Para pelaku yang merupakan kakak kelas korban mengaku membuat aturan sendiri di mana pelajar SMKN 1 Cikarang Barat tidak diperbolehkan bermain dengan pelajar dari kelas maupun jurusan lain.
"Korban ini berfoto bersama dengan kawan perempuan menggunakan pakaian almamater sekolah yang menurut mereka itu adalah pelanggaran menurut aturan yang tidak tertulis di kalangan sekolah tersebut," katanya.
Peraturan tersebut dibuat oleh para kakak kelas korban, bukan peraturan yang dibuat pihak sekolah. Dari hasil pemeriksaan juga diketahui bahwa para pelaku tergabung dalam basis atau suatu kelompok pelajar.
"Dari keterangan yang sudah kami dapat dari pihak sekolah, mereka itu terdaftar dalam kelompoknya basis. Yaitu orang-orang yang ada dalam catatan khusus dari pihak pembinaan kesiswaan," katanya.
Orangtua korban Indra Prahasta (41) mengecam tindak kekerasan fisik yang dilakukan para kakak kelas terhadap anaknya sekaligus berharap pelaku dapat dihukum sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
"Pihak keluarga minta keadilan, pelaku harus ditindak. Saya ingin agar kasus ini cepat selesai," katanya.
Ia turut menyesalkan fungsi pengawasan sekolah terhadap para pelajar sebab kasus perundungan ini seharusnya dapat dicegah apabila ada pengawasan ketat dari para guru atau pihak sekolah dengan tidak membiarkan para pelajar keluar sekolah saat jam istirahat.
"Pihak sekolah itu harus dibenahi semuanya. Dari ruang lingkup sekolah itu yang terlalu gampang anak sekolah itu, bolos itu saja. Jadi evaluasi buat mereka juga," katanya.
Plt. Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Bekasi Titin Fatimah mengaku sudah menurunkan tenaga ahli untuk memberikan pendamping psikologis kepada korban, termasuk pendampingan hukum ketika korban sudah bisa diminta keterangan kepolisian.
"Karena memang korban itu mengalami trauma yang harus mendapatkan penanganan psikolog. Bila memang diperlukan perlindungan LPSK, kami juga akan koordinasikan," katanya.
