Kemunculan hoaks dan ujaran kebencian penting untuk diantisipasi, supaya masyarakat tidak terjebak dalam berita bohong dan berpotensi untuk menjatuhkan kandidat-kandidat peserta pemilu legislatif maupun eksekutif, sehingga bisa memecah kehidupan demo
Jakarta (ANTARA News) - Pemilihan umum atau pemilu bukanlah hal yang baru bagi Indonesia, karena sebagai negara demokrasi pemilu telah diselenggarakan untuk pertama kalinya pada tahun 1955.

Pada April 2019 Indonesia akan kembali menggelar pesta demokrasi ke-12 sebagai bentuk penjaminan hak politik warga negara yang lebih istimewa, karena untuk pertama kalinya pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden dilakukan serentak pada waktu yang bersamaan secara nasional.

Kendati demikian, ditengah persiapan pesta demokrasi yang seharusnya diwarnai oleh rasionalitas, muncul berbagai berita bohong atau hoaks di tengah-tengah masyarakat yang tidak bisa diabaikan karena penyebarannya yang semakin cepat dan masif dengan menggunakan teknologi informasi.

Perkembangan teknologi informasi selain berdampak positif terhadap kemajuan bangsa, juga mempengaruh pergelaran pemilu terutama dalam konteks banyaknya disinformasi, ujaran kebencian, dan konten-konten yang mengandung berita bohong, yang bertebaran dan mengadu domba.

Kementerian Sekretariat Negara menyebut penyebaran berita hoaks menjelang Pemilu 2019 ini sebagai satu fenomena yang timbul di tengah masyarakat yang berpotensi menciptakan disintegrasi dan memecah belah bangsa Indonesia.

Deputi V Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Jaleswari Pramodhawardani mengatakan kemunculan hoaks dan ujaran kebencian penting untuk diantisipasi, supaya masyarakat tidak terjebak dalam berita bohong dan berpotensi untuk menjatuhkan kandidat-kandidat peserta pemilu legislatif maupun eksekutif, sehingga bisa memecah kehidupan demokrasi di Indonesia.

Permasalahan hoaks ini memang sepatutnya menjadi fokus bersama, supaya Indonesia dapat menggelar Pemilu yang benar-benar demokratis.

Melalui pesan singkat

Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Rosarita Niken Widyastuti memaparkan hasil penapisan "artificial intelligence" selama tiga bulan terakhir (Sejak September 2018 hingga Desember 2018) menunjukkan konten hoaks di Indonesia paling banyak menyerang pemerintah, kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam Pemilu 2019, serta para menteri.

Berdasarkan data tersebut, Dirjen mengungkapkan sebanyak 63 informasi hoaks terkait dengan politik dan Pemilu 2019 yang disebarkan melalui media sosial dan pesan singkat berantai yang terenkripsi.

Hal ini tentu sangat disayangkan karena ketika masyarakat Indonesia hendak berpartisipasi dalam kemeriahan pesta demokrasi, justru banyak beredar informasi negatif, ujaran kebencian, fitnah, hingga provokasi.

Dirjen juga menjelaskan bahwa Kominfo telah berupaya menekan penyebaran hoaks yang banyak beredar melalui media sosial yang banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia dengan cara terus melakukan verifikasi.

"Namun penyebaran hoaks lebih cepat, maka kami sebenarnya tidak bisa bekerja sendirian," kata Rosarita.

Oleh sebab itu, Kominfo melakukan kerja sama dengan pihak-pihak terkait seperti 98 komunitas siber dan beberapa kementerian serta lembaga terkait.

Kominfo juga cukup rajin menegur platform-platform yang memiliki akun dengan konten informasi berita bohong, radikal, dan menyesatkan.

Dirjen kemudian memberikan contoh aplikasi "Telegram" dan "TikTok" yang dinyatakan bermasalah dan sempat diminta untuk segera memperbaiki kontennya.

Meskipun Kominfo rajin memberi teguran kepada aplikasi yang dinilai bernuansa negatif, masyarakat juga diminta untuk aktif dengan melaporkan akun atau konten yang dengan sengaja menyebarkan informasi bohong, radikal, dan menyesatkan.

"Dengan begitu akan mudah menapis konten-konten negatif supaya tidak tersebar," tambahnya.

Kemampuan evaluasi lemah

Beberapa waktu lalu para peneliti Lembaga kajian Sosiologi Universitas Indonesia (LabSosio UI) memaparkan hasil penelitian mereka di Jakarta, Bandung, Medan, dan Makassar yang tidak memiliki masalah dalam jaringan internet, 

Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa masyarakat tidak bisa terlepas dari internet untuk mencari informasi dan media sosial untuk berjejaring.

Berdasarkan klasifikasi identitas pengguna media sosial, yang paling banyak menggunakan media sosial adalah generasi X ( 39-58 tahun), generasi Y (22-38 tahun), dan generasi Z (18-21 tahun).

Dalam penelitian tersebut LabSosio UI menemukan terdapat satu elemen yang dinilai masih sangat kurang dan tidak menjadi perhatian. Elemen itu adalah kewajiban masyarakat sebagai warga net.

"Jadi kalau kita punya kewajiban maka seharusnya kita punya semacam tanggung jawab ketika kita memposting, mengikuti satu akun, dan ketika  ketika kita memproduksi informasi," kata salah satu peneliti LabSosio UI Lugina Setyawati. 

Salah satu tanggung jawab tersebut dapat berupa kemampuan evaluasi atau melakukan pengecekan terhadap segala informasi yang diterima dan yang akan diproduksi di media sosial.

Penelitian ini menunjukkan kemampuan evaluasi yang dimiliki generasi X cukup rendah, karena sebagian besar generasi X memperlakukan sumber informasi dari internet sama seperti informasi yang didapat dari orang terdekat yang dipercaya.

Sementara itu sebagian besar generasi Z menggunakan media sosial sebagai satu-satunya sumber berita.

"Ketika kita menggunakan perangkat dijital kemampuan evaluasi dapat memperlihatkan bagaimana kita mengelola informasi," ujar Lugina.

Selain itu sikap membiarkan juga dilakukan oleh sebagian besar responden ketika tahu bahwa informasi yang mereka tersiar adalah berita hoaks.

Melakukan pembiaran dikatakan Lugina sebagai salah satu hal yang termasuk dalam elemen kurangnya evaluasi, karena informasi yang diterima tidak diolah secara kritis namun dibiarkan saja alih-alih melaporkan informasi tersebut kepada admin media sosial.

"Sumber hoaks itu mereka sebut didapat dari media sosial dan kerabat, padahal kalau mereka dapat informasi yang tidak yakin itu benar, mereka kembali bertanya kepada kerabatnya lagi," kata Lugina.

Kemampuan evaluasi yang sangat rendah itu kemudian menjadi celah masuknya berita hoaks dengan cepat dan masif.

Kebijaksanaan masyarakat dalam menggunakan teknologi informasi merupakan salah satu kunci untuk menekan penyebaran berita hoaks.

Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2019