Wamena (ANTARA) - Kerusuhan yang terjadi di Kota Wamena Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua, 23 September lalu, menyebabkan ribuan warga mengungsi untuk mencari tempat yang lebih aman.

Termasuk Fani, warga asal Toraja, Sulawesi Selatan bersama suami dan ketiga anaknya turut mengungsi ke Kodim 1702/Jayawijaya karena tempat tinggal mereka di Hom-Hom terbakar dalam peristiwa tersebut.

Sudah dua minggu Fani dan keluarganya bersama 3.500-an warga mengungsi di kodim. Saat awal pengungsian mereka rela tidur di jalan dan lapangan terbuka kodim demi keselamatan.

Saat ini, Fani menempati tenda dari Kementerian Sosial. Siang itu anaknya yang terkecil yang berusia hampir setahun sedang tidur pulas, sementara kedua kakaknya hanya duduk di sekitar ibu mereka. Sejumlah pengungsi lainnya terlihat duduk-duduk di tenda yang sama.

Masih segar di ingatan Fani saat kerusuhan itu terjadi. Ia hanya berdua di rumah dengan di bayi, sementara kedua kakaknya sedang bersekolah di SD setempat.

Baca juga: Pemerintah akan fasilitasi jika warga ingin kembali ke Wamena

Saat rusuh, Fani diselamatkan tetangganya yang warga Papua. Mereka sekeluarga bersembunyi di honai, rumah asli Papua yang beratap jerami yang tidak jauh di belakang rumah mereka.

"Kami disembunyikan di honai, warga yang menyelamatkan kami," katanya.

Hingga akhirnya aparat keamanan datang dan mereka dibawa mengungsi ke kodim.

Fani mengungsi tanpa membawa apa pun karena tidak ada yang bisa diselamatkan dari rumahnya yang sudah menjadi abu.

Namun ia bersyukur, keluarganya masih utuh dan berkumpul meski di pengungsian dengan kondisi serba terbatas, karena ada keluarga yang harus terpisah dengan anaknya, seperti Samsiah.

Samsiah, harus rela berpisah dengan kedua anaknya demi keamanan mereka. Ia mengirimkan kedua anaknya yang baru duduk di bangku SMP dan SD ke kampung asalnya di Makassar.

Saat melihat Fani dan anak-anaknya, Samsiah menutup wajahnya dengan selimut, mencoba menyembunyikan tangisnya yang ia tahan tanpa suara.

Tangannya sesekali mengusap air mata yang menetes di wajahnya. Ia teringat kedua anaknya yang jauh di sana, yang diungsikan agar mereka lebih aman di tengah kondisi yang tidak normal pasca-kerusuhan.

 
Anak-anak pengungsi sedang mengikuti kegiatan Layanan Dukungan Psikososial di Wamena (ANTARA/Desi Purnamawati)

 
                                                                           Sudah eksodus
Pasca-kerusuhan, sebanyak 15.544 orang tercatat sudah eksodus dari Wamena mulai dari 23 September hingga 5 Oktober 2019 dengan rincian 10.676 orang menggunakan penerbangan Hercules TNI AU dan 4.868 orang dengan penerbangan komersil.

Sementara, warga yang mengungsi di Wamena per 6 September 2019 tercatat sebanyak 1.726 orang, dengan rincian di Kodim 1702/Jayawijaya sebanyak 787 orang, Polres Jayawijaya 239 orang, Koramil 1702-03/Wamena 63 orang, Subdenpom Wamena 25 orang.

"Biar kami di sini, yang penting anak-anak aman," kata Samsiah. 

Jiwa ibu yang selalu ingin melindungi buah hatinya yang menguatkan Samsiah meski terpisah.

Namun, ia tetap bertahan di Wamena karena telah bertahun-tahun mengais rezeki di kota pegunungan tengah Papua itu.

Begitu pula dengan Fani. Ia tetap bertahan di pengungsian karena menganggap Wamena sebagai kampung halamannya.

"Mau ke mana lagi kami, kampung kami di sini. Bertahan di sini saja sudah," ujar Fani dengan suara pelan.

Baca juga: Menko Polhukam ajak warga Wamena rajut kembali persaudaraan

Ia masih menggantungkan harapan untuk tetap tinggal di Wamena, tempat anak-anaknya lahir.

Bukan hanya Fani dan Samsiah, Kasman, pria asal Sumatera Utara yang telah 10 tahun menetap di Wamena juga memilih tinggal di tanah Papua.

Kasman baru tiba di Wamena bersama anak dan istrinya. Ia mengantarkan ibunya yang sakit ke Jakarta.

Ketika orang-orang memilih untuk pergi, meninggalkan Wamena karena khawatir, cemas, dan was-was karena dampak kerusuhan dan isu-isu lain yang beredar liar tentang aksi kerusuhan lanjutan, Kasman memutuskan untuk tetap di Wamena.

"Bagaimana pun kalau sudah mau mati, yang di atas yang atur," kata Kasman.

Wamena menjadi kampung halaman bagi warga yang datang mengadu nasib, karena bukan hanya memberikan kehidupan tapi juga menjadi tempat menetap bersama keluarga tercinta.

                                                                  Rajut kembali
Agar kerukunan dan kedamaian kembali terjaga di Wamena dan daerah lain di Papua, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto mengajak semua warga Wamena untuk merajut kembali kebersamaan dan persaudaraan serta kerukunan di daerah itu.

"Sebagai hamba Tuhan kita kubur kebencian itu kita bangun kembali persaudaraan itu. Kita kumpul di sini untuk mengajak, mari kita merajut kebersamaan, persaudaraan kita, membangun kerukunan," kata dia di hadapan warga yang mengungsi di halaman Kodim 1702/Jayawijaya di Wamena.

Dalam kunjungannya bersama rombongan, yaitu Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita, Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek, Menteri BUMN Rini Soemarno, Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto dan Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian, Wiranto mengatakan semuanya bersaudara.

"Seperti istilah yang ada di daerah ini, 'Torang Samua Basudara'. Kita terikat dalam satu, satu saudara, saudara satu bangsa," ujar dia.

Ia juga mengharapkan agar tidak ada lagi warga yang meninggalkan Wamena dan warga yang sudah terlanjur eksodus segera kembali ke Wamena, seperti yang dipesan oleh Presiden Joko Widodo.

Saling memaafkan menjadi kunci untuk kembali mengeratkan kerukunan karena Wamena jadi kampung halaman untuk semua. 

Tak ada lagi warga asli dan pendatang, semua satu, Indonesia di Wamena.

Baca juga: Siswa menikmati bermain di hari pertama sekolah usai kerusuhan Wamena​​​
Baca juga: Dari kopi turun ke hati, di Wamena cinta Pace dan Teteh bersemi
 

Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2019