak wisatawan lokal yang bertualang kuliner ke Payakumbuh. Penikmat kuliner yang paling banyak menyambangi Payakumbuh di waktu malam adalah warga Bukittinggi atau Padangpanjang karena lokasi yang berdekatan.
Rendang Telur
Sekretaris Daerah Kota Payakumbuh Benny Warlis mengakui bahwa keanekaragaman kuliner merupakan andalan daerahnya untuk mendatangkan wisatawan karena memang tidak banyak lokasi wisata alam yang bisa ditawarkan.
"Kekayaan kuliner adalah potensi yang paling berpeluang untuk dikembangkan lebih jauh bersama industri kreatif lainnya, di antaranya Payakumbuh Fashion Week dan Payakumbuh Carnaval," kata Benny yang didampingi Kepala Dinas Pariwisata dan Olahraga Syahnadel Khairi.
Saat ini terdapat dua jenis makanan ringan yang menjadi ikon Payakumbuh dan sering dijadikan oleh-oleh sebagai pertanda berkunjung ke kota itu adalah batiah dan galamai. Batiah terbuat dari ketan yang digoreng dan kemudian dikeringkan, sementara galamai adalah sejenis dodol, juga berasal dari ketan dengan proses pembuatan lebih dari lima jam.
Berbeda dengan dodol, galamai lebih alot dan lengket saat dikunyah, sehingga mereka yang menggunakan gigi palsu harus lebih hati-hati saat menikmatinya agar tidak terlepas dan malah terkunyah.
Selain batiah dan galamai, deretan makanan khas lainnya adalah bareh rendang, kipang, rendang belut, martabak telur dan pinyaram (kue yang berasal dari tepung beras, gula dan santan).
"Sekarang makanan khas yang sudah menjadi ikon Payakumbuh sudah bertambah lagi, yaitu rendang telur dan tidak terdapat di daerah lain," kata Benny yang juga bergelar Datuak Tan Batuah itu.
Sejauh ini, masyarakat di luar Sumatera Barat hanya lebih mengenai rendang daging sapi, dan masih asing dengan rendang telur yang merupakan salah satu bentuk dari beberapa varian rendang.
Berdirinya "Kampung Rendang" di Lampasi, pinggir Kota Payakumbuh, semakin mengokohkan kota tersebut sebagai sentra produk rendang, jenis makanan yang dinobatkan oleh CNN sebagai makanan terlezat di dunia.
Di "Kampung Rendang" tersebut, terdapat 12 pengusaha rendang rumahan dengan berbagai produk, yaitu rendang telur, suir daging, rendang belut, rendang paru, rendang ubi dan kalio jengkol.
Sundari, salah satu pegawai Toko Dapoer Riry mengatakan bahwa proses pembuatan rendang sebenarnya cukup sederhana, yaitu telur dicampur tepung tapioka, jahe, laos, bawang putih dan cabai merah, kemudian didadar tipis, dipotong-potong per segi dan dimasukkan ke dalam santan bersama bumbu rendang hingga santan mengering.
Sesuai dengan perkembangan zaman, Dapoer Riry pun melakukan berbagai inovasi, termasuk pemasaran melalui internet dan tahun lalu meraih "UKM Award" dari Pemerintah Propinsi Sumatera Barat.