Apa kabar PT Kertas Leces (Persero)? Yang sudah lebih dari dua tahun mati suri? Yang selama itu nasib karyawannya tidak menentu? Yang diyakini tidak akan bisa hidup lagi kalau tidak digerojok uang negara Rp200 miliar.
Sejak dua minggu lalu pabrik kertas yang sangat besar yang berlokasi di selatan Probolinggo ini sudah mulai siuman. Tanda-tanda kehidupan sudah mulai kelihatan. Suara mesin sudah kembali menderu.
Leces hidup lagi!.
Bukan sebagai mayat berjalan, tapi sebagai pasien yang sudah bisa dipaksa berjalan.
Semula negara sudah setuju kembali menggerojok uang Rp200 miliar ke Leces. Tapi ketika saya diangkat jadi Menteri BUMN, rencana penggerojokan itu saya minta ditunda. Saya ingin lihat dulu apakah benar persoalan pokoknya pada modal. Apakah bukan pada manajemen. Ini harus saya pelajari dulu, agar negara tidak mudah begitu saja menggerojokkan dana ratusan miliar rupiah.
Belum tentu dengan dana tersebut pabrik kertas, atau bisnis apa pun yang lagi kesulitan, bisa diselamatkan.
Kadang satu manajemen memiliki kecenderungan untuk mencari jalan yang paling mudah. Alasan ketidakcukupan modal adalah kambing hitam yang sangat lezat disate dan disuguhkan. Tapi dari pengalaman saya belum tentu akar masalahnya di modal.
Sering kali pokok persoalannya di manajemen itu sendiri
"Memang banyak yang sewot ketika saya menyetop pengucuran dana itu. Untuk apa distop? Kan sudah disetujui? Tinggal dicairkan? Kok bodoh amat diberi uang ratusan miliar rupiah tidak segera ditangkap?
Tentu saya tidak akan tergoyahkan dengan penilaian seperti itu. Kalau memang ada jaminan dengan pencairan dana tersebut Leces pasti hidup, saya pun akan langsung setuju. Masalahnya jaminan pasti hidup itu yang tidak ada.
Terbukti gerojokan uang ratusan miliar rupiah di tahun-tahun yang lalu juga tidak berhasil menghidupkan Leces. Uang itu habis lagi dan habis lagi. Dan kecenderungannya akan minta lagi dan minta lagi.
Untuk Leces, saya melihat persoalan pokok di manajemen. Itu bisa saya rasakan ketika saya bermalam di komplek pabrik kertas Leces di malam Idul Adha lalu. Saya melihat manajemen sudah betul membangun boiler baru dengan bahan bakar batubara. Itu akan membuat biaya energi Leces jauh lebih murah. Saya salut dengan pemikiran dan langkah itu.
Tapi untuk menghidupkan Leces tidak cukup hanya dengan satu langkah. Dia membutuhkan puluhan, bahkan ratusan terobosan. Itulah sebabnya diperlukan manajemen yang lebih kuat.
Tidak gampang menemukan tim manajemen yang tangguh. Apalagi untuk "dijerumuskan" ke dalam perusahaan yang sedang pingsan. Tim manajemen yang kuat tentu ingin masuk ke perusahaan yang besar dan bagus.
Dijebloskan
Leces rupanya masih bernasib baik. Seseorang yang bernama Budi Kusmarwoto mau dijebloskan ke situ. Pengalamannya yang panjang saat menjadi direktur anak perusahaan PLN (PT PLN Engeneering) memudahkannya menganalisis kondisi Leces.
Orangnya juga tidak egois. Ketika diminta membentuk dream tim untuk manajemen Leces, Budi tidak serta merta mengajak rombongan dari luar masuk ke Leces. Budi memilih orang-orang dalam untuk menjadi timnya.
Sebagai mantan pimpinan PLN, tentu saya mengenal Budi dengan baik. Antusiasmenya meledak-ledak. Gairah kerjanya tidak pernah padam. Kecintaannya pada pekerjaan membuat motto hidupnya hanya kerja,kerja, kerja!
Antusiasme itu yang juga terlihat menular ke seluruh tim Leces sekarang ini.
Sebagaimana saya, maka Budi juga berpandangan ini: untuk menghidupkan Leces tidak perlu gerojokan dana dari kas negara.
Kini Leces hidup lagi tanpa mendapat modal baru satu rupiah pun. Kalau kelak Leces berhasil maju kembali, seluruh karyawannya tentu akan sangat bangga: bisa maju tanpa modal!
Karyawan bisa menunjukkan bahwa tambahan modal bukan segala-galanya!
Tentu, karena sudah terlanjur disetujui, Budi tetap berharap dana Rp200 miliar itu bisa cair. Bukan lagi untuk modal, tapi untuk membayar utang lama. Di masa lalu, Leces meninggalkan utang hampir Rp1 triliun. Manajemen Leces berhasil melakukan negosiasi: kalau Leces mau bayar Rp150 miliar utang hampir Rp 1 triliun itu dianggap lunas.
Utang yang sudah berumur lebih 10 tahun itu harus dibayar. Kalau tidak, utang itu akan memusingkan manajemen baru yang sedang dituntut untuk maju.
Budi juga berencana menggunakan dana sisanya untuk membangun hutan tanaman industri. Untuk mencukupi bahan baku Leces di masa depan. Tentu saya setuju dengan dua rencana itu: bayar utang dan hutan tanaman industri.
Persoalannya, belum tentu anggaran yang sudah disetujui untuk modal bisa dialihkan untuk bayar utang. Di sinilah BUMN akan selalu kalah lincah dengan swasta.
Apa pun kasus menghidupkan kembali Leces ala Budi akan menjadi perhatian saya. Maksud saya adalah perusahaan seperti galangan kapal IKI Makassar yang juga sudah lama mati, bisa hidup kembali dengan cara yang sama. Demikian juga pabrik PT Iglas yang lagi dalam kesulitan.
Kelak, kalau Leces sudah sehat, harus segera di-go public-kan. Industri kertas tidak lagi menempati posisi strategis bagi negara. Tidak selayaknya lagi negara terus menggerojokkan dana untuk industri seperti Leces. Semakin banyak modal publik masuk ke dalamnya akan semakin baik.
Leces memang belum teruji akan menjadi perusahaan yang pasti akan hidup sehat. Masih harus dilihat dalam satu periode tertentu.
Tapi setidaknya Leces kini sudah kembali berjalan: bukan sebagai kuntilanak, tapi sebagai badan yang sudah lengkap dengan rohnya. Roh antusias dan roh penuh kiat!
*Penulis adalah Menteri BUMN