Yogyakarta (ANTARA News) - Setelah puluhan guru besar, sekarang giliran ratusan Dekan dan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta di Yogyakarta menyatukan sikap mendorong kesediaan Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat melepaskan jabatannya terkait pelanggaran kode atik yang diperbuat.

Pernyataan sikap itu dituangkan dalam sebuah surat raksasa yang akan dikirimkan kepada Arief Hidayat.

"Permintaan mundur ini semata merupakan simpulan kami sebagai akademisi atas apa yang telah Bapak lakukan selama ini, khususnya terkait dengan pelanggaran kode etik," kata Direktur Pusat Studi  Hak Asasi Manusia (Pusham) Universitas Islam Indonesia (UII), Eko Riyadi membacakan isi surat itu di Gelanggang Mahasiswa UGM, Rabu.

Eko mengatakan bahwa sebagai seorang akademisi, terlebih profesor di bidang hukum, Arief memahami bahwa pelanggaran etika merupakan corengan yang luar biasa atas karir seorang hakim konstitusi yang selayaknya terhormat dan beretika.

Apalagi syarat seorang hakim konsitusi, kata dia, adalah seorang negarawan yang tidak tercela. Perilaku Arief yang telah dua kali melakukan pelanggaran kode etik, tidak mencerminkan sikap negarawan maupun nilai integritas yang seharusnya dimiliki dan dijunjung tinggi oleh seorang Hakim Konstitusi.

"Sebagai sesama akademisi, permintaan mundur ini tidak memiliki tendensi politik  apa pun," kata dia mengutip isi surat itu.

Dosen Fakultas Hukum UII yang juga mantan Ketua KPK, Busyro Muqoddas mengatakan sebagai anak kandung reformasi, MK memiliki kedudukan sebagai puncak lembaga negara yang memiliki keistimewaan di mana 9 hakim MK diberikan gelar tertinggi sebagai negarawan.

MK juga memiliki posisi penting sebagai alas pijak inti pengunci setiap judicial review sejumlah Undang-Undang.

"Konsekuensinya yang harus melekat pada hakim itu adalah ahlak dan etika. Namun kalau unsur itu sudah rontok maka rontok pula predikat negarawan," kata dia.

Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum UGM Sigit Riyanto hakim MK sebagai pengawal hukum, ketatanegaraan, sekaligus peradaban Indonesia tidak boleh berkutat dibalik norma hukum, melainkan harus menegakkan nurani, nalar, dan kebudayaan.

"Sehingga kita memiliki pilihan apakah memebiarkan jalan ketatanegaraan kita menuju kehancuran atau mau mengoreksi ini," kata Sigit.

Ratusan Dekan dan mahasiswa yang ikut dalam pernyataan sikap itu antara lain dari UGM, UIN Sunan Kalijaga, UII, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Universitas Janabadra, Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Universitas Atmajaya Yogyakarta, Universitas Proklamasi, serta Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018