Jakarta (ANTARA News) - Perikanan budi daya telah lama diketahui sebagai masa depan dari produksi sektor kelautan dan perikanan global.

Hal tersebut karena menurut FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian PBB) banyak wilayah penangkapan perikanan di dunia yang mengalami kondisi penangkapan berlebih.

Tidak heran bila Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto mengingatkan berbagai pemangku kepentingan bahwa perkembangan budi daya perikanan melesat selama lima tahun terakhir.

Terkait dengan pengembangan potensi perikanan budi daya, data KKP menunjukkan bahwa dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2013-2017) produksi perikanan budi daya nasional tumbuh rata-rata per tahun sebesar 6,69 persen.

Ia juga memaparkan pada tahun 2017 volume produksi akuakultur tercatat sebesar 17.217.701 ton atau naik sebesar 7,59 persen dibandingkan dengan pada 2016.

Pemanfaatan lahan budi daya dalam kurun waktu lima tahun terakhir disebut dia tumbuh rata-rata per tahun sebesar 1,94 persen.

Tidak hanya dengan potensi yang besar, Slamet juga menyebutkan bahwa KKP sangat memperhatikan keamanan pangan, baik untuk produk pasar domestik maupun ekspor.

Hal tersebut, sebagai bentuk tanggung jawab KKP bahwa aspek keamanan pangan harus dikedepankan untuk menjamin kesehatan masyarakat sebagaimana amanat dalam UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Ketahanan Pangan.

Menurut dia, KKP sangat berkomitmen, salah satunya dengan dikeluarkannya Permen KP Nomor 39 tahun 2015 tentang Pengendalian Residu Obat Ikan, Kimia, dan Kontaminan.

Data hasil monitoring residu selama 2010-2018 menunjukkan bahwa hasil uji noncompiant (NC) terus menurun, bahkan data hingga triwulan IV/2018 belum ada sampel yang terdeteksi mengandung residu atau noncompiant.

Selain itu, ujar dia, capaian dari pembangunan sistem monitoring residu nasional tersebut telah berhasil meningkatkan kepuasan para buyer terhadap kualitas produk perikanan Indonesia.

Hal ini dibuktikan bahwa hingga saat ini Indonesia belum pernah mendapat laporan atau surat Rapid Allert System For Food and Feed (RASFF) dari negara "buyer", khususnya terkait dengan cemaran atau residu pada produk perikanan budi daya yang diekspor.



Industri 4.0

Terkait dengan jenis komoditasnya, Slamet Soebjakto mengatakan udang menjadi salah satu komoditas perikanan budi daya yang paling siap dalam menghadapi industri 4.0.

Dalam Pembukaan Aquatic Asia 2018 di Jakarta, Selasa (28/11), Slamet menjelaskan bahwa sejumlah tambak udang telah menerapkan praktik akuakultur yang baik dan berkelanjutan.

Selain itu, tambak udang juga telah memenuhi sistem biosecurity atau standar bahwa komoditas tersebut terbebas dari penyakit tercemar.

Menurut dia, penerapan akuakultur atau praktik perikanan budidaya yang berkelanjutan menjadi bagian dari transformasi industri 4.0.

Komoditas ekspor perikanan budi daya lainnya seperti kakap putih, kerapu, dan rumput laut juga menjadi komoditas perikanan yang paling siap bertransformasi menuju industri 4.0.

Dirjen KKP menegaskan bahwa transformasi bisnis akuakultur ke dalam bagian industri 4.0 diharapkan memberi solusi terbaik, khususnya dalam membangun sebuah sistem produksi yang lebih efisien dan terukur mulai dari aspek teknis, manajemen dan penguatan SDM, hingga manajemen bisnisnya.

KKP juga telah menerbitkan kartu KUSUKA yang penerbitannya menggunakan sistem aplikasi daring dan telah diintegrasikan dengan aplikasi satu data kelautan dan perikanan, aplikasi ketelusuran sistem jaminan mutu dan keamanan pangan (CPIB, CBIB, CPPIB) dan aplikasi satu kode digitalisasi pelaku industri oleh BPS yang memungkinkan untuk dapat diakses oleh sektor terkait.

Pada kesempatan lainnya, Slamet juga mengingatkan bahwa kebutuhan pangan ikan terus meningkat di seluruh dunia, termasuk Indonesia, sehingga penting untuk mengembangkan pembudidayaan perikanan Nusantara.

Saat ini, penduduk Indonesia sudah mencapai 265 juta orang, pada 2030 diperkirakan mencapai hampir 300 juta orang.

Konsumsi ikan per kapita penduduk Indonesia juga terus meningkat dari 43 kg pada 2017 menjadi 50 kg pada 2019.

Menurut dia, konsekuensi dari hal tersebut adalah kebutuhan bahan pangan pun meningkat, termasuk ikan.

Ia berpendapat bahwa hal tersebut terjadi antara lain karena selera makan penduduk di berbagai belahan dunia juga kini telah bergeser.

Banyak warga global kini lebih menggemari sumber protein dari daging putih, seperti ikan, ketimbang daging merah, seiring dengan tuntutan gaya hidup yang lebih sehat.



Ambil manfaat

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengingatkan pelaku usaha nasional untuk mengambil manfaat dari permintaan terhadap konsumsi ikan yang tidak pernah berhenti dan terus meningkat.

Susi Pudjiastuti mengingatkan bahwa budi daya ikan sejak 30 tahun terakhir di seluruh dunia menjadi tumpuan dalam pemenuhan kebutuhan pangan yang naik setiap hari, seiring dengan pertumbuhan penduduk yang terus naik.

Ia berpendapat bahwa ke depannya, permasalahan penting bukan lagi terkait permasalahan ideologi dan politik, tetapi lebih kepada persoalan keamanan pangan.

Menteri Kelautan dan Perikanan juga mengingatkan penerapan pengelolaan budi daya berkelanjutan di sektor kelautan bakal menjamin kesuksesan bisnis perikanan nasional ke depannya.

Ia mencontohkan salah satu hal yang bisa diterapkan adalah penggunaan lahan tambak seharusnya sudah harus mengalokasikan sebagian area untuk bakau.

Selain menjaga abrasi, bakau juga merupakan benteng lingkungan alamiah yang memfilter kualitas air dalam tambak.

Selain itu, budi daya berkelanjutan juga sangat penting mengingat banyak hal, antara lain ketahanan lingkungan dan kapasitas daya dukung lingkungan.



Ekonomi Biru

KKP juga telah lama memperkenalkan konsep blue economy atau ekonomi biru yang merupakan pengelolaan potensi akuakultur atau budi daya perairan secara berkelanjutan, yang dinilai juga dapat menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan.

Menurut Slamet, melalui konsep blue economy akuakultur, akan berdampak kepada terbukanya lebih banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat.

Selain itu, mengubah kemiskinan menjadi kesejahteraan, karena sistem ekonomi konvensional sudah tidak mampu menyerap konsep hakiki pembangunan berkelanjutan.

Ia juga menuturkan, sistem ekonomi biru akan mendorong pengelolaan perikanan budi daya secara efisien melalui kreativitas dan inovasi teknologi, sehingga mampu mendorong industrialisasi kelautan dan perikanan yang berkelanjutan dengan pendekatan yang ramah lingkungan dan efisien.

Dengan demikian, penerapan konsep ekonomi biru juga sekaligus akan dapat menjawab tantangan kerentanan pangan melalui peningkatan produksi ikan, serta berkontribusi dalam peningkatan devisa negara melalui peningkatan volume dan nilai ekspor komoditas budi daya.

Slamet menjelaskan bahwa tantangan akuakultur saat ini, bagaimana mencukupi kebutuhan pangan masyarakat dunia di tengah permasalahan penurunan daya dukung lingkungan dan perubahan iklim global.

Berdasarkan data FAO, tercatat hingga tahun 2050 penduduk dunia akan mencapai 9,7 miliar jiwa yang menuntut adanya ketercukupan pangan secara berkelanjutan.

Namun di sisi lain, FAO juga memprediksi hingga tahun 2030, kontribusi akuakultur terhadap kebutuhan perikanan dunia diperkirakan akan mencapai 58 persen.

Dengan demikian, sudah tepat bila budi daya perikanan menjadi andalan nasional yang terus merekah, sehingga dapat menjadi basis utama dalam membangun kemandirian dan ketahanan pangan nasional, serta menjadi penghela pertumbuhan ekonomi dan memberikan porsi besar bagi peran pemberdayaan masyarakat.*



Baca juga: Budi daya ikan, harapan baru warga Tempilang

Baca juga: Makasar rancang budi daya ikan di selokan

Baca juga: Kebutuhan ikan tinggi, KKP dorong ekspor lele


 

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018