Sidang Perkara Tanah UPI Berlangsung "Panas"

id Sidang Perkara Tanah UPI Berlangsung "Panas"

Padang, (Antara) - Sidang lanjutan kasus dugaan pemalsuan tanda tangan nota sertifikat tanah yang berada di kawasan Universitas Putra Indonesia (UPI) Padang berjalan panas. Sidang yang dipimpin oleh Majelis Hakim Muchtar Agus Cholif beranggotakan hakim Jamalludin dan Herlina Reyes digelar di Pengadilan Negeri Padang, Rabu. Dalam persidangan, majelis hakim yang dipimpin Muchtar Agus Cholif beranggotakan hakim Jamalludin dan Herlina Rayes tampak beberapa kali naik pitam. Hal tersebut dikarenakan Kartina sebagai pelapor yang dihadirkan sebagai saksi, beberapa kali berbelit dalam memberikan keterangan. "Jangan coba mengajari kami, kami ini hakim, jawab saja apa yang ditanyakan oleh jaksa," kata hakim . Majelis hakim juga sempat menghempaskan berkas perkara yang berada di atas meja hakim. Kamu itu sudah tua, jika memberikan keterangan palsu, kamu bisa saja saya jebloskan ke penjara, kata hakim ketua. Tidak saja hakim Muchtar, hakim Jamalludin juga beberapa kali memukul meja sidang dan menghardik, karena saksi tidak memberikan jawaban sesuai dengan pertanyaan yang diajukan. Apa yang saya tanya itu saja yang kau jawab. Jangan berbelit-belit, kalau saya memberikan pertanyaan penegasan, cukup jawab dengan ya atau tidak saja, Meskipun telah beberapa kali diperingatkan, saksi tetap mengulangi perbuatan yang dilarang oleh hakim tersebut. Salah satu yang sempat menjadi sorotan hakim, adalah tata bahasa dan sikap saksi yang dalam menjawab pertanyaan menggunakan bahasa tidak jelas. Beberapa jawaban yang diucapkan oleh saksi pelapor seperti kata -kata "ya iyalah" ataupun "tak taulah". Dalam keterangannya, saksi Kartina menjelaskan, awal dugaan pemalsuan ini terjadi pada 1942. Dimana saat itu orang tuanya menggadaikan tanah sebanyak 24 piring kepada orang tua terdakwa Nasrul, pada tahun 1973, tanah yang digadaikan tersebut akhirnya ditebus oleh pamannya. Lalu, lanjutnya, tanah yang telah dilunasi itu dijual sebanyak 5.330 meter, atau setara 10 piring, sedangkan sisanya 14 piring ditinggalkan karena ia bersama keluarga pergi ke Jakarta. "Saat di Jakarta, saya mendapatkan kabar tanah 14 piring yang ditinggalkan sudah dibuat sertifikat hak milik oleh terdakwa Nasrul, saat terdakwa hendak menjualnya kepada orang lain," terangnya. Kartina melanjutkan, ia mengetahui niat terdakwa dari orang lain beberapa tahun yang lalu, dimana dirinya memutuskan untuk langsung pulang ke Padang pada 2004. Sewaktu perkara perdata tersebut di sidang Pengadilan Negeri Padang, pihak Kartina dimenangkan atas hak tanah tersebut, namun saat dilakukannya banding di tingkat pengadilan tinggi pihak terdakwa Nasrul dinyatakan menang, begitupun di tingkat Mahkamah Agung. Saat ini, Kartina kembali melakukan gugatan dengan pidana karena pada saat itu ia tidak terima, karena di beberapa barang bukti yang diajukan di Pengadilan Tingi dan MA, terdapat tanda tangan Cardinal Idris (pemilik tanah yang berbatas sepadan sebelah Barat dengan tanah perkara) yang diduga dipalsukan. Kartina beranggapan, tandatangan yang diduga dipalsukan terdakwa tersebut bertujuan untuk memuluskan niatnya untuk mengurus sertifikat tanah seluas 570 meter persegi atau sebanyak 14 piring sisa tanah yang diyakini miliknya. Tidak saja, Kartina, JPU juga menghadirkan empat orang saksi lainnya, Mawardi, Rajo Lenggang, Yusral dan Kardinal Idris. Keempat saksi yang merupakan warga sekitar lokasi perkara, mengaku banyak tidak tahu atas asal-usul tanah diperkarakan. Namun Cardinal menegaskan, tanda tangan yang ada dalam nota pengurusan sertifikat memang bukan tanda tangan dirinya. Saya tidak tahu asal usul tanah tersebut. Namun saya bisa memastikan tanda tangan ini bukan punya saya, tegas Kardinal saat dikonfirmasi oleh majelis hakim terkait nota pengurusan sertifikat tanah yang dijadikan barang bukti dalam sidang. Usai pemeriksaan lima orang saksi kemarin, majelis hakim mengundur sidang hingga pekan depan, dengan agenda pemeriksaan saksi lainnya.(cpw1)