Ambon (ANTARA) - Kopi, jika menyebut minuman satu itu terbayang aroma pekat dan cita rasa pahit yang dihasilkan oleh minuman seduhan yang dibuat dari biji kopi. Di samping rasa dan aromanya, kopi juga disebut-sebut bisa menurunkan risiko terkena penyakit kanker, diabetes, batu empedu dan berbagai penyakit jantung.

Menurut sejarahnya, kopi pertama kali ditemukan oleh bangsa Etiopia di Benua Afrika sekitar tahun 1000 sebelum Masehi. Sejak itu kopi telah menjadi komoditas dunia yang dibudidayakan oleh lebih dari 50 negara, termasuk Indonesia.

Tradisi minum kopi yang sering disebut dengan "ngopi" berkembang pesat di Indonesia, banyak daerah terkenal dengan beragam sajian dan seduhan kopi masing-masing, sebut saja Aceh dan sebagian besar kepulauan Sumatera, begitu juga dengan Pulau Sulawesi yang terkenal dengan kopi Toraja.

Di Maluku, tradisi ngopi berkaitan dengan aktivitas berkumpul dan mengobrol. Warung dan kedai kopi yang kadang disebut dengan rumah kopi menjadi tempat yang paling ramai dikunjungi oleh kaum tua dan muda kala sore hingga malam.

Tak ada yang tahu kapan kopi mulai masuk ke Maluku, konon orang-orang Maluku disebut membudidayakan kopi, akan tetapi setelah kedatangan penjajah Hindia-Belanda, perkebunan mereka dihancurkan dan hanya boleh dipakai hanya untuk menanam cengkeh dan pala, sejak itu tidak ada lagi yang mau menanam pohon kopi.

Kendati saat ini tidak ada yang budi daya kopi di Maluku, tapi aktivitas berkumpul, mengobrolkan situasi sosial kemasyarakatan hingga politik dengan ditemani segelas kopi seolah telah menjadi tradisi bagi orang-orang di daerah itu, baik kalangan mahasiswa hingga pekerja.

Risman (37), seorang pegawai negeri sipil (PNS) misalnya, ia kerap menghabiskan sore dengan kawan-kawannya di beberapa kedai kopi di kawasan Batu Merah, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon. Tak ada hal penting yang dibahas, tapi bagi mereka menikmati kopi bersama ibarat memperpanjang silaturahmi.

"Kita bisa mengenal banyak orang dari berbagai kalangan di rumah kopi. Jarang ada yang datang ke rumah kopi sendirian, dari saling tegur-sapa atau basa-basi bertanya minum kopi apa akhirnya bisa saling kenal juga," katanya.

Risman bukanlah warga Ambon, ia berasal dari Seith, salah satu desa di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah. Ia mengaku mengenal kopi sejak masih duduk di bangku SMA, karena orang tuanya kerap membuat kopi yang dipanen dari kebun mereka.

Kopi yang dibuat oleh orang tua Risman jumlahnya tidak banyak, karena pohon kopi hanyalah menjadi tanaman sampingan di lahan perkebunan cengkih dan pala, sehingga tak banyak kopi yang bisa dihasilkan, dan tidak bisa sering-sering dinikmati.

Berbeda dengan yang dibuat di kedai-kedai kopi modern, kopi yang disajikan oleh orang tua Risman dibuat secara tradisional. Biji kopi mentah yang sudah dijemur di panas matahari disangrai di atas tungku dan ditumbuk menggunakan lesung batu hingga menjadi bubuk halus dan siap disajikan.

"Bapak tanam kopi hanya sedikit, hanya sebagai tanaman pelindung bagi cengkih dan pala, kadang biji kopi yang matang dipetik, kadang malah dibiarkan begitu saja sampai pohonnya mati dan ditanam yang baru lagi," katanya.

Minuman kopi di rumah Risman disajikan begitu saja dengan tambahan gula, tapi ada pula yang dicampurkan dengan susu kental manis, atau bahan lainnya seperti halia atau jahe sehingga rasanya sedikit berbeda, tergantung selera.

Sajian minuman kopi yang dicampurkan dengan jahe oleh warga di desanya dianggap sebagai minuman kesehatan karena bisa memberikan tambahan panas tubuh, dan juga membantu menghilangkan lelah usai bekerja di kebun.

"Kalau dicampur halia aromanya sedikit berbeda, nikmat kalau diminum saat masih panas. Ada juga minuman kopi hitam yang dicampur sejumput garam. Garamnya tidak berasa tapi itu bisa membuat mata melek sampai pagi," kata Risman.

Kopi Pulau Buano

Aromanya pekat dan tak asam, meski dicampurkan dengan es dan diminum dingin, itulah kopi yang dihasilkan dari Pulau Boano, sebuah pulau di sebelah selatan Laut Seram di Kecamatan Huamual Belakang, Kabupaten Seram Bagian Barat.

Warnanya yang hijau dan bentuknya yang kecil mirip kacang tanah dan berwarna hijau terlihat menarik perhatian pengunjung Kafe Skai, sebuah kedai kopi di Desa Batu Merah yang mulai memasarkan kopi asal Buano sejak empat bulan lalu.

"Kami baru empat bulan menggunakan kopi ini, ternyata banyak yang suka karena tidak asam dan rasanya juga pekat. Jenisnya masih termasuk biji kopi robusta," kata Muhamad Segar Mail, pemilik Kafe Skai.

Ia mengatakan awalnya biji-biji kopi asal Buano dikirim kepadanya untuk dijual ke pasar besar di Surabaya, Jawa Timur. Tapi karena semakin sedikitnya permintaan untuk biji kopi mentah, kopi tersebut hanya tersimpan di gudang.

Demi tidak membuat petani merugi, ia kemudian mengakalinya dengan menyajikannya sebagai salah satu menu minuman berbahan kopi di kafe milikinya, tak disangka kopi tersebut sangat diminati oleh pengunjung. Melalui uji coba oleh beberapa barista, kopi asal Buano kemudian resmi dipasarkan.

Puluhan kilo biji kopi asal Buano kemudian dikemas dengan kemasan yang lebih menarik lalu diperkenalkan dan dijual ke berbagai kedai kopi di Kota Ambon, mulai dari warung kopi tradisional hingga kedai kopi modern.

Karena cita rasanya yang khas, kopi dari jenis robusta tersebut lari manis dan selalu tinggi permintaan. Ada yang membeli dalam bentuk paket bubuk kopi, ada pula yang membeli masih dalam bentuk biji kopi kering karena ingin diolah sesuai selera.

Muhamad Segar tidak ingin menghilangkan nama asal biji kopi yang ia pasarkan, ia tetap menggunakan nama Kopi Buano sebagai nama dagangan kopi yang ia jual. Penggunaan nama yang sama dengan daerah asal kopi yang dihasilkan bertujuan untuk menghormati para petani.

Selain itu juga agar petani dari daerah lainnya juga termotivasi untuk melakukan hal yang sama, karena selain dari Pulau Buano, ada jenis biji kopi lainnya yang dijual ke gudang pengumpul miliknya, salah satunya adalah dari Desa Sawai, Kecamatan Seram Utara, Kabupaten Maluku Tengah.

"Banyak sekali yang minta kopi ini, mungkin karena cita rasanya juga, disajikan dalam bentuk apapun, mau ditambahkan susu juga tetap saja nikmat, aroma kopinya masih tetap pekat, tidak asam, amanlah untuk lambung, cocok untuk pecinta kopi," katanya.

Bisnis kopi, kata dia, sangat cocok dikembangkan di Kota Ambon, karena orang-orangnya suka berkumpul, mengobrol dan ditemani kopi. Banyaknya permintaan yang terhadap Kopi Buano juga membuktikan kalau bisnis kopi sangat menjanjikan.

"Banyak yang belum tahu tentang kopi asli dari Maluku, karena kedai-kedai di sini lebih banyak menggunakan kopi dari daerah lainnya. Semoga ke depannya semakin banyak yang menggunakan kopi dari sini, sehingga petani juga lebih produktif," kata Muhammad Segar Mail.

Kopi Tuni 

Tempatnya tak begitu luas, hanya berukuran 3x4 meter di gedung pusat Oleh-Oleh Maluku yang terletak di kawasan Tantui, Kecamatan Sirimau. Di tempat inilah kopi yang disebut-sebut asli Maluku diuji coba dan dipasarkan oleh Yayasan Kopi Maluku. Ada beragam jenis kopi yang berasal dari berbagai desa yang dipamerkan.

Mengusung nama Tuni yang dalam bahasa tradisional Maluku berarti orisinil atau asli, Yayasan Kopi Maluku pada 2019 mulai mengusahakan Koperasi Seribu Kopi Maluku untuk memperkenalkan cita rasa dan khas kopi yang dihasilkan oleh para petani dari Pulau Seram, seperti Haya, Saleman, Saunulu, Namasula, Buano hingga ke Kepulauan Kei, Maluku Tenggara.

Mereka mengusahakan koperasi yang membeli biji kopi petani di Maluku dengan harga Rp30 ribu per kilogram. Kopi-kopi tersebut dikemas dalam bentuk biji kopi yang sudah di-roasting dan ada pula yang dalam bentuk bubuk, dibungkus dengan nama Kopi Tuni lalu dijual ke Jakarta dan Surabaya.

UMKM ini berjalan sejak tahun 2019, tapi hanya pada kalangan terbatas karena sedikitnya kopi yang bisa dihasilkan oleh petani di Maluku. Mereka hanya bisa menyupalai 60 sampai 80 kilogram kopi per tiga bulan.

Karena produksi yang masih sedikit jugalah, saat ini kedai kopi di Kota Ambon yang menggunakan Kopi Tuni hanya Kedai Karibo Kopi di kawasan Kota Jawa, Desa Poka dan Kedai Teras Kopi di kawasan Kebun Cengkih Desa Batu Merah.

"Sistem tanam kopi di Maluku tidak seperti di daerah lainnya, tidak ada perkebunan besar, di sini sistemnya tumpang sari, hanya tanaman sampingan, jadi kopi yang kami produksi juga tergantung pengiriman dari petani," kata Ketua Yayasan Kopi Maluku Deltawan Viqjelen.

Ia mengatakan kopi yang dihasilkan di Maluku memiliki cita rasa dan aroma yang beragam, tergantung dari mana pohon kopi itu ditanam. Kopi yang ditanam di dekat pohon pala, cengkih maupun kenari umumnya mengandung aroma dari tanaman-tanaman tersebut.

Hal ini pula yang membuat kopi Maluku memiliki sedikit aroma dan cita rasa yang berbeda dengan kopi yang dihasilkan oleh daerah lainnya di Indonesia. Kendati demikian, biji kopinya masih termasuk jenis robusta (coffea canephora) dan arabika (coffea arabica).

"Beda daerah, aroma dan rasa kopinya juga berbeda, tergatung di mana kopinya ditanam, tapi penyajiannya tetap sama, dan kopinya juga tetap sama, hanya saja kalau di kami ada saran penyajian khusus yang kami tuliskan di bungkusnya," katanya.

Tak sekedar memasarkan kopi khas Maluku, kata Deltawan, UMKM yang mereka bangun juga mendorong para petani kopi di Maluku agar lebih produktif, salah satunya dengan memberikan pelatihan dan motivasi kepada para petani bagaimana mengelola kebun kopi.

Selain itu, para petani juga diajarkan untuk menjaga kualitas biji kopi yang dihasilkan, memisahkan biji-biji kopi sesuai dengan levelnya, yakni grade A, B dan C agar bisa diterima dan laku di pasaran.

Upaya tersebut dimaksudkan agar para petani kopi yang umumnya adalah petani komoditi pala dan cengkih bisa melihat peluang lain yang bisa membantu perekonomian mereka, salah satunya sebagai penyuplai kopi dengan cita rasa khas yang berbeda di Indonesia.

"Kopi Maluku memiliki cita rasa yang khas, kami ingin memperkenalkan kopi dari sini sebagai salah satu komoditi unggulan, selain cengkih dan pala yang memang sudah terkenal sejak masa penjajahan," katanya.

Usaha Kopi Tuni didukung oleh Bank Indonesia (BI) dan menjadi salah satu UMKM yang ikut dalam pameran Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI) 2021 di Ambon pada 29 November. Usaha mereka yang berkembang menjadi salah satu percontohan keberhasilan komoditas kopi di Maluku.

Baca juga: Presiden Jokowi cicipi kopi khas Maluku

Baca juga: Tingkatkan wisatawan, Aceh gelar Festival Kopi Kutaraja

Baca juga: Bengkulu siap gelar Festival Kopi Rakyat

Baca juga: Kementan garap potensi ekspor kopi Wamena di Papua



 

Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2021