Ada pendapat: dilarang berbohong, kecuali kepada anak-anak. Balonku ada lima, rupa-rupa warnanya, merah kuning kelabu hijau muda dan biru, meletus balon hijau, dorrr, hatiku sangat kacau, balonku tinggal empat, kupegang erat-erat. Karena sini bukan penyanyi bertalenta, tertawa saja false, baiklah distop saja. Yang penting situ pernah menyanyikan, atau, dinyanyikan lagu Balonku Ada Lima. Minimal barusan. Sadar atau tidak, sebagai orangtua – kita telah melakukan ”pembohongan publik”. Lho...?
Di mana letak ”pembohongan publik” Balonku Ada Lima? Sesuai judulnya, kelima balon berwarna merah-kuning-kelabu-hijau muda-biru. Meletus balon hijau, dorrr. Betul-betul salah, ’kan? Inilah bentuk ”pembohongan publik” itu. Dari generasi ke generasi. Sebagai orang tua – disebut pemimpin ”can do” ”pembohongan publik” terhadap anak-anak – bernama publik. Makanya, anak-anak ”candu” bohong. Rang sejak kecil sudah diajari bohong, sih. Masih banyak ”pembohongan publik” sejak dini lainnya: ”Jangan nakal, nanti ditangkap pak polisi”. ”Jangan pulang terlalu sore, nanti dibawa hantu aru-aru”. ”Jangan duduki bantal, nanti pantatnya bisa bisualan”. Anak-anak itu kini sudah kritis dan analitis. Sudah beranak-pinak, bercucu bagai – adalah kita-kita ini.
Kita tinggalkan sejurus Balonku Ada Lima dengan rupa-rupa warnanya itu, di depan mata kita ada Balonku Ada Lima dengan rupa-rupa gantengnya. Episode balon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumbar 2010–2015! Saksikan baliho balon, bak ”aktor yang memiliki showmanship yang luar biasa!”. Dengan menggotong slogan: Kita Berantas Korupsi, Babaliak Kito Ka Nagari, Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah, (Ediwarman-Husni Hadi), Jujur, Cerdas, Amanah (Marlis Rahman-Aristo Munandar). Perubahan Untuk Lebih Baik (Irwan Prayitno-Muslim Kasim). Muda, Profesional, Berprestasi (Endang Irzal-Asrul Syukur). Terbukti Melakukan Perubahan (Fauzi Bahar-Yohannes Dahlan). A-ha, nomor urutpun dimaknakan. Lagi lucu-lucunya, memang.
Apa, sih, perbedaan antara Balonku Ada Lima rupa-rupa warnanya dengan Balonku Ada Lima rupa-rupa gantengnya? Yang duluan, diisi angin baru bisa ”on the air”. Yang belakangan, ”on air” karena berisi empat kemapanan: intelektual, politik, ekonomi dan budaya! Yang terakhir, budaya itu master of scenes kemapanan. Dengan memiliki sense of kemapanan budaya, gub-wagub terpilih menyandang sebutan ”budayawan”. Bahasa gamblangnya, ”orang berbudaya”. Berfikir berorientasi budaya, bertindak bervisualisasi seni. Points of view-nya, antara lain, mengangkat seni – budaya – cerita daerah atau legenda ke format dokumenter feature dan sinetron di layar kaca TV publik.
Sebab, dari tahun ke tahun hingga sekarang, para seniman berkarsa dan berkarya dengan slogan ”Tahun Produksi”. Yang namanya ”mesin produksi” berjalan terus-menerus, dalam berbagai pagelaran seni dan budaya di Taman Budaya Sumbar misalnya. Tapi, begitulah, penontonnya inya ke inya saja. Sebab-karenanya gampang ditebak! Kreativitas anak kandung, promosi anak tiri. Promosi diberi label nonsens. Untuk apa promosian-promosian segala? Mahal, lagian buang-buang uang! Dalihnya: penonton yang butuh hiburan akan datang juga! Lho! Disamping what’s people need juga penting ditumbuhkan what’s people want! Seorang dari sedikit orang berorientasi ”promosi penting dan perlu” itu, Asnam Rasyid. Pemerintah, disamping mengucurkan biaya produksi yang memadai, juga perlu menggelontorkan biaya promosi. Kreativitas dan promosi itu satu paket, sama-sama anak kandung produksi!
Ke depan, agar gubernur memilik ”BA 1” meng-switch ”seni untuk penonton” ke ”seni untuk televisi”. Dari ”Tahun Produksi” ke ”Tahun Industri”. Dari produksi rutinitas yang cenderung “kereaktif” ke produksi kreatif bernilai komersial. Jadi seniman itu pilihan. Pekerja seni itu profesi. Profesi yang menuntut penghargaan dan apresiasi. Dari pemerintah, komunitas seni, masyarakat dan usahawan yang mendulang uang di sini. Pelan-pelan beriring harapan, berimbuh tumbuh apresiasi masyarakat mau datang berbondong-bondong ke Taman Budaya Sumbar. Nonton gratis, masuk mau beli tiket.
Kepada yang terhormat, Bapak Gubernur-Wakil Gubernur Sumbar 2010 – 2015 yang notabene ”penanggung jawab seni dan budaya”, sebagai ”anggota tim sukses yang tidak terdaftar” bolehlah sini titip tips: Adakan gerakan budaya berdaya tinggi. Disamping pemprov, pemko dan pemkab ”wajib produksi” dua karya film setahun. Satu karya sinetron cerita daerah atau legenda, satunya lagi karya dokumenter feature sejarah dan nilai tradisionil. Karya dan krunya dinilai pada perhelatan FFSB (Festival Film Sumatera Barat), macam Festival Film Indonesia (FFI). Bapak Perfilman Indonesia, sutradara Indonesia pertama di Indonesia rang Minang, H Usmar Ismail tentu akan tersenyum bangga di alam sana.
Unhappy ending? Ada nasihat: ciptakan suasana musikal dalam kehidupan seharí-hari. Sebab, orang sedang nyanyi tidak mau berkelahi. Balonku ada lima, rupa-rupa rupanya, berantas korupsi itu amanah yang baik berprestasi perubahan, terpilih balon jadi, serrr, hatiku tentu happy, balonku empat lainnya, kurangkul erat-erat...
Alri Pamuntjak
Brodkaster Televisi, Karyawan TVRI Stasiun Sumbar.