Media sosial menjadi ajang eksistensi, bahkan semakin ekstrem semakin bangga
Jakarta, (ANTARA News) - Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Rita Pranawati menyoroti geng motor di Jakarta Barat yang berisi anak-anak usia sekolah melakukan tawuran demi eksistensi di media sosial dengan menyiarkan langsung aksi tidak terpujinya melalui Instagram.
   
"Media sosial menjadi ajang eksistensi, bahkan semakin ekstrem semakin bangga," kata Komisioner KPAI bidang Pengasuhan Rita saat dihubungi dari Jakarta, Rabu, mengomentari soal geng motor di Jakbar melakukan "live Instagram" mencari lawan tawuran.

Kasus geng motor nakal tersebut saat ini ditangani Polres Jakbar dengan dilakukan pemeriksaan narkoba dan zat aditif. Anggota geng motor yang ditahan itu seluruhnya terbukti mengonsumsi NAPZA. Singkat kata, terdapat sejumlah penyebab geng motor melakukan aksinya yang tergolong kriminal seperti faktor pengaruh NAPZA dan beraksi untuk eksistensi di media sosial.
 
Rita mengatakan kasus geng motor di Jakbar itu agar menjadi pelajaran bagi orang tua dalam proses pengasuhan anak supaya kerap memberi apresiasi kepada mereka. Anak "live Instagram" mencari tawuran merupakan pengejawantahan kebutuhan anak untuk diapresiasi.
   
Menurut dia, kecenderungan apresiasi orang tua terhadap anak hanya sebatas prestasi akademik tapi belum menyentuh sisi lain. Terkadang, orang tua menghargai anak hanya jika berprestasi di sekolah padahal apapun keadaannya butuh penghargaan.
   
Selain apresiasi, lanjut dia, orang tua juga perlu menerapkan pola asuh yang demokratis. Dengan kata lain, orang tua perlu menjadi teman anak sehingga terjadi komunikasi hangat dua arah.
   
"Sayangnya survei pengasuhan KPAI menemukan bahwa orang tua cenderung bertanya soal akademik dengan pertanyaan tertutup sehingga anak tidak biasa bercerita. Belum lagi respon orang tua yang lebih sering marah daripada mendengarkan sehingga anak tidak nyaman untuk berkomunikasi dan bersama dengan orang tua," kata dia.
   
Komisioner KPAI bidang Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) Putu Elvina menambahkan terkait adanya tren kekerasan geng motor yang mengarah pada kriminal, termasuk Klithih di Yogyakarta, maka Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) harus diterapkan secara komprehensif.
   
Dia mengatakan terdapat aspirasi masyarakat bahwa SPPA saat ini masih memberi angin segar bagi pelaku anak dalam kekerasan geng motor untuk ditindak sebagai kejahatan di bawah umur sementara pidana yang dilakukan cenderung seperti kasus kriminal dewasa.

 Bagi sebagian kalangan, lanjut dia, SPPA dalam beberapa kasus geng motor justru terlalu membela pelaku dan pidana yang kurang lama sehingga tidak ada efek jera.

 "SPPA mengutamakan penegakkan hukum anak agar diversi (di luar jalur pidana) dan restorative justice (keadilan yang memulihkan). Ada sebagian masyarakat menganggap yang seperti itu tidak perlu dibela karena sadis dan meresahkan masyarakat," katanya. 

Baca juga: KPAI imbau orang tua bisa cegah anak ikut geng motor
Baca juga: KPAI minta pesantren bertanggung jawab atas pengeroyokan santri

Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019