Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia Profesor Harkristuti Harkrisnowo menyatakan pentingnya sosialisasi pasal penyerangan harkat dan martabat presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) nasional.

"Penting dijelaskan bahwa pasal tentang penghinaan Presiden itu bukan untuk membungkam. Karena pidana ini memiliki persyaratan. Kritik tidak apa-apa, tapi apabila penghinaan, pencemaran nama baik, itu yang dilarang," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu.

Menurut dia, aturan itu telah ada di Pasal 218 tentang penyerangan harkat dan martabat presiden dan Pasal 240 tentang penghinaan pemerintah atau lembaga negara.

Menurut dia, pasal tersebut dibuat bukan untuk membungkam masyarakat. Indonesia memang negara yang menganut asas demokrasi, namun bukan berarti demokrasi diartikan sebagai demokrasi yang kebablasan.

Kata dia, perbedaan antara kritik dan penghinaan pun ditekankan dalam pasal tersebut. Maka, tidak akan ada proses hukum tanpa adanya pengaduan yang sah dari pihak yang berhak mengadu, yaitu Presiden atau Wapres (Pasal 218 UU KUHP) dan Pimpinan Lembaga Negara (Pasal 240 UU KUHP).

Dia menegaskan Indonesia berhasil mengundangkan KUHP baru, menggantikan KUHP lama peninggalan pemerintah kolonial Belanda.

"Indonesia segera memasuki era hukum pidana yang lebih sesuai dengan kepribadian dan jati diri bangsa," katanya menegaskan.

Hal itu juga disampaikan Harkristuti saat berbicara dalam acara Sosialisasi KUHP yang diselenggarakan Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (Unnes) dii Semarang, Rabu (1/2).

Baca juga: Wamenkumham sebut pasal penghinaan Presiden untuk menjaga marwah

Baca juga: Pemohon jelaskan alasan gugat pasal tentang penghinaan Presiden

Pewarta: Fauzi
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2023