Tujuan Erick Thohir dalam penyelamatan Garuda Indonesia adalah untuk mempertahankan sebanyak 3.600 karyawan maskapai..
Jakarta (ANTARA) - Maskapai Garuda Indonesia saat ini berada di posisi kritis, bahkan di ujung tanduk akibat kombinasi masalah lama yang tak terselesaikan selama bertahun-tahun dan masalah baru yang muncul akibat pandemi COVID-19.

Kendati demikian Menteri BUMN Erick Thohir tidak tinggal diam. Erick bersama tim Kementerian BUMN bergerak cepat dengan menyusun sejumlah rencana darurat penyelamatan maskapai kebanggaan rakyat Indonesia tersebut.

Tujuan Erick Thohir dalam penyelamatan Garuda Indonesia adalah untuk mempertahankan sebanyak 3.600 karyawan maskapai yang terdiri dari 1.300 pilot serta awak kabin dan 2.300 pegawai.

Di samping itu, Erick juga tidak mau Garuda Indonesia yang notabene maskapai BUMN tumbang akibat krisis ini, mengingat peran BUMN bukan hanya sebagai penyumbang dividen negara namun juga penjaga keseimbangan dalam pasar atau roda perekonomian nasional.

Apa jadinya jika Garuda yang selama ini berperan menjadi penjaga keseimbangan dalam pasar penerbangan Indonesia tiba-tiba menghilang.

Lalu apa saja kemungkinan rencana yang akan diambil oleh Menteri BUMN dalam menyelamatkan maskapai Garuda Indonesia dari ujung tanduk?
Baca juga: Dirut Garuda: Manajemen fokus pulihkan kinerja perusahaan

Fokus domestik

Erick Thohir menyampaikan bahwa setidaknya ada dua beban yang membuat Garuda Indonesia dalam kondisi limbung saat ini. Beban pertama adalah rute-rute penerbangan luar negeri yang kurang menguntungkan. Rute-rute yang kurang menguntungkan tersebut merupakan rute penerbangan ke negara-negara Eropa yang membuat kinerja keuangan perseroan menjadi tidak sehat.

Untuk itu, Menteri BUMN ingin Garuda fokus melayani rute penerbangan domestik karena berdasarkan catatan yang diperoleh Menteri BUMN, konsumen Garuda didominasi oleh penumpang tujuan daerah sebanyak 78 persen dengan pendapatan mencapai Rp1.400 triliun. Sementara jumlah penumpang tujuan luar negeri tercatat hanya 22 persen dengan perolehan Rp300 triliun.

Tentu saja menjadikan Garuda berfokus pada penerbangan domestik perlu ditopang oleh strategi lainnya yakni pembatasan sistem Open Sky sehingga ada pembatasan pesawat asing mendarat di berbagai bandara Indonesia.

Rencana ini mendapatkan dukungan dari Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Dengan kebijakan itu maka pesawat-pesawat asing nantinya hanya mendarat di beberapa bandara Indonesia saja, tidak di semua kota.

Hal ini dimaksudkan untuk mencegah penyebaran COVID-19 dan variannya akibat masuknya pesawat asing ke Indonesia, sekaligus memberikan kesempatan kepada Garuda untuk mengambil pangsa pasar penerbangan domestik.

Pemberlakuan pembatasan Open Sky hanya di sedikit bandara ini juga diterapkan oleh dua negara besar lainnya yakni China dan Amerika Serikat. Kedua negara tersebut hanya menerapkan kebijakan Open Sky di beberapa bandara saja, tidak semua kota dibuka untuk kebijakan tersebut.

Maskapai Garuda Indonesia nantinya menjadi maskapai penghubung antara bandara internasional dengan bandara-bandara domestik di Indonesia sehingga pasar penumpang domestik bisa dikuasai oleh Garuda Indonesia dan tentunya bersama maskapai swasta nasional.

Adapun terkait rute-rute penerbangan internasional Garuda kemungkinan hanya rute-rute menguntungkan yang akan dipertahankan seperti Jeddah, Madinah, China, Jepang, negara-negara ASEAN dan beberapa kota di Australia.
Baca juga: Bisnis penerbangan korporasi terbuka lebar bagi Garuda

Negosiasi ulang

Beban kedua Garuda Indonesia yang telah diidentifikasi oleh Menteri BUMN Erick Thohir adalah masalah pemberi sewa (lessor) pesawat.

Wakil Menteri II BUMN Kartika Wirjoatmodjo menjelaskan bahwa permasalahan Garuda Indonesia di masa lalu terkait masalah sewa yang melebihi beban biaya yang wajar dan beragamnya jenis pesawat yang dioperasikan Garuda.

Sebagai contoh Garuda memiliki pesawat jenis Boeing 737, Boeing 777, Airbus A330, sampai dengan Bombardier sehingga efisiensinya menjadi bermasalah.

Kemunculan COVID-19 menimbulkan permasalahan baru, yaitu utang yang awalnya berada di kisaran Rp20 triliun menjadi Rp70 triliun, sehingga membuat posisi Garuda saat ini dalam posisi unsolved karena utang dan ekuitasnya sudah tidak memadai untuk mendukung neraca keuangannya.

Masalah terbesarnya adalah problem Garuda ini melibatkan pemberi sewa atau lessor serta pemberi pinjaman dalam bentuk Global Sukuk Bond yang dimiliki oleh para pemegang sukuk dari Timur Tengah. Dengan demikian maka harus dilakukan negosiasi ulang melalui proses legal internasional.

Terkait masalah lessor ini, Menteri BUMN akan melakukan pemetaan ulang terhadap 36 lessor Garuda Indonesia, termasuk mengidentifikasi mana lessor yang bersih dan mana lessor yang bermasalah.

Dalam melakukan negosiasi, Erick Thohir kemungkinan akan mengambil dua pendekatan berbeda. Kepada lessor yang terlibat kasus yang sudah terbukti korupsi, Menteri BUMN tersebut tidak akan segan-segan mengambil pendekatan negosiasi yang keras.

Sedangkan dalam melakukan negosiasi dengan lessor yang tidak bermasalah, Erick akan mencoba melakukan negosiasi ulang dengan pertimbangan bahwa nilai sewa atau kontrak leasing yang mereka terapkan kepada Garuda dinilai kemahalan sehingga membebani keuangan maskapai tersebut.

Dua kemungkinan rencana darurat Menteri BUMN tersebut dinilai cukup realistis. Pertama adalah menyediakan pasar penumpang domestik yang sangat banyak bagi Garuda Indonesia dengan mengambil alih pangsa penerbangan domestik akibat rencana pembatasan kebijakan Open Sky.

Kedua adalah negosiasi ulang dengan para lessor dan pemilik obligasi Garuda Indonesia yang mayoritas berasal dari mancanegara. Ini dinilai memberikan peluang bagi Menteri BUMN tersebut untuk membuat terobosan dan mengajukan penawaran yang dapat diterima oleh para lessor dan pemilik obligasi internasional, sekaligus menjadi kesempatan bagi Erick Thohir untuk membersihkan lessor-lessor yang telah terbukti terlibat kasus korupsi.

Baca juga: Ketua DPD RI minta pemerintah selamatkan maskapai Garuda

Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2021