Jakarta (ANTARA) - Sejumlah aktivis dan praktisi mendesak Dewan Perwakilan Rakyat RI segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU Perlindungan PRT) mengingat pembahasan RUU itu telah mandek selama 17 tahun.

Pengesahan terhadap RUU Perlindungan PRT penting, karena itu merupakan bentuk pengakuan negara terhadap profesi pekerja rumah tangga sekaligus jadi dasar hukum untuk melindungi hak-hak PRT sebagai pekerja, kata beberapa pembicara pada acara diskusi virtual yang digelar oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Selasa.

“Selama ini negara tidak hadir sama sekali dalam kehidupan bekerja pekerja rumah tangga, (padahal itu) diamanahkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dan untuk itu, selama ini Jala PRT sudah memperjuangkan perlindungan terhadap pekerja rumah tangga lewat advokasi RUU Perlindungan PRT ke DPR sejak 2004,” kata Aktivis Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) Yuni Sri Rahayu saat acara diskusi tersebut.

Ia menyebut sejak 2004 sampai 2021, RUU Perlindungan PRT telah beberapa kali masuk dalam daftar program legislasi nasional (prolegnas), namuntidak menjadi prioritas dibahas dan disahkan oleh DPR RI.

Walaupun demikian, ia tetap berharap masuknya RUU Perlindungan PRT dalam daftar prolegnas prioritas 2021 dapat jadi pembuka jalan RUU itu masuk dalam pembahasan rapat paripurna DPR RI.

Baca juga: Serbet dan jalan panjang pengesahan RUU PPRT

Dalam kesempatan itu, ia menyampaikan para pekerja rumah tangga masih mendapat perlakuan diskriminatif dan rentan jadi korban kekerasan fisik, psikis, seksual, dan kekerasan ekonomi.

“Dengan tempat kerja yang terisolasi, para PRT juga rentan jadi korban perdagangan manusia,” sebut Yuni.

Jala PRT pada kurun waktu Januari 2018 sampai April 2019 telah menerima 3.257 laporan dan aduan kekerasan yang dialami oleh para PRT.

“Kasus kekerasan PRT yang dilaporkan termasuk upah yang tidak dibayar, PHK (pemutusan hubungan kerja, Red.) menjelang hari raya, dan THR yang tidak dibayar,” sebut Yuni.

Sementara itu, hasil survei yang dilakukan oleh Jala PRT terkait jaminan sosial untuk pekerja rumah tangga menunjukkan 89 persen dari 4.843 PRT di tujuh kota tidak mendapat jaminan kesehatan atau menjadi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau Kartu Indonesia Sehat (KIS).

“Meskipun ada program penerima bantuan atau KIS, PRT mengalami kesulitan mengakses program tersebut, karena itu bergantung dari (persetujuan) aparat lokal untuk menetapkan (PRT) sebagai warga miskin,” terang Yuni.

Baca juga: KOWANI desak pengesahan RUU PPRT jadi UU PPRT

Alhasil, mayoritas PRT terpaksa membayar sendiri biaya pengobatannya, sehingga banyak dari mereka terpaksa berutang dengan majikan/pemberi kerja, kata dia menjelaskan.

Sementara itu, Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Theresia Iswarini menyampaikan peringatan HUT ke-76 Republik Indonesia dapat jadi momentum bagi para pengambil kebijakan untuk mengesahkan RUU Perlindungan PRT.

Ia menjelaskan para pekerja rumah tangga sebagai kelompok terpinggirkan dan rentan sudah seharusnya mendapat perlindungan dan pengakuan atas profesinya.

“Pengakuan terhadap pekerja rumah tangga merupakan wujud (implementasi) Pancasila, dan itu sesuai dengan konstitusi Republik Indonesia, serta mendukung pencapaian SDGs,” sebut Theresia.

Hasil survei ILO pada 2015 menunjukkan ada sekitar 4,2 juta pekerja rumah tangga di Indonesia dan 84 persen di antaranya merupakan perempuan. Dari jumlah keseluruhan PRT, 14 persen di antaranya merupakan pekerja anak yang usianya di bawah 18 tahun.

Baca juga: DPR: RUU PPRT upaya negara lindungi pekerja rumah tangga

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021