Jakarta (ANTARA News) - Pengacara Fredrich Yunadi membantah seluruh dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) KPK yang menyatakan ia bekerja sama dengan dokter dari Rumah Sakit Medika Permata Hijau Bimanesh Sutarjo bekerja sama untuk menghindarkan ketua DPR Setya Novanto untuk diperiksa dalam perkara korupsi KTP-Elektronik.

"Etikad baik yang menentukan adalah dewan etik peradi, bukan KPK, tidak ada alat hukum yang bisa menguji, menilai etika suatu advokat. Dakwaan JPU mengungkapkan bahwa JPU KPK salah menafsirkan hukum, KPK masuk ke ranah kode etik advokat yang bukan haknya," kata Fredrich di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.

Fredrich membacakan nota keberatan (eksespsi) sebanyak 79 butir dalam 37 halaman.

Ia didakwa pasal 21 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU no 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat 1 KUHP

Pasal itu mengatur mengenai setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta.

"JPU dan penyidik KPK sekonyong-konyo memfitnah, menciptakan opini masyarakat, melakukan `abuse of power` menjerat terdakwa seolah-olah melakukan tindak pidana pasal 21 dengan memposisikan dirinya sebagai dewan kehormatan Peradi sehingga secara `de facto` dan `de jure` melecehkan peradi sebagai salah satu unsur penegak hukum, menghina 100 ribu advokat atau 50 ribu advokat di bawah Peradi, memaksa negara hukum jadi negara kekuasaan," tambah Fredrich.

Fredrich menilai bahwa JPU KPK melakukan pemalsuan dakwaan tersebut, termasuk karena merasa tidak pernah ditahan oleh JPU.

"Kami tidak pernah ditahan JPU karena kami ditahan penyidik sejak 13 Januari hingga 1 Februari 2018, kemudian pada 1 Februari 2018 secara melawan hukum penyidik dan JPU memaksa dalam rutan dan secara lisan, ada 14 penyidik KPK menyatakan berkas sudah lengkap alias P21, dan kami terdakwa diminta mendandatangani BAP tahap 2," ungkap Fredrich.

Ia pun mempertanyakan dimana penasihat hukumnya, tapi dijawab penyidik bernama Rizka bahwa sudah ditelepon tapi tidak hadir.

"Penasihat hukum kami dari unsur DPN Peradi, pengacara senior secara hukum wajib dipanggil via surat resmi bukan telepon. Apa Rizka tahu, kemudian 14 penyidik dan 14 JPU yang berada di dalam ruang tamu tahanan mencoba meneror agar kami menandatangani berkas P21 dan penyerahan berkas, tegas kami tolak," tambah Fredrich dengan berapi-api.

Peristiwa itu menurut Fredrich disaksikan oleh Kepala Rutan KPK dan sejumlah pengawal tahanan.

"Karena itu kami meminta majelis hakim agar memerintahkan JPU KPK memanggil saksi dalam acara eksepsi untuk memberikan kesaksian percobaan pemaksaan terdakwa karena tidak ada berita acara penyerahan tahap 2 dan berita acara penahanan. Secara `de facto` kami tetap disekap oknum KPK," ungkap Fredrich.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018