Tidak bisa disebut sebagai privatisasi BUMN dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan
Jakarta (ANTARA) - Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI) Sunarsip menyebutkan rencana initial public offering (IPO) subholding PT Pertamina (Persero) bukanlah bentuk privatisasi BUMN, sebab perusahaan yang masuk lantai bursa adalah anak usaha dan bukan saham BUMN Pertamina.

"Tidak bisa disebut sebagai privatisasi BUMN dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan," ujar Sunarsip di Jakarta, Sabtu.

Baca juga: Pertamina bangun 15 titik BBM satu harga di wilayah 3T

Menurut dia, secara konseptual yang disebut privatisasi adalah berkurangnya saham pemerintah di induk perusahaan, sedangkan dalam rencana IPO anak usaha atau subolding Pertamina ini, saham pemerintah di BUMN tersebut sama sekali tidak berkurang.

Rencana IPO subholding Pertamina, lanjutnya, sama seperti yang dilakukan beberapa BUMN di bidang konstruksi, ketika melepas saham anak perusahaan mereka di bursa saham.

Dalam hal ini, saham pemerintah di BUMN tersebut juga sama sekali tidak berkurang.

Oleh karena itu, dia menegaskan tidak ada yang perlu dikhawatirkan, karena laporan keuangan anak perusahaan yang masuk lantai bursa tersebut, nantinya tetap akan dikonsolidasikan 100 persen ke dalam laporan keuangan Pertamina.

Termasuk, di dalamnya, adalah laporan kinerja, besarnya aset, utang, ekuitas, pendapatan, belanja, dan laba subholding tersebut.

"Dengan demikian, Pertamina masih memegang kendali terhadap subholding yang direncanakan masuk bursa saham tadi. Apalagi, berdasarkan informasi, saham anak perusahaan yang akan dilepas ke bursa sangat kecil, sekitar 20-30 persen saja," katanya.

Di sisi lain Sunarsip mengatakan, rencana IPO anak usaha tersebut, merupakan aksi korporasi biasa terkait upaya fund raising Pertamina.

Rencana IPO subholding mengemuka, karena Pertamina harus banyak melakukan investasi, sedangkan di sisi lain ekuitas BUMN tersebut terbatas.

Jadi, lanjut dia, nantinya uang hasil IPO akan dipakai untuk kegiatan investasi, mengembangkan investasi bisnis, dan untuk memperbesar pundi-pundi pendapatan atau revenue Pertamina sebagai holding.

"Ujung-ujungnya, kalau revenue besar, maka dividen juga besar. Dan ini akan memperbesar posisi dividen yang diberikan Pertamina kepada Pemerintah. Dengan catatan, uang hasil kegiatan IPO memang menghasilkan investasi yang profitable," jelas Sunarsip.

Menurut Sunarsip, rencana IPO subholding juga muncul karena Pertamina membutuhkan kenaikan aset, revenue, dan laba. Jika tidak melakukan aksi korporasi seperti itu, akan sulit buat BUMN energi tersebut untuk mengejar posisi-posisi perusahaan sejenis di luar negeri.

"Ini memang strategi perusahaan untuk mengejar pertumbuhan anorganik," kata dia.

Aksi tersebut sangat penting, tambahnya, karena dengan ekuitas yang terbatas, Pertamina tidak mungkin meminta pemerintah untuk menyuntikkan modal lagi, untuk itu perusahaan harus kreatif mencari sumber pendanaan di luar penyertaan modal dari pemerintah.

Baca juga: Kejar target, Pertamina alokasikan 17,6 miliar dolar kembangkan EBT
Baca juga: Pakar: Restrukturisasi Pertamina tak langgar UU Ketenagakerjaan

Pewarta: Subagyo
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2020