Sebagian orang beranggapan ular hewan yang berbahaya. Barangkali, Anda salah satunya. Namun, bagi sebagian yang lain, hewan melata ini justru menjadi sahabat dan teman bermain sehari-hari. Tidak ada rasa takut ketika berdekatan, bersentuhan bahan ketika dililit binatang tersebut.
Adalah Oriza Safitri, gadis berusia 21 tahun yang saat ini menganggap tiada hari tanpa ular. Warga asal Kota Bukittinggi ini mulai jatuh cinta terhadap reptil tersebut sejak bergabung dengan Komunitas Reptil dan Amphibi Padang (KRAP) sejak 1 Desember setahun silam.
“Awalnya cuma ikut-ikutan dengan hanya melihat-lihat, kemudian memberanikan diri untuk menyentuhnya, hingga akhirnya saya jadi tertarik memeliharanya,†ujar bungsu dua bersaudara ini ketika mengisi stand pameran di arena Padang Fair, GOR H. Agus Salim, Padang, Minggu, (4/11/2012)
Ular dapat memberikan hiburan dan ketertarikan tersendiri bagi gadis kelahiran 14 Maret 1991 ini. Bersama ular, kini dia memiliki pengalaman baru dan berkeinginan memelihara hewan itu sebanyak mungkin.
Riri, begitu gadis ini disapa, pertama sekali memiliki seekor ular Boa Cunstrictor yang dibeli dari pencinta ular seharga Rp500.000 ribu.
Saat ini, dia juga sudah mengoleksi dua ular phyton. Satu di antaranya dibeli dari warga di kawasan Limau Manih, Kecamatan Pauh, Padang, pascabanjir bandang 24 Juli 2012 seharga Rp100.000.
“Hanya butuh satu hari untuk menjinakkannya,†tukasnya.
Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Andalas ini menilai ular bukanlah binatang berbahaya, selagi manusia tidak mengusiknya. Yang terpenting harus tahu karakternya.
Bagi Riri, memelihara ular bukanlah hal yang sulit dan tidak menghabiskan banyak biaya. Seekor ular phyton, hanya diberikan seekor tikus putih seharga Rp7.000 yang dibeli dari budi daya yang dilakukan mahasiswa Peternakan Universitas Andalas.
“Pemberian makanan hanya sekali dalam seminggu dan harus teratur,†katanya.
Motivasinya memelihara ular selama ini hanyalah untuk hobi semata. Ia juga menularkan virus untuk menyukai hewan bertubuh panjang ini kepada sahabat-sahabatnya yang dimulai dari lingkungan tempat tinggalnya.
“Kalau di komunitas, kami mengagendakan sosialisasi ke sekolah-sekolah, namun selama ini baru satu sekolah yang dikunjungi karena kesibukan masing-masing anggota KRAP,†katanya. (*/ril/wij)