Jakarta (ANTARA News) - Era Reformasi menjadi titik kemerdekaan pers Indonesia, media-media baru menjamur tanpa tahu dirinya bertahan lama atau tidak, ditambah lagi saat era digital yang menumbuhkan media daring yang dengan hitungan detik informasi telah tersaji di layar gawai pembaca.

Mau tak mau perusahaan pers lama pun harus beradaptasi dengan zaman, wartawan sebagai ujung tombak perusahaan media pun ikut menjadi mutan, saat liputan mereka harus dapat menulis berita, mengambil foto, bahkan mengambil video demi konevergensi media.

Namun kerja wartawan yang "super" itu ternyata belumlah ditunjang dengan pendapatan yang memadai serta kompetensi mereka yang menekuni profesi itu.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menyebut kisaran upah para jurnalis di Jakarta adalah Rp3-4 juta per bulan, angka tersebut belum berubah sejak beberapa tahun belakangan.

Upah tersebut dinilai hanya sedikit di atas UMP (Upah Minimum Provinsi) Jakarta yaitu Rp3,1 juta.

"Padahal, jurnalis sering harus bekerja lebih 8 jam tanpa mendapat upah lembur, bahkan kami menemukan ada media yang masih memberi upah jurnalis di bawah UMP," kata Ketua AJI Jakarta Ahmad Nurhasim di Jakarta.

AJI Jakarta menetapkan besaran upah layak jurnalis di tahun 2016 sebesar Rp7.540.000. AJI Jakarta menilai upah layak tersebut akan meningkatkan mutu jurnalisme dan memberikan informasi yang lebih bermutu pada masyarakat.

Angka tersebut muncul setelah AJI Jakarta melakukan survei terhadap harga kebutuhan-kebutuhan jurnalis di Jakarta. Ini ditambah dengan kebutuhan-kebutuhan yang harus dimiliki jurnalis agar mampu bekerja dengan profesional.

"Ada kebutuhan khas di jurnalis seperti langganan koran, modem, dan menyicil komputer yang membuat upah layak jauh di atas UMP," kata Ahmad Nurhasim.

Dia mengatakan bahwa AJI berharap besaran ini berlaku bagi reporter karyawan tetap tahun pertama.

Organisasi itu juga menekankan pentingnya kesejahteraan jurnalis, ketika kehidupan jurnalis sejahtera, maka akan tercipta produk jurnalistik bermutu yang mendidik dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Upah layak dan kesejahteraan juga dapat membentengi jurnalis dari godaan suap. Sehingga independensi produk jurnalistik yang dihasilkan tetap terjaga dan bermanfaat bagi publik.

Selain upah layak, perusahaan media juga wajib memberikan jaminan keselamatan kerja, jaminan kesehatan dan jaminan sosial kepada setiap jurnalis dan keluarganya.

"Ini termasuk hak-hak jurnalis perempuan seperti ruang laktasi, cuti haid, dan cuti melahirkan. Pasalnya, AJI Jakarta masih menemukan pemecatan atau penghentian kontrak pada jurnalis karena hamil," kata dia.

AJI Jakarta juga menekankan pentingnya berserikat untuk memperjuangkan upah layak tersebut. Berserikat adalah hak asasi manusia dan dilindungi oleh Undang-undang Dasar dan diatur dalam UU Serikat Pekerja 21/2000.

Jurnalis adalah pekerjaan yang memiliki resiko tinggi dan rentan terkena tindakan kriminal. Dengan berserikat dan berorganisasi, jurnalis memiliki benteng yang melindungi, memperkuat daya tawar, sekaligus dapat memperjuangkan kepentingannya.

"Upah layak bisa diperjuangkan salah satunya dengan berserikat," kata Hasyim.

Jumlah pekerja yang berserikat hingga kini masih sangat minim. Data Dewan Pers 2014 menunjukan terdapat 2.338 perusahaan media. Dari jumlah itu, hanya 24 media yang memiliki serikat pekerja aktif.

"Jumlah ini hanya satu persen dari total perusahaan media yang ada. Tentu jauh dari ideal," kata Hasyim

AJI Jakarta juga akan meminta Dewan Pers merubah Standar Perusahaan Pers agar mendekati upah minimum. "Kita akan minta Dewan Pers merubah besaran upah menjadi setidaknya 2 kali upah minimum," katanya.

Saat ini, pasal 8 peraturan Dewan Pers tentang Standar Perusahaan Pers hanya mewajibkan perusahaan pers membayar upah sebesar UMP sebanyak 13 kali dalam setahun.

Sementara itu Dewan Pers menilai kesejahteraan wartawan berperan penting dalam meningkatkan kapasitas para jurnalis, terlebih lagi dalam era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Dari 788 aduan yang diterima Dewan Pers selama 2015, sebanyak 80 persen kasus yang dihadapi media memang didominasi kasus pelanggaran etik meliputi kesalahan dalam meliput, tidak berimbang, dan melanggar pedoman peliputan.

Sebagian besar aduan ini memang menimpa media-media resmi yang berbadan hukum., menurut Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo hal tersebut terjadi karena minimnya kapasitas para pekerja medianya.

Yosep Adi Prasetyo mengatakan dalam era MEA ini, bisa saja nantinya banyak wartawan media asing yang masuk ke Indonesia, sehingga wartawan perlu meningkatkan kualitasnya agar dapat bersaing dengan yang lain.

"Kita tahu sendiri banyak yang gajinya masih pas-pasan, kalau begitu bagaimana mau meingkatkan kualitas? Mereka bisa kalah dengan wartawan asing yang lebih siap. Kalau itu sampai terjadi, maka ruang public di sini akan dikuasai wartawan asing, agar tidak terjadi Dewan Pers perlu bekerja sama dengan Kementerian Tenaga Kerja," kata dia.

Peningkatan kapasitas wartawan dinilai penting agar para jurnalis menajalankan profesinya dengan baik dan tidak melanggar independesi serta kode etik wartawan.

Pelatihan dan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) menjadi salah satu alat bantu peningkatan kapasitas tersebut.

Namun sayangnya, saat ini jumlah wartawan yang mengikuti uji tersebut terbilang minim, dari ratusan ribu wartawan yang ada di Indonesia, hanya sekitar 10 ribu wartawan yang telah tersertifikasi.

Untuk mendorong hal itu, Dewan Pers akan mewajibkan UKW.

Dia mengatakan untuk mewujudkan hal tersebut tidaklah mudah dan akan memakan waktu yang lama.

"Sekitar dua sampai tiga tahun ke depan, setelah itu semua wartawan harus memiliki sertifikat. Tentu aka nada masa transisi," kata Yosep.

Menurut dia, sedikitnya jumlah wartawan yang mengikuti UKW dikarenakan tidak ada kentungan atau konsekuensi yang diterima wartawan yang ikut dengan yang tidak ikut uji kelayakan tersebut.

"Mungkin banyak yang berpikir apa untungnya iktu UKW, karena gajinya juga tidak berubah. Makanya UKW ini harus menjadi bagian dari sistem perusahaan pers, kami akan coba canangkan agar perusahaan mewajibkan UKW kepada wartawannya. Jika wartawan belum mengikuti UKW, narasumber dapat menolak untuk diwawancarai. Hal ini utnuk menghalangi wartawan abal-abal," kata dia.

Saat ini jumlah Dewan Pers mencatat ada 670 media cetak dan 270 media daring 270 yang sah dan berbadan hukum di Indonesia, namun ada sekitar 16.500 media abal-abal atau yang disebut "bodrex"di kalangan wartawan.

Angka media abal-abal tersebut diperkirakan terus bertambah, karena pada era digital yang memudahkan siapa saja untuk membuat medianya sendiri.

Dewan Pers mengaku sulit untuk menyaring media abal-abal ini, maka UKW menjadi salah satu pembeda wartawan sebenarnya dengan wartawan abal-abal ini.

Oleh Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016