Angka pasien meninggal itu justru dari data penanganan yang ada di rumah sakit
Jakarta (ANTARA) - Peristiwa seseorang digigit ular yang akhirnya tidak tertolong sehingga meninggal dunia, dan juga ada yang selamat jiwanya karena mendapatkan pertolongan lebih awal, adalah fakta kehidupan yang terjadi hingga hari ini.

Kondisi itu, terjadi tidak saja pada situasi normal, namun belakangan juga muncul pada pascabencana.

"Banyak kasus orang yang digigit ular weling tidak terselamatkan,” kata Tri yang saat ini juga sedang menjabat sebagai Presiden Toxinology Society of Indonesia.

Kementerian Kesehatan (https://www.kemkes.go.id) menyebutkan pascatsunami di sebagian wilayah Provinsi Banten dan Provinsi Lampung pada 28 Desember 2018 muncul sekurangnya 14 kasus gigitan ular.

Belasan kasus tersebut dirujuk Kemenkes dari dokter spesialis kedaruratan, Dr dr Tri Maharani, M.Si. Sp. Em, yang kala itu bersama dokter dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga telah melakukan pelatihan penatalaksanaan korban gigitan ular kepada tenaga kesehatan di pengungsian, Dinas Kesehatan Kabupaten Pandeglang, RS Berkah, dan RSUD dr Dradjat Prawiranegara, Serang, Banten.

Kasus di Puskesmas Munjul ada tiga, Puskesmas Labuhan (2), Puskesmas Panimbang (1), di puskesmas lain (3), Rumah Sakit Berkah (1), dan Puskesmas Cibitung (4).

"Jadi total 14 kasus," kata Maha, panggilan karib Tri Maharani, penasihat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk kasus gigitan ular, yang pernah terlibat dalam pembuatan panduan Manajemen Gigitan Ular (Management of Snakebites) itu.

Ancaman gigitan ular pascabencana, menurut Tri Maharani yang menjabat Kepala Departemen Gawat Darurat Rumah Sakit Daha Husada, Kediri, Jawa Timur itu, berdasarkan hasil riset selama enam tahun yang dilakukannya, menunjukkan bahwa setiap bencana ada ancaman gigitan ular.

Baca juga: Cerita dokter Maharani, penyelamat korban gigitan ular langka

Ia mengatakan pada setiap bencana ada risiko gigitan ular, seperti saat banjir di Sampang, gempa di Lombok, meletusnya Gunung Raung yang secara administratif masuk dalam tiga kabupaten, yakni Banyuwangi, Bondowoso, dan Jember (Jatim), Gunung Merapi (Yogyakarta dan Jateng), serta Gunung Agung (Bali) dan lainnya.

Berdasarkan riset tersebut, ia sudah memperkiranan akan ada kasus gigitan ular usai tsunami yang melanda Banten, di mana sejak 22-31 Desember 2018 ada 14 kasus gigitan ular tersebut.

Tri Maharani yang meminati kedokteran darurat seperti USLS (Ultrasound Life Support), toxinologi (gigitan ular berbisa dan binatang laut), biomedik, penanganan krisis kebencanaan dan perencanaan kebencanaan di rumah sakit itu, menyinyalir kasus gigitan ular biasa terjadi diduga karena terganggunya habitat satwa liar itu.
Dokter spesialis kedaruratan, Dr dr Tri Maharani, M.Si. Sp. Em, penasihat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk kasus gigitan ular. Ia pernah terlibat dalam pembuatan panduan Manajemen Gigitan Ular (Management of Snakebites) WHO. (ANTARA FOTO/Istimewa).


Atas kondisi itu, Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan kala itu, dr Achmad Yurianto, mengingatkan kepada korban bencana tsunami agar berhati-hati saat bersih-bersih rumah dan lingkungan mereka.

Ia mengatakan jika memulai bersih-bersih pada awalnya jangan menggunakan tangan langsung, namun bisa dilakukan terlebih dahulu dengan memakai kayu guna memastikan tidak ada ular, baru kemudian memakai tangan.

Karena dampak tsunami, sarang ular terusik dan menyebar, berpindah tempat ke tumpukan sampah atau puing.

Menurut dia, hal yang harus dilakukan ketika digigit ular adalah tenang dan istirahat, memasang bidai (alat dari kayu yang dipakai untuk menopang bagian tubuh yang cedera) dan mengurangi pergerakan.

Setelah itu, dibawa ke pelayanan kesehatan terdekat, seperti puskesmas atau rumah sakit.

Achmad Yurianto menambahkan bahwa hal penting yang mesti diperhatikan adalah hal-hal yang tidak boleh dilakukan jika digigit ular, seperti jangan membawa korban ke dukun, jangan diisap atau disedot, jangan ditoreh atau dikeluarkan darahnya, jangan dipijat, jangan diikat, dan jangan menggunakan obat herbal.

Keterampilan penanganan

Yayasan SIOUX Ular Indonesia, yang sebelumnya bernama SIOUX Lembaga Studi Ular Indonesia SIOUX, dalam laman Facebook-nya menyatakan semakin tinggi konflik manusia dengan ular di permukiman, menuntut setiap orang menguasai keterampilan penanganan ular dan penanganan gigitan ular.

"Ular memang berbahaya, tetapi tidak semua mematikan," sebut organisasi yang didirikan oleh para pendirinya sebagai wadah "upgrading" pengetahuan tentang karakter ular Indonesia guna mengubah paradigma masyarakat yang cenderung negatif tentang ular yang dipimpin oleh Aji Rachmat itu.

Disebutkan bahwa di Indonesia hanya 77 spesies ular yang mematikan dari 349 spesies yang ada. Khusus di Pulau Jawa, hanya sekitar 15-17 spesies yang berbahaya.

Baca juga: Pakar LIPI jelaskan penanganan pertama gigitan ular

Menurut Tri Maharani, alumnus Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Brawijaya dan lulusan pendidikan magister (S2) di Program Studi Imunologi, Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga (Unair) itu, secara geografis, Indonesia merupakan kawasan yang menjadi habitat alami bagi ular.

Dalam pernyataannya yang dilansir laman informasi Unair (http://news.unair.ac.id/2020/03/16/) hingga saat ini terdapat sekitar 360 jenis ular, meliputi 77 ular berbisa yang tersebar di penjuru negeri, seperti Pulau Jawa dan Sumatera.

Menurut data yang dikumpulkannya sejak 2012, kasus gigitan ular di Indonesia mencapai 130 ribu per tahun. Jumlah tersebut kemudian meningkat menjadi 135 ribu orang pada 2016.

Dari semua kasus, 728 orang di antaranya korban gigitan ular berbisa, sementara itu jumlah korban meninggal tercatat 35 orang.

Sayangnya, kata dia, Indonesia sebagai sarang ular hanya memiliki tiga jenis Anti-Snake Venom (ASV) untuk mengobati gigitan ular kobra jawa (Spitting cobra), ular welang (Banded krait), serta ular tanah (Malayan pit viper).

Itu berarti masih ada puluhan ular lain yang belum tercakup, sehingga ia menyarankan perlunya dilakukan riset yang bersifat genomik dan molekuler, yang prosesnya tidak mudah.

Kondisi belum ideal mengenai kasus gigitan ular di Indonesia, khususnya dari sisi epidemiologi juga disampaikan oleh dr Cecep Suryani Sobur.

Melalui blognya: https://caiherang.com/kasus-gigitan-ular/, ia menyebut data epidemiologi di Indonesia mengenai kasus gigitan ular secara nasional sama sekali tidak ada.

Ia menuliskan bahwa data epidemiologinya sangat jarang dan kebanyakan berupa laporan kasus di rumah sakit. Antara 1996-1998 dilaporkan terdapat 180 kasus gigitan ular di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, sedangkan di RS Cipto Mangunkusumo dilaporkan 42 kasus gigitan ular antara 2004-2009 dengan 17 pasien mengalami gejala envenomasi.

Menurut pengalamannya, di puskesmas daerah perdesaan di Jawa Barat, kasus gigitan ular ini apabila sedang tinggi dapat mencapai dua sampai tiga kasus setiap pekan.

"Data epidemiologi ini sangat penting sebenarnya agar dapat mempersiapkan logistik, terutama untuk penyediaan serum antibisa ular yang tepat," katanya.

Panduan

Melihat kasus korban gigitan ular tersebut, ada panduan standar yang sudah dikeluarkan oleh WHO.

Menurut Tri Maharani yang juga Presiden Toxinology Society of Indonesia itu, pertolongan pertama sesuai standar WHO yakni dengan membersihkan bagian yang terkena gigitan, membalut kencang bagian yang terkena gigitan, serta diberikan serum antibisa ular.

Oleh sebab itu, ia berharap seluruh fasilitas kesehatan mulai dari puskesmas hingga rumah sakit berbagai tipe, dapat menerapkan strandar WHO dalam menangani pasien tergigit ular.
Dr dr Tri Maharani, M.Si. Sp. Em (kiri) ketika sedang merawat Martinus (12) pasien anak gigitan ular sangat berbisa di Lewoleba, Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur di RSUD Lewoleba. (FOTO ANTARA/Istimewa)


Mengapa demikian? Ia merujuk data Remote Envenomation Consultant Service (RECS) pada 2017, yang menyebutkan jumlah pasien meninggal dunia akibat penanganan yang tidak tepat mencapai 35 orang atau 4,8 persen dari 728 kasus pasien terkena gigitan ular berbisa.

"Angka pasien meninggal itu justru dari data penanganan yang ada di rumah sakit," katanya.

Salah satu panduan mengenai penanganan gigitan ular itu dikeluarkan oleh organisasi The International Child Health Review Collaboration (ICHRC).

Panduan itu secara rinci bisa diakses pada laman https://www.ichrc.org/16-gigitan-ular, yang menyatakan bahwa pada kasus dengan bengkak pada ekstremitas (tungkai dan lengan) disertai nyeri hebat harus dipikirkan kemungkinan gigitan ular berbisa, atau pada kasus dengan perdarahan dan tanda neurologis abnormal yang tidak dapat dijelaskan. Beberapa jenis ular kobra menyemburkan bisa ke mata korban dan dapat menyebabkan nyeri dan bengkak.

Pada diagnosis, disebutkan gejala umum meliputi syok, muntah, dan sakit kepala. Periksa jejas gigitan untuk melihat adanya nekrosis lokal, perdarahan atau pembesaran kelenjar limfe setempat yang lunak.

Tanda spesifik bergantung pada jenis racun dan reaksinya, meliputi syok pembengkakan lokal yang perlahan meluas dari tempat gigitan, perdarahan eksternal (gusi,luka), dan internal (intrakranial), tanda neurotoksisitas (kesulitan bernapas atau paralisis otot pernapasan), ptosis, palsi bulbar (kesulitan menelan dan berbicara), kelemahan ekstremitas.

Selain itu, tanda kerusakan otot, meliputi nyeri otot dan urin menghitam sehingga mesti diperiksa Hb (bila memungkinkan, periksa fungsi pembekuan darah).

Tatalaksana untuk pertolongan pertama, yakni melakukan pembebatan pada ekstremitas proksimal jejas gigitan untuk mengurangi penjalaran dan penyerapan bisa. Jika gigitan kemungkinan berasal dari ular dengan bisa neurotoksik, balut dengan ketat pada ekstremitas yang tergigit dari jari-jari atau ibu jari hingga proksimal tempat gigitan.

Selain itu, membersihkan luka, yakni jika terdapat salah satu tanda tersebut bawa anak segera ke rumah sakit yang memiliki antibisa ular. Jika ular telah dimatikan, bawa bangkai ular tersebut bersama anak ke rumah sakit tersebut, hindari membuat irisan pada luka atau menggunakan torniket.

Selanjutnya, pada perawatan di rumah sakit untuk pengobatan syok/gagal napas, yakni atasi syok jika timbul.

Baca juga: Bawang merah atasi gigitan ular berbisa, ini penjelasannya

Paralisis otot pernapasan dapat berlangsung beberapa hari dan hal ini memerlukan intubasi dan ventilasi mekanik hingga fungsi pernapasan normal kembali atau ventilasi manual dengan masker atau pipa endotrakeal dan kantung (Jackson Rees) yang dilakukan oleh staf dan atau keluarga sementara menunggu rujukan ke rumah sakit rujukan yang lebih tinggi terdekat. Perhatikan keamanan fiksasi pipa endotrakeal. Sebagai alternatif lain adalah trakeostomi elektif.

Kemudian berkaitan dengan antibisa, yakni jika didapatkan gejala sistemik atau lokal yang hebat (pembengkakan pada lebih dari setengah ekstremitas atau nekrosis berat) berikan antibisa jika tersedia.

Siapkan epinefrin SK atau intramuskular (IM) bila syok dan difenhidramin IM untuk mengatasi reaksi alergi yang terjadi setelah pemberian antibisa ular.

Berikan antibisa polivalen. Ikuti langkah yang diberikan dalam brosur antibisa. Dosis yang diberikan pada anak sama dengan dosis orang dewasa.

Larutkan antibisa 2-3 kali volume garam normal berikan secara intravena selama satu jam. Berikan lebih perlahan pada awalnya dan awasi kemungkinan terjadi reaksi anafilaksis atau efek samping yang serius.

Jika gatal atau timbul urtikaria, gelisah, demam, batuk atau kesulitan bernapas, hentikan pemberian antibisa dan berikan epinefrin 0.01 ml/kg larutan 1/1000 atau 0.1 ml/kg 1/10.000 SK. Difenhidramin 1.25 mg/kgBB/kali IM, bisa diberikan sampai empat kali per hari (maksimal 50 mg/kali atau 300 mg/hari). Bila anak stabil, mulai kembali berikan antibisa perlahan melalui infus.

Tambahan antibisa harus diberikan setelah enam jam jika terjadi gangguan pembekuan darah berulang, atau setelah 1-2 jam, jika pasien terus mengalami perdarahan atau menunjukkan tanda yang memburuk dari efek neurotoksik atau kardiovaskular.

Transfusi darah tidak diperlukan bila antibisa telah diberikan. Fungsi pembekuan kembali normal setelah faktor pembekuan diproduksi oleh hati. Tanda neurologi yang disebabkan antibisa bervariasi, tergantung jenis bisa.

Pemberian antibisa dapat diulangi bila tidak ada respons. Antikolinesterase dapat memperbaiki gejala neurologi pada beberapa spesies ular.

Pengobatan lainnya berupa pembedahan, yakni meminta pendapat/pertimbangan bedah jika terjadi pembengkakan pada ekstremitas, denyut nadi melemah/tidak teraba atau terjadi nekrosis lokal.

Tindakan bedah meliputi eksisi jaringan nekrosis, insisi selaput otot (fascia) untuk menghilangkan limb compartments, jika perlu "Skin grafting", jika terjadi nekrosis yang luas, dan trakeostomi (atau intubasi endotrakeal) jika terjadi paralisis otot pernapasan dan kesulitan menelan.

Untuk perawatan penunjang dengan memberikan cairan secara oral atau dengan NGT sesuai dengan kebutuhan per hari.

Buat catatan cairan masuk dan keluar, berikan obat pereda rasa sakit, elevasi ekstremitas jika bengkak, berikan profilaksis antitetanus.

Pengobatan antibiotik tidak diperlukan kecuali terdapat nekrosis, hindari pemberian suntikan intramuskular, pantau ketat segera setelah tiba di rumah sakit, kemudian tiap jam selama 24 jam karena racun dapat berkembang dengan cepat.

Baca juga: Korban gigitan ular langka di Lembata berhasil diselamatkan
Baca juga: Kemenkes segera susun regulasi pengobatan gigitan ular
Baca juga: Ahli: penanganan gigitan ular belum berstandar WHO

 

Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2020