Oleh Danies *) dan Agus Sunarto **)

Menjadi pustakawan "kekinian" dituntut memiliki kompetensi dan membina hubungan baik dengan komunitasnya.

Salah satu tempat berhimpun pustakawan milenial adalah komunitas SLiMS, yakni wadah bagi para pengguna dan pengembang aplikasi perpustakaan berbasis web dengan model opensource.

SliMS merupakan akronim dari Senayan Library Management System, yakni perangkat lunak manajemen perpustakaan yang pertama kali dikembangkan dan digunakan oleh Perpustakaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Melalui aplikasi SliMS ini maka masyarakat memiliki kebebasan untuk mengunduh, mempelajari, memodifikasi, dan redistribusi.

Beberapa proses inti perpustakaan menjadi terorganisir, mudah dan seketika bisa diketahui dengan memanfaatkan SLIMS.

Kini pengguna SLIMS dapat melihat koleksi bahan pustaka beserta diskripsi fisiknya secara online, bahkan juga dapat mengetahui status ketersediaan materi yang diarai, apakah bahan pustaka itu tersedia atau tidak di suatu perpustakaan tertentu. Maka proses pencarian menjadi mudah.

Selain itu pengguna juga dapat diingatkan apabila ada keterlambatan.

Lebih jauh lagi, SliMS sangat membantu pengelola perpustakaan untuk mengetahui dengan cepat statistik koleksi perpustakaan mulai dari total koleksi sampai dengan statistik peminjaman.

Aplikasi yang terus berkembang ini memungkinkan interkonektivitas koleksi bahan pustaka melalui Union Catalog Server (UCS).

Artinya, data bahan pustaka terkoneksi dengan baik. Kemudahan ini merupakan tantangan sekaligus peluang bagi manajemen perpustakaan.

Keterkaitan antara teknologi informasi dengan dunia pustaka adalah hal yang tidak bisa disangkal lagi dan seharusnya memicu tumbuhnya peluang inovasi-inovasi.

Berbicara istilah inovasi tentu bukan hanya melulu tentang masalah yang besar dan rumit, namun inovasi juga berarti penyerdahaan sistem agar menjadi lebih baik dan efisien.

Untuk itulah SliMS sebagai aplikasi opensource memungkinkan untuk terus dikembangkan.

SLiMS dirancang sebagai template yang mudah digunakan oleh para pustakawan untuk mengemas kembali struktur database masing-masing.

Keunggulan lain dari piranti lunak ini adalah langsung bisa dipublikasikan ke internet, sehingga database perpustakaan terkait bisa seketika diakses oleh mereka yang mencari informasinya.

Keunikan lainnya adalah sesama pengguna SLiMS bisa membuat catalog bersama atau union catalogue dengan desain database yang menarik dan ramah bagi pengguna (user friendly).

Rupanya Komunitas SLiMS yang didukung komitmen para developer ini cukup serius dalam mengembangkan aplikasi.


Komunitas SLIMS

Tidak heran bila di berbagai wilayah muncul semacam kelompok bersama atau komunitas yang kegiatannya adalah berbagi pengetahuan tentang SLiMS.

Tercatat sudah banyak komuniats SliMS di Indonesia antara lain Komunitas SLiMS Joggjakarta, Komunitas SLiMS Jakarta, Kudus, Solo, Pacitan, Jawa Barat, lalu komunitas SLiMS Aceh.

Tidak ketinggalan komunitas SLiMS Madiun, Surabaya, komunitas SLiMS Jawa Timur, Jawa Tengah, Ambon, Makasar dan sebagainya.

Melalui wadah komunitas tersebut para pengguna SLiMS menjadi tidak perlu hawatir karena jika ada masalah bisa langsung bertanya melalui komunitasnya.

Para anggotanya juga dapat mengembangkan diri dan berbagi pengetahuan baik dalam lingkup internal komunitasnya sendiri maupun antar komunitas.

Pada mulanya pengembang SLiMS hampir semuanya adalah pustakawan, atau orang-orang yang memiliki jalur pendidikan formal Ilmu Perpustakaan, pada perkembangannya kemudian muncul orang-orang dengan latar belakang teknologi informasi yang ikut pula berkontribusi dan mengembangkan SLiMS.

Pada 30 November hingga 1 Desember 2018 di Surabaya, berlangsung acara SliMS Community Meetup 2018 dengan tema "Open Access dan Open Source Sustainability: Tren Perpustakaan di Era Millenial".

Acara ini diselenggarakan oleh Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Jawa Timur Indonesia bekerja sama dengan Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya dan Komunitas SLiMS Surabaya.

Acara ini dihadiri 107 pustakawan dari berbagai perguruan tinggi dan berbagai instansi pemerintah dan swasta.

Pertemuan ini begitu istimewa karena bertepatan dengan hari ulang tahunnya SliMS yang ke 11.

Pada acara itu, Wardiyono yang merupakan Lead SLiMS Developer Community (Lead SDC) mengatakan, SliMS sudah diperkenalkan sejak 29 November 2007 dan saat ini sudah digunakan oleh sebagian besar perpustakaan di Indonesia.

Pertemuan komunitas SLiMS atau SLiMS Community Meetup 2018  antara lain menghadirkan empat narasumber yakni Wardiyono, Heriyanto, Dosen Ilmu Perpustakaan Universitas Diponegoro. Kemudian founder SLiMS Hendro Wicaksono dan Kuncoro Foe Rektor Universitas Katholik Widya Mandala Surabaya.

Heriyanto mengatakan ada dampak positif dari open access yakni diseminasi ilmu pengetahuan makin luas sehingga dapat menurunkan kesenjangan informasi. Selain itu open access juga memiliki konsekuensi tentang etika penggunaan informasi.

Dampak-dampak positif tersebut menuntut pustakawan untuk terus mengembangkan diri dan berperan aktif.

Peran yang bisa pustakawan lakukan antara lain memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang perkembangan open access, salah satu contohnya adalah variasi publikasi open access.

Peran pustakawan lainnya adalah mendampingi peneliti dalam memahami berbagai aturan dan kebijakan terkait publikasi open access.

Peran lainnya adalah mempromosikan institutional repositories serta mengikuti perkembangan kualitas jurnal.

Dengan kata lain, digelarnya "SLiMS Community Meetup" membuktikan bahwa pertemuan secara tatap muka maupun melalui medium offline sangat diperlukan bagi pustakawan milenial untuk menambah wawasan dan memperkuat ikatan.

*) Penulis adalah Pustakawan LKBN Antara
**) Penulis adalah Asisten Manajer Pusat Data & Layanan Informasi, Perum LKBN Antara


Baca juga: Kata "rekod" layak masuk kamus bahasa Indonesia
Baca juga: iPUSNAS, isi perpustakaan kini ada dalam genggaman

 

Pewarta: -
Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2018