Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi IX DPR RI Marinus Gea mendorong audit pemerintah daerah terhadap sejumlah yayasan penyalur tenaga kerja outsourcing supaya lebih diperketat.

Marinus dalam siaran pers, Jakarta, Selasa, menjelaskan pemerintah sangat tegas dalam memberantas praktek curang perusahaan penyalur tenaga kerja. Hanya saja, menurut dia, audit secara berkala oleh instansi terkait di daerah perlu ditekankan kembali dan pengawasan di tingkat internal yayasan tersebut harus ditingkatkan.

"Dari sisi regulasi harus diaudit sebenarnya PT ini klasifikasi usahanya apa," ujarnya melalui keterangan pers.

Menurut dia, praktik curang yang dilakukan yayasan penyalur tenaga kerja outsourcing di berbagai daerah industri, marak dan terkesan sulit diberantas.

Marinus pun mengaku mendapatkan banyak keluhan setiap kunjungan kerjanya ke daerah industri terkait kasus serupa, seperti yang terjadi di wilayah Tangerang.

"Jumlahnya banyak sekali. Mereka seperti mafia yang biadab," ujar Marinus Gea.

Menurut dia, dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan mengatur secara khusus beberapa jenis pekerjaan kerja yakni meliputi, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) dan termasuk pula outsourcing.

Pengaturan PKWT dan Outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan dapat disebut sebagai upaya untuk mewujudkan pasar kerja yang fleksibel di Indonesia.

Namun demikian, pihaknya belum mengetahui secara pasti yayasan yang kerap melakukan pungutan liar ini mengantongi izin atau yayasan tidak resmi.

Menurut dia, yayasan tersebut terang-terangan meminta uang kepada calon tenaga kerja yang ingin mendapat pekerjaan di pabrik tersebut.

Marinus menyebut, modus yayasan yakni bekerja sama dengan pihak personalia perusahaan. Jika calon pekerja menanyakan langsung ke pabrik tersebut, jawaban yang diberikan tidak ada lowongan. Namun, jika melalui yayasan tersebut calon pekerja bisa mendapatkan pekerjaan dengan memberikan uang muka kepada yayasan.

"Ada yang bayar Rp7,5 juta untuk buruh pabrik. Itu banyak sekali di Tangerang. Ini menjadi persoalan yang terus disampaikan kepada saya," ujarnya.

Sementara Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK) Mirah Sumirat mengamini adanya praktek modus rekrutmen karyawan melalui yayasan penyalur tenaga kerja.

Menurut dia, rata-rata pungutan yang diambil yayasan untuk calon karyawan perusahaan mencapai Rp5 juta.

"Belum lagi, nantinya dipotong per bulan yang jumlahnya variatif mulai dari Rp300 hingga Rp500 ribu. Sayangnya mereka yang masuk dan bekerja melalui yayasan takut untuk melapor karena ada ancaman pemecatan," kata Mirah Sumirat.

Mirah melanjutkan keberadaan lembaga itu harus mendapat izin dari Dinas Tenaga Kerja. Lembaga juga harus memegang nota kesepahaman (MoU) dengan perusahaan-perusahaan pemberi kerja.

Lembaga penyalur tenaga kerja resmi yang terbukti melakukan penipuan harus mendapatkan sanksi berupa pencabutan izin usahanya. Sedangkan yayasan yang tidak mempunyai izin akan langsung diserahkan kepada polisi karena terkategori kasus tindak pidana penipuan.

“Ini gampang menindaknya, tempatnya juga biasanya di ruko-ruko. Yang jadi persoalan disnaker mau atau tidak menindaknya,” ujarnya.

Mirah meminta pihak terkait untuk memperketat pengawasan agar tidak ada lagi korban penipuan berkedok rekrutmen karyawan.

"Biasanya yayasan berkedok penyalur tenaga kerja bodong memasang iklan di media sosial, seperti Facebook. Harus ada sidak kepada yayasan yang dicurigai yayasan bodong, jangan menunggu laporan," katanya.

Baca juga: Sertifikasi hindarkan adanya perusahaan alih daya abal-abal
Baca juga: LSM harap ada upaya penataan "outsourcing"
Baca juga: Legislator nilai sistem outsourcing di BUMN menimbulkan masalah

Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2019