Persaingan politik antara kubu petahana dan penantang menjelang Pemilihan Presiden 2019 semakin menarik dengan aksentuasi pada adu narasi kebahasaan.

Sejak ditetapkan sebagai calon wakil presiden untuk calon presiden Prabowo Subianto, Sandiaga Uno dalam berbagai kesempatan sering menggunakan diksi emak-emak untuk merujuk kepada kaum perempuan. Sebutan itu tentu mengeksklusikan perempuan muda yang belum menikah.

Secara politis, jangkauannya tentu terbatas karena banyak pula perempuan muda belum menikah yang berhak mencoblos dalam pemilihan presiden tahun depan. Namun, penyebutan perempuan sebagai emak-emak punya kekuatan emosional buat kalangan bawah. Setidaknya, ada intimasi, kedekatan, karena kebanyakan kelas menengah ke bawah menyebut ibu mereka dengan emak. Ingat buku memoar tentang orangtua berjudul Emak yang ditulis oleh bekas menteri pendidikan dan kebudayaan Daoed Joesoef?

Hampir di setiap kesempatan mengunjungi tempat-tempat umum seperti pasar, Sandiaga bicara tentang perempuan menggunakan sebutan emak-emak. Kepada pers, mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta itu senantiasa mengatakan bahwa aspirasi emak-emak adalah bagian dari suara rakyat yang tak bisa diabaikan.

Tampaknya, disengaja atau tidak, untuk mengimbangi intensitas perhatian Sandiaga terhadap kaum perempuan yang dia sebut sebagai emak-emak, kubu petahana mulai mengumandangkan predikat buat kaum perempuan dengan istilah ibu bangsa.

Saat berpidato pada pembukaan Sidang Umum ke-35 International Council of Women dan Temu Nasional Seribu Organisasi Perempuan Indonesia, Presiden Joko Widodo mengatakan perempuan berperan penting mendidik anak sebagai penerus masa depan bangsa.

Tanggung jawab besar mendidik anak ini, Jokowi menambahkan, menjadikan mereka sebagai ibu bangsa.

Penyebutan ibu bangsa sepintas semakna dengan emak-emak, yang mengacu kepada kaum perempuan yang sudah berkeluarga, mengeksklusikan kaum hawa yang belum bersuami.

Namun, Jokowi yang dalam pertarungan Pemilihan Presiden 2019 dipasangkan dengan calon wakil presiden Ma'ruf Amin meluaskan narasi tentang ibu bangsa dengan memasukkan kaum hawa yang belum bersuami. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menyebut para atlet perempuan yang menyabet medali emas di Asian Games 2018 sebagai contoh bagian dari ibu bangsa.

Ada perbedaan lain yang terlihat antara kubu penantang dan petahana ketika memandang perempuan sebagai bagian dari warga yang akan memilih pemimpin nasional. Sandiaga, sesuai dengan wacana yang sedang dibangun kubu penantang, cenderung mengeksploitasi masalah ekonomi yang dihadapi emak-emak.

Salah satu contoh yang menjadi viral adalah pernyataan Sandiaga tentang keluhan emak-emak bahwa harga-harga kebutuhan pokok semakin mahal sehingga uang Rp100.000 ketika dibelanjakan di pasar hanya mendapat bawang dan cabe.

Ketika mengunjungi Pasar Marelan di Medan, calon wakil presiden yang masuk dalam daftar orang terkaya di Tanah Air itu mengatakan ingin menyerap aspirasi emak-emak dan pedagang di sana.

Dengan aksentuasi perhatian Sandiaga yang cenderung ke emak-emak yang mengeluhkan kesulitan ekonomi, jelas kubu penantang menggunakan strategi menggaungkan suara kelompok warga berpenghasilan pas-pasan dalam skema kampanyenya.

Kubu petahana menjawabnya dengan memberikan perhatian kepada aspek ideal tentang peran yang bisa dimainkan oleh kaum perempuan, tidak menekankan pada pengumpulan aspirasi tapi pada ajakan untuk berperan lebih maksimal.

Bahasa yang dipakai dalam perebutan dan pemertahanan kekuasaan selalu menjadi perhatian ekstra kalangan politikus. Dalam wacana bahasa politik, siapa yang piawai dalam mengeksploitasi bahasa untuk kepentingannya akan bisa memperoleh simpati dari publik.

Istilah ibu bangsa boleh dikata relatif baru dibandingkan dengan istilah yang bermakna mirip seperti guru bangsa atau anak bangsa. Bapak bangsa juga sesekali digunakan dalam perbincangan publik. Penggunaan istilah-istilah ini tampaknya digemari kaum politisi karena punya konotasi yang berkaitan dengan nasionalisme.

Pertarungan wacana kebahasaan yang secara khusus berlangsung antara istilah emak-emak dan ibu bangsa jelas bukan variabel paling signifikan dalam penentuan kemenangan Pilpres.

Para pakar politik sepakat bahwa kepuasan mayoritas calon pemilih terhadap kondisi ekonomilah yang paling menentukan siapa yang akan memenangi kontes perebutan kursi kepresidenan itu.

Namun pihak-pihak yang berkompetisi tentu tak akan membiarkan lawan memonopoli penggunaan istilah bahasa politik yang menjadi perhatian pemilih. Setiap langkah atau manuver lawan perlu diimbangi dengan langkah dan manuver yang menjadi alternatif bagi pemilih.

Dari posisi masing-masing, sesuai dengan kelaziman kontes politik di mana pun, tak sulit untuk menduga bahwa kubu penantang dalam Pemilihan Presiden 2019 akan terus mengeksploitasi suara emak-emak yang mengeluh bahwa ekonomi mereka semakin hari semakin sulit. Sementara kubu petahana akan fokus mengumandangkan suara ibu bangsa yang telah memperlihatkan prestasi-prestasi mereka.

Pertarungan wacana kebahasaan antara para kontestan Pemilu 2019 itu merupakan bentuk pertarungan verbal yang layak dilanjutkan karena pertarungan demikianlah yang direkomendasikan oleh demokrasi. Dibandingkan dengan adu unjuk kekuatan lewat pengerahan massa di jalan-jalan, perang verbal di tataran wacana lebih menjamin pilpres yang damai sebagaimana yang dikehendaki mayoritas warga.

Baca juga:
Sandiaga siap berdayakan ekonomi emak-emak
Presiden Jokowi sebutkan Menteri Perempuan sebagai ibu bangsa


 

Pewarta: Mulyo Sunyoto
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2018