Kepulan asap menerpa Kunjaimah (70) dan Istiwarti (50) saat keduanya satu demi satu mengambil cobek dari tempat pembakaran gerabah menggunakan sepotong bambu di bengkel kerja yang berada di Dusun Klipoh, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Sepanjang siang mereka membakar cobek-cobek tersebut. Pembakaran gerabah itu dilakukan setelah 10 hari proses pembuatan cobek tanah liat secara manual dan tiga hari proses penjemuran di bawah sinar matahari.

Hari itu mereka membakar 200 cobek yang bisa dijual dengan harga satuan Rp2.000. Selain cobek, mereka membuat  kuali dengan harga satuan Rp3.000 sampai Rp5.000 dan blengker, alas kuali, dengan harga satuan Rp1.500. Produk mereka akan dibeli para pedagang antara, yang akan memperdagangkannya ke berbagai pasar di Magelang.

Kunjaimah dan Istiwarti adalah perempuan-perempuan yang mewarisi kepandaian leluhur pembuat gerabah di Dusun Klipoh, Desa Karanganyar, sekitar 3,5 kilometer barat Candi Borobudur.

Kunjaimah, yang disapa Mbah Jaimah, sudah tidak ingat lagi bagaimana dia awalnya belajar membuat gerabah dari simboknya (ibu). Mbah Jaimah menganggap kepandaian itu secara alami melekat padanya karena sejak kecil berada di antara para pembuat gerabah di kawasan cagar budaya dunia tersebut.

"Sudah turun temurun anak cucu. Belajar dari simbok. Dulu membuat kelenting juga," katanya menggunakan bahasa Jawa.

Tak seperti Mbah Jaiman, Istiwarti masih bisa membuka memori lamanya dan mengingat bagaimana dia belajar membuat aneka gerabah dari simboknya sejak umur 12 tahun.

Mereka menuturkan bahwa dahulu para suamilah yang bertugas memikul gerabah buatan para ibu ke pasar untuk menjualnya.

Terpatri di Borobudur

Jejak perempuan pembuat gerabah terpatri di relief Candi Borobudur, tepatnya di lorong pertama sisi utara, pagar langkan bawah, bidang H nomor 5 dan bidang I nomor 1 candi yang dibangun sekitar abad ke-8 masa Dinasti Syailendra itu.

Ada relief gerabah di candi yang dibangun di antara Kali Elo dan Kali Progo selama sekitar 100 tahun dengan tatanan kurang lebih dua juta batuan andesit dari letusan Gunung Merapi itu.

Pemandu tamu penting dan tamu negara di Candi Borobudur Mura Aristina menjelaskan keberadaan relief gerabah tentang kegiatan orang-orang pada masa lampau membuat piranti untuk mengangkut air, menyimpan dan memasak makanan, serta menyimpan abu jenazah.

"Memang relief (gerabah) itu tidak banyak diketahui masyarakat," kata Mura, yang juga petugas Balai Konservasi Borobudur.

Film dokumenter drama berjudul "Taksaka" produksi Fasindo (Laboratorium Penerbitan dan Produksi Film) juga menjadi pematri sejarah kerajinan gerabah Klipoh dan kaitannya dengan relief gerabah di Candi Borobudur. Mura ikut bermain dalam film dokudrama tersebut.

"Film itu mengangkat relief Borobudur yang tidak banyak orang tahu, yaitu produksi gerabah zaman Syailendra dan sampai saat ini masih ada di Kampung Klipoh," kata Tri Setyo "Gepeng" Nugroho, penulis naskah dan asisten direktur produksi film pada 2017 itu.

Supoyo (47), pembuat gerabah Klipoh dan Ketua Kelompok Kerajinan Gerabah "Bina Karya" Dusun Klipoh, tanah di daerah tempat tinggalnya cocok untuk pembuatan gerabah.

Kelompok Kerajinan Gerabah pimpinan Supoyo anggotanya saat ini 86 orang, sekitar 90 persennya perempuan.

Supoyo mengatakan pembuat gerabah Klipoh saat ini yang umumnya berumur 20 tahun sampai 80 tahun adalah generasi ke-10 pembuat gerabah di daerah itu. Dua perempuan yang dianggap sebagai perintis perajin gerabah desa itu bernama Nyai Kundi dan Nyai Kalipah.

Nama Kundi kemudian dipercaya sebagai asal sebutan Dusun Gunden, sedangkan Kalipah menjadi dasar penyebutan Dusun Klipoh.

Tidak seperti Gunden yang saat ini tak lagi memiliki perajin gerabah, Klipoh masih mempertahankan kepandaian nenek moyang membuat gerabah.

Dusun Klipoh, yang kanan kiri jalan masuknya berhias dua patung tanah liat berbentuk perempuan membawa kendil, masih memproduksi piranti tradisional seperti cobek, kuali, blengker, kendil, keren, wajan, pengaron, dan padasan. Harga satuannya bervariasi antara Rp5.000 hingga Rp50.000.

Perajin gerabah Klipoh juga mengembangkan produk suvenir seperti tempat lilin, tempat pensil, vas bunga, asbak, sentir, dan pot bunga dengan harga satuan antara Rp1.000 hingga Rp15.000.

Misteri

Tentang mengapa sebagian besar perajin gerabah Klipoh sampai sekarang perempuan, Mura menyebutnya sebagai misteri.

Namun Supoyo memperkirakan itu berkaitan dengan pembagian tugas sehari-hari kaum perempuan (istri) dan laki-laki (suami) pada masa lampau.

Pada masa lalu mungkin para perempuan membuat gerabah sambil mengurus rumah tangga, sedangkan laki-laki mencari dan mengangkut bahan baku gerabah serta menjualnya ke pasar.

Zaman dahulu, para lelaki membutuhkan waktu sampai lima hari berjalan kaki memikul gerabah untuk mencapai pasar-pasar sekitar Magelang seperti Pasar Kaliangkrik, Bandongan, Windusari, Grabag, Secang, dan Kajoran.

"Dengan sendirinya yang di rumah para perempuan. Makanya mereka yang terampil dan telaten membuat gerabah sambil mengurus anak-anak dan rumah tangga," ujar Supoyo, yang isterinya, Zumarah (47), dan anak perempuannya, Khitun (27) dan Dwi Arum Sari (25), mahir membuat gerabah.

Kepandaian membuat gerabah para perempuan Klipoh saat ini menurut Supoyo hadir dengan sendirinya karena lingkungan produsen gerabah masih hidup. Ia mencontohkan keponakannya yang saat ini kelas III Sekolah Dasar juga sudah luwes membuat gerabah.

Kepandaian mereka, katanya dalam Bahasa Jawa, "Wis ketuntun dhewe. Ngelmune wis melu (Dengan sendirinya dituntun pandai membuat gerabah. Ilmunya sudah mengikuti)".

Tempat usaha Supoyo juga mempekerjakan para perempuan dan sekarang telah berkembang menjadi tujuan wisata edukatif bagi para pelajar. Sering kali rombongan pelajar bermain dan praktik membuat gerabah di tempat itu, menggunakan paket layanan dengan tarif Rp17.000 per orang untuk dua jam.

Peserta Sidang Umum ke-35 International Council of Women (ICW) dan Temu Nasional Seribu Organisasi Perempuan Indonesia pun, terutama yang akan berkunjung ke Balai Ekonomi Desa Karanganyar, akan belajar membuat gerabah, menyusuri jejak sebagian kaumnya yang terpatri di lorong Candi Borobudur.

Baca juga: Sentra gerabah Borobudur jadi tujuan studi wisata

 

Pewarta: Maximianus Hari Atmoko
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2018