Budaya lokal yang hadir di tengah masyarakat jika tidak dijaga dan dilestarikan maka lambat laun akan pudar dan bahkan bisa punah. Untuk menjaga dan melestarikan hal itu tentu harus ada andil besar dari semua pihak, kepedulian serta partisipasi dari berbagai kalangan dengan kapasitas masing-masing sangat dibutuhkan.

Dengan pentingya andil semua pihak, mereka yang terdiri dari emak-emak di Pontianak membentuk sebuah komunitas yang diberi nama Rumah Rancak Alun Melayu atau mereka menyebutnya RAR. Hadirnya komunitas tersebut memiliki berbagai macam kegiatan dan satu di antaranya juga fokus dengan pelestarian budaya lokal khususnya Budaya Melayu.

Dari filosofi nama sendiri, rancak artinya lincah, cerdas, antusias, tepat dan memiliki ritme yang beraturan. Kemudian untuk Alun sendiri dimaksudkan sebagai irama lagu yang nantinya juga bagian fokus apa yang dilakukan terutama di bidang seni tari dan musik aerta lagu. Melayu sendiri, rumah atau wadah dari identitas serta arah pelestarian yang mereka lakukan.

Saat ini, meski komunitas yang dibentuk terbilang masih baru yakni lahir pada 4 September lalu dari segi anggota yang aktif saat ini sudah mencapai 200 orang. Menariknya lagi, dari total yang ada saat ini hampir 99 persennya adalah dari kalangan kaum hawa atau mereka lebih senang dikenal emak-emak. Meskipun yang terlibat bukan hanya emak-emak saja, dari kalangan remaja juga ada. Latar belakang anggota juga sangat beragam hampir semua ada mulai dari kalangan ibu rumah tangga, pengusaha, ASN, pekerja seni, pelaku industri kreatif dan sebagainya. Latar belakang pekerjaan, status sosial dan lainya mereka abaikan melebur dalam semangat pelestarian budaya melayu dan kesetiakawanan sosial serta bermanfaat bagi daerah.

Dari kegiatan yang diikuti di luar dari agenda rutin mereka juga sudah banyak dan bahkan di setiap ajang besar baik tingkat Provinsi Kalbar maupun Kota Pontianak serta beberapa kabupaten lainnya sering tampil. Hal itu tidak terlepas dari buah kerja sama komunitas, latihan keras, pelatihan, keaktivan dan jaringan yang dimiliki anggota.



Senam Melayu

Komunitas yang dikomandoi, Sri Sukarni itu dalam setiap penampilannya selalu menonjol. Satu di antara yang menarik perhatian yakni senam. Senam yang ditampilkan bukan hanya sekedar senam namun mengadopsi rentak tali melayu. Alunan musik dan rentak tari melayu yang dikombinasikan dengan senam kekinian membuat hal yang baru dan mulai menjadi tren.

Apalagi konstum yang dipakai selalu mengangkat budaya lokal seperti ada kain corak insang Pontianak. Selain itu juga ada kostum kopi pancung. Hal itu untuk mengambarkan Pontianak juga dikenal dengan aktivitas ngopinya dan warung kopinya menjamur yang boleh dijuluki sebagai kota seribu warung kopi.

Pendekatan melalui senam dan ada juga japin melayu dalam mengenalkan budaya lokal melayu mendapat antusiasme dari setiap peserta yang ikut. Gerakan yang sederhana, keriuhan dan kekompakan gerak hadir. Pesan-pesan kearifan lokal mudah diterima masyarakat sehingga setiap penampilan dalam memeriahkan kegiatan besar pemerintah atau swasta selalu di tunggu.

Dalam peringatan HUT Ke-62 Pemerintah Kalimantan Barat, ratusan anggota RAR turun. Ribuan peserta terbuai dengan alun dan rentak yang mereka hadirkan. Kesuksesan itu juga kembali dihadirkan di Pontianak Food Festival yang baru sukses digelar.

Dalam waktu dekat mereka juga sudah diminta beberapa daerah untuk ditampil di acara pemerintah daerah agar bisa ikut memberikan semarak saat pembukaan dan menjadi inspirasi bagaimana untuk melestarikan budaya daerah bisa melalui berbagai acara dengan pendekatan kekinian.



Kenalkan Saprahan

Satu lagi budaya lokal melayu yang ada di Pontianak turut menjadi perhatian RAR seperti budaya saprahan. Saprahan adalah adat istiadat melayu berasal dari kata "saprah" yang artinya berhampar, yaitu budaya makan bersama dengan cara duduk.

Budaya saprahan di Kota Pontianak sendiri saat ini sudah mulai digalakkan. Beda saprahan melayu Pontianak dengan daerah lainnya seperti melayu di Kabupaten Sambas adalah untuk Pontianak makan bersama dengan cara duduk memanjang. Sedangkan untuk di Kabupaten Sambas, saprahan hanya untuk enam orang per saprahan.

Makna dari saprahan itu sendiri yakni duduk sama-sama rendah, berdiri sama tinggi, dan makanan yang dinikmati juga secara bersama-sama. Dalam saprahan juga diajarkan bagaimana menyajikan makanan yang baik dan orang yang makan harus tahu bagaimana makan yang sopan dan duduk yang sopan baik untuk pria maupun panitia.

Untuk mengenal lebih dalam budaya saprahan, RAR gelar pelatihan saprahan yang diikuti anggotanya. Kemudia RAR juga melibatkan berbagai pihak untuk itu. Setiap kegiatan besar, bahkan tim dari RAR siap turun dan berpartisipasi untuk mengenalkan saprahan tersebut.



RAR Peduli

Bukan hanya peduli terhadap kebudayaan lokal, kepedulian dan kesetiawakanan sosial juga dilakukan. Di sela kegiatan latihan seperti senam kopi pancong, japin dan lainnya juga dilakukan aksi sosial,  menyumbang dana seikhlasnya bagi anggota juga dilakukan usai latihan yang digelar setiap Minggu dan latihan setiap Sabtu. Mereka juga dalam satu minggu sekali melakukan aksi membersihkan masjid di sekolah.

"Kita bukan hanya berupaya peduli terhadap budaya lokal, namun kegiatan sosial juga kami lakukan. Kita ingin bermanfaat. Kita juga menilai dengan kegiatan itu kami juga terus solid dan silaturahmi kami juga semakin baik. Kita hanya terus berbuat. Soal pandangan dan apresiasi dari berbagai pihak itu bonus untuk kami," kata Sri.

Pihaknya terus berkomitmen untuk ikut memajukan Budaya Melayu di Pontianak dan siap berkolaborasi serta berkontribusi untuk siapapun.

Komunitas manapun juga terbuka untuk siapa saja yang ingin ikut, siap menerima. Ini untuk kemajuan masyarakat dan pelestarian budaya lokal Melayu.*


Baca juga: Cornelis : Meriam karbit warisan budaya Melayu khas Pontianak

 

Pewarta: Dedi
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019