... saya mencium aroma adu domba antar kelompok di sini, baik antar kelompok yang berbeda agama, maupun antar kelompok dalam satu agama...
Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, mengimbau para pemuka agama di Indonesia untuk turut menjaga dan menenangkan masyarakat sehubungan aksi  serangan terhadap tokoh keagamaan yang terjadi akhir-akhir ini ini.

Dalam keterangan tertulisnya, Selasa, dia juga mengecam aksi  serangan terhadap tokoh keagamaan yang terjadi akhir-akhir ini, sekaligus mendesak polisi mengusut tuntas aksi-aksi brutal ini, termasuk motif para pelakunya.

“Jangan kita mudah terpancing atau terjebak pada politik adu domba. Kekayaan kita yang paling berharga adalah bisa bersatu dalam kemajemukan. Kita harus menjaganya," kata Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra ini.

Ia mengatakan, jika sebelumnya serangan dialami sejumlah tokoh Islam, ulama dan ustadz maka pada Minggu 11 Februari 2018, serangan kini menimpa Gereja Santa Lidwina, Sleman, Yogyakarta.

“Aksi penyerangan terhadap jemaah dan pimpinan misa di Gereja Lidwina Sleman, Yogyakarta, jelas melukai kita. Saya mengecam tindakan tak beradab itu. Tindakan itu sama sekali tak mencerminkan ajaran agama manapun,” kata dia.

"Tapi pada sisi lain, kita harus jeli menilai kejadian itu. Apalagi, kejadian serupa bukan kali pertama terjadi. Jangan sampai masyarakat gampang menuduh seolah aksi terhadap kelompok A pastilah disebabkan kelompok B, atau sebaliknya," kata dia. 

"Sebab, saya mencium aroma adu domba antar kelompok di sini, baik antar kelompok yang berbeda agama, maupun antar kelompok dalam satu agama," kata dia.

Kalau ditarik lagi ke belakang, katanya, sebelum peristiwa kekerasan di Gereja Lidwina, setidaknya ada empat serangan serupa yang kebetulan menimpa pemuka kalangan Islam dari ormas yang berbeda-beda.

Pertama, kekerasan terhadap KH Emron Umar Basyri, pengasuh Pondok Pesantren Al-Hidayah Cicalengka, seorang tokoh NU. 

Kedua, serangan terhadap Ustad Prawoto, salah satu tokoh Persis (Persatuan Islam), yang akhirnya meninggal dunia. 

Ketiga, serangan terhadap seorang santri dari Pesantren Al-Futuhat Garut, oleh enam orang tak dikenal. 

Dan keempat, serangan terhadap Ustad Abdul Basit, yang dikeroyok sejumlah orang di Jalan Syahdan, Palmerah, Jakarta Barat.

Serangan-serangan tersebut terlihat memiliki pola target yang sama, kata dia. Sasarannya adalah tokoh atau kelompok keagamaan. 

Yang menarik, sejumlah penyerang yang berhasil diidentifikasi juga memiliki identitas tunggal, yaitu diduga sebagai orang gila. 

Kejadian-kejadian tadi jadi ada polanya. Sehingga, jangan heran jika ada sebagian dari masyarakat yang menduga bahwa saat ini sedang ada semacam upaya adu domba antarumat beragama di sini, apapun kepentingannya.

“Isu agama adalah isu sensitif. Sehingga, aparat kepolisian harus bekerja cepat dan transparan, agar tidak muncul spekulasi dan prasangka yang bisa memicu konflik di tengah masyarakat,” katanya.

Terlebih pada tahun-tahun politik seperti sekarang, katanya. Upaya-upaya yang mengarah kepada adu domba, membentur-benturkan masyarakat, akan semakin banyak. Itu sebabnya pemerintah, dalam hal ini aparat keamanan, harus bisa mengantisipasi agar peristiwa serupa tak terulang lagi.

Dari sisi keamanan, katanya, rentetan tindak kekerasan ini merupakan tamparan bagi pemerintah. Ini menunjukkan pemerintah belum bisa memberikan jaminan rasa aman. 

Padahal, ulama, santri, pendeta, dan jemaat gereja adalah warga negara yang berhak mendapatkan jaminan keamanan dari pemerintah. Apalagi, pemerintah juga baru menyelenggarakan Musyawarah Besar Pemuka Agama dan Kerukukan Bangsa pekan lalu.

Pewarta: Unggul Tri Ratomo
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2018