Jakarta (ANTARA News) - Memilih menjadi pemimpin di Indonesia ibarat ujian untuk mengisi jutaan gelas kosong dengan air secara adil.

Sementara volume air terbatas suara protes atas pemenuhan rasa adil tak pernah berhenti membuat kuping merah.

Hal itu barangkali yang harus dialami seorang Jokowi. Sang Presiden RI ke-7 itu harus menghadapi deraan dan tuntutan untuk berbuat adil dalam segala langkahnya.

Tak terkecuali pilihannya untuk membangun infrastruktur dari pinggiran. Sejatinya ia dihadapkan pada pilihan yang pragmatis; membangun untuk digunakan banyak orang di wilayah-wilayah padat penduduk atau membangun di wilayah yang sama sekali sedikit masyarakatnya.

Jokowi memilih untuk melakukan kedua-duanya. Meski kemudian upayanya untuk memeratakan kesejahteraan mengundang protes sana sini.

Ia pernah mengungkapkan bahwa seorang pemimpin tak mungkin bisa memuaskan ratusan juta orang rakyatnya sekaligus. Mantan tukang kayu itu rupanya hanya berpegang teguh pada apa yang diyakininya benar.

Serupa ketika ia berpikir tentang Papua. Tanah yang disebut Labadios oleh ahli geografi Claudius Ptolemaeus pada 200 M itu menempati perhatian khusus dalam benak Jokowi.

Mantan Gubernur DKI itu sejak awal didaulat sebagai Presiden RI bertekad melakukan sesuatu untuk Papua, yang bagi sebagian kecil orang dianggap terlampau menghabiskan waktu dan energi.

Terlebih dalam sejarahnya, persoalan di Papua selalu berkelindan kusut selaksa tanpa ujung pangkal, konflik antar-suku, kemiskinan, kesenjangan, hingga keterlambatan pembangunan.

Pemimpin, terlebih mereka yang sudah lama terpuaskan beragam kemudahan di Tanah Jawa kadang kala bahkan lebih sering menutup mata saja atas apa yang terjadi di Papua.

Anehnya Jokowi justru berbeda, bukan lantaran sekadar nyentrik, sebaliknya Jokowi justru memilih untuk membangun Papua. Dengan alasan yang banyak orang tak tahu dengan pasti.

Banyak yang kemudian mempertanyakan untuk apa Jokowi begitu berlebihan pada Papua. Bahkan dalam tahun keempat pemerintahannya, total ia telah berkunjung 9 kali ke Bumi Cenderawasih itu.


Memanusiakan Papua

Fransiscus Orlando barangkali memang bukan siapa-siapa, namun toh pria asal Papua yang sudah lama menetap di Selandia Baru itu mendapatkan kesempatan emas untuk bertanya ke Presiden Jokowi secara langsung saat kunjungannya ke Selandia Baru beberapa waktu lalu.

Pria berkulit hitam dan berambut keriting khas Papua itu melayangkan pertanyaannya atas rasa penasaran mengapa presiden gemar sekali mengunjungi Papua.

Jokowi yang didampingi Iriana yang selalu tersenyum pun menjawab dirinya hanya ingin memastikan secara langsung kondisi masyarakat dan infrastruktur di sana, tidak hanya dari laporan jajarannya saja. 

Menurut Jokowi, Indonesia bagian timur sudah terlalu lama dilupakan dan kurang diperhatikan. Maka dari itulah meski butuh 6 jam penerbangan dari ibu kota, tak menyurutkan langkahnya untuk berkunjung ke provinsi paling timur Indonesia itu.

Tercatat Papua menjadi provinsi yang paling sering dikunjungi Jokowi bahkan sejak 1,5 bulan ia dilantik sebagai orang nomor satu di negeri ini.

Keprihatinan Jokowi menjawab pertanyaan banyak orang entah yang benar-benar ingin tahu atau mereka yang tak sependapat hingga nyinyir atas langkahnya.

Jokowi hanya ingin memanusiakan Papua sebagai bagian dari NKRI yang sudah lama terlupakan. Papua mengundang keprihatinannya yang terdalam, bahkan siapapun yang belum pernah menginjakkan kakinya di Papua barangkali akan sulit memahami apa yang dilakukan Jokowi.

Jokowi akan sedikit mengeraskan volume suaranya ketika berbicara tentang Nduga, sebuah kabupaten kecil di Papua yang masih begitu rawan keamanannya.

Untuk ke sana saja, siapapun harus berjalan kaki 4 hari 4 malam dari Wamena, bahkan aspal sepanjang satu meterpun tak pernah ada di wilayah itu.

Bayangkan bagi masyarakat kecil yang tinggal sebuah desa terpelosok di sudut Nduga, maka untuk mencapai puskesmas saja butuh waktu empat hari lamanya. Sementara Indonesia telah merayakan kemerdekaan lebih dari tujuh dekade lamanya.

Maka masih adakah yang bisa nyenyak tertidur di ranjang empuk dengan listrik yang menyala semalaman di tengah ibu kota yang serba mudah tanpa berpikir betapa ada yang sedang kesulitan bertahan hidup di Papua, padahal sama-sama di pangkuan Ibu Pertiwi.


Panglima Perang

Orang bebas menilai tentang bagaimana Jokowi, barangkali ia pun kini semakin tak peduli. Bagi pria asli Jawa itu, Papua adalah prioritas.

Kesungguhannya pada Papua bukan main-main. Entah dianggap pencitraan atau bukan, Jokowi mengangkat ajudan polisi dari kalangan putra Papua.

Ia bahkan mengangkat Staf Khusus asal Papua yang bertugas langsung menangani dan melaporkan isu-isu Papua kepadanya. 

Lenis Kogoya anak Papua itu mengaku begitu bangga ketika dipanggil ke Istana dan ditawari pekerjaan yang tak pernah diimpikannya sebagai Staf Khusus Presiden.

Jokowi juga tak segan menekan Pertamina agar mau mendegradasi profit demi program BBM satu harga di Papua.

Ayah tiga anak itu seakan ingin menjelma menjadi Bapak Papua yang bermimpi harga semen di Merauke sama dengan di Jakarta.

Sampai ia menemukan bahwa infrastruktur yang begitu buruk karena jauh dari sentuhan pembangunanlah yang membuat harga-harga di Papua demikian mahal. Masyarakat Papua pun jauh dari aroma subsidi yang semestinya mereka terima.

Maka wajar ketika ia disemati julukan nama adat Kambepit sebagaimana keputusan Musyawarah Pimpinan Lembaga Masyarakat Adat Asmat.

Kambepit adalah nama Panglima Perang Asmat yang berasal dari rumpun Bismania. Bagi Suku Asmat, Panglima Perang Kambepit adalah pemimpin pemberani dan visioner yang memimpin Suku Asmat memasuki era perubahan dimana masyarakat Suku Asmat mengenal peradaban modern seperti sekarang ini. 

Dengan pemberian nama Kambepit dan gelar adat sebagai Panglima Perang kepada Presiden Joko Widodo, masyarakat adat Asmat menginginkan agar Presiden Joko Widodo bisa menjadi Panglima Kambepit di masa kini yang memimpin mereka menuju era perubahan dan masa depan yang lebih baik.

Tak hanya Asmat, seluruh Papua pun semakin penuh harap, pada Jokowi yang mengikatkan hatinya jauh di tanah mereka. Pun pada mereka yang "hitam kulit, keriting rambut, aku Papua...".

Pewarta: Hanni Sofia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018