Semarang (ANTARA News) - Dosen Psikologi Universitas Diponegoro, Hastaning Sakti berpendapat, masyarakat sekarang ini tersugesti dengan keajaiban Ponari (10), bocah asal Kabupaten Jombang, Jawa Timur yang dianggap dukun cilik karena mampu menyembuhkan berbagai penyakit. "Sugesti ini antara lain disebabkan karena masyarakat kini dihinggapi rasa kurang percaya pada hal-hal yang bersifat medis, karena perawatan medis biasanya membutuhkan proses yang panjang hingga seorang pasien bisa sembuh," katanya, di Semarang, Jumat. Selain memerlukan proses pengobatan yang lama, menurut dia, hasil yang didapat melalui pengobatan medis biasanya baru nampak sedikit demi sedikit. "Masyarakat sekarang lebih suka hal yang instan. Jadi tidak mau terlalu repot menunggu proses yang lama," katanya. Menurut dia, budaya instan yang sekarang ini menghinggapi masyarakat mengakibatkan mereka lebih suka menempuh cara yang lebih mudah, termasuk untuk mendapatkan kesembuhan. Ia menilai, faktor inilah yang membuat masyarakat lebih memilih untuk datang kepada bocah yang baru duduk di kelas tiga SD itu dibandingkan ke dokter. Menurut dia, faktor lain yang berpengaruh pada hebohnya dukun cilik Ponari ini adalah pengaruh krisis ekonomi yang berkepanjangan yang berdampak buruk pada masyarakat. Kebanyakan masyarakat tidak memiliki uang untuk berobat, sedangkan pengobatan di rumah sakit maupun puskesmas sekarang ini menghabiskan banyak biaya. Melalui Ponari, dengan membayar Rp10 ribu hingga Rp20 ribu saja, mereka bisa mengharapkan kesembuhan pada penyakit mereka melalui kekuatan batu yang dimiliki bocah itu. Akibat memiliki sepotong batu yang dipercayai mampu menyembuhkan aneka macam penyakit, rumah Ponari terus didatangi masyarakat yang hingga Rabu (11/2) diperkirakan berjumlah sekitar 15 ribu orang. "Menurut saya, yang terpenting adalah semua penyakit maupun kesembuhan kita kembalikan kepada Tuhan. Kita memang harus berikhtiar, boleh saja kepada Ponari, asal jangan memiliki kepercayaan yang berlebihan," tambahnya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009