Jakarta (ANTARA) - Penyebaran hoaks di kalangan yang baru hijrah teknologi atau mulai menggunakan internet harus disikapi dengan lebih serius karena lebih rentan menjadi korban yang menyebarkan berita bohong.

"Yang paling susah itu masyarakat atau orang yang baru pindah, baru hijrah, dari gaptek (gagap teknologi) menjadi pemula yang memakai Facebook, YouTube dan Twitter. Karena mereka terkadang membaca berita dari YouTube dari akun tidak jelas," ujar Muhammad Guntur Romli, politikus Partai Solidaritas Indonesia, dalam acara diskusi yang diadakan Gerakan Literasi Terbit (GESIT) di Cikini, Jakarta Pusat, Senin.

Baca juga: Hoaks jelang Pemilu 2019 pengaruhi turunnya kebebasan sipil

Baca juga: Mengurangi hoaks, pembatasan medsos atau literasi digital?


Di acara yang membahas perlawanan terhadap hoaks itu, aktivis Nahdlatul Ulama (NU) yang aktif di jejaring sosial tersebut juga menekankan bahwa edukasi harus dilakukan agar masyarakat bisa membedakan berita palsu atau tidak.

Menurut dia, beberapa oknum sudah lebih kreatif membuat hoaks yang mudah dipercaya oleh orang yang baru memakai teknologi dan disebarkan dengan cepat di media sosial dan aplikasi pesan.

"Hoaks itu awalnya hanya edit memakai Photoshop, lalu membuat website abal-abal, dan yang terbaru menurut saya adalah menarasikan hoaks menggunakan video ditambah dengan foto-foto yang tidak ada hubungannya," ungkap Guntur Romli.

Dia mengambil contoh bagaimana kekerasaan yang dialami oleh Rohingya disunting menggunakan foto dari kejadian di Thailand dan Kashmir.

Baca juga: Kominfo catat 30 hoaks tersebar di 1.932 laman selama ricuh 21-22 Mei

Berita seperti itu, menurut Romli, dipercaya oleh warganet yang masih awam dan tidak bisa membedakan hoaks dan kemudian disebarkan ke grup-grup di aplikasi pesan.

"Rata-rata sekarang sumber informasi dari masyarakat, netizen pemula dari situ," tegasnya.

Beredarnya hoaks yang terjadi akhir-akhir ini terutama jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 mempengaruhi turunnya aspek kebebasan sipil pada Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) pada 2018.

Menurut data IDI 2018 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), aspek kebebasan sipil 2018 turun 0,29 poin dari tahun sebelumnya dan saat ini berada pada angka 78,46 persen. Turun dari 78,75 pada 2017.

Aspek ini sempat memasuki katagori baik (di atas 80) pada periode 2009-2011 dan 2014-2015.

Baca juga: Polri waspadai maraknya hoaks efek kemajuan teknologi

Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Eddy K Sinoel
Copyright © ANTARA 2019