Perkenalkan Pangan Lokal Sejak Dini

id Perkenalkan Pangan Lokal Sejak Dini

Padang, (Antara) - Keragaman dalam mengkonsumsi pangan sudah menjadi tuntutan dewasa ini, termasuk membentuk pola hidup sehat bagi generasi sehingga perlu diperkenalkan sejak dini. "Untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat pada anak, maka dipromosikan pangan lokal ke kalangan pelajar sehingga dapat menjadi agen perubahan di tingkat keluarga terdekatnya," kata Widyaiswara Madya UPTD BKOM dan Pelkes Sumbar Trinabasilih di Padang, Kamis. Ia menjelaskan, akhir-akhir ini pangan lokal semakin terpinggirkan, dampak dari perkembangan zaman modern yang banyak memunculkan pangan siap saji. Karenanya sangat diperlukan promosi yang berkelajutan, terutama pada generasi muda sehingga sudah mengenal pentingnya keragaman pangan dan kesehatan dari pangan lokal. Menurut diia, kesehatan merupakan hak dan sekaligus kewajiban bagi setiap orang, tapi hak sehati belum dapat dinikmati masyarakat dengan berbagai alasan, terlebih lagi bagi masyarakat yang tidak mampu (ekonomi rendah). Maka sekolah merupakan salah satu wadah penyelenggaraan pendidikan formal, cukup potensial dalam pelaksanaan upaya promotif dan preventif untuk mendukung perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). "Kondisi anak-anak kita sekarang sangat memprihatinkan, karena mudah tergiur dengan aneka macam makanan siap saji atau fast food," ujarnya. Data Riskesdas pada 2007 menunjukkan prevalensi obesitas dan gizi lebih pada penduduk usia 15 tahun ke atas secara nasional adalah 19,1 persen. Data 2007 pakar gizi universitas Indonesia, Saptawati Bardosono, sekitar 94,5 persen dari 220 anak yang diteliti di lima SD di wilayah DKI Jakarta, mengkonsumsi makanan dengan kalori di bawah standar. Banyak anak sekolah kebutuhan gizinya belum seimbang, karena selama ini anak-anak lebih banyak mengkonsumsi karbohidrat dan protein tinggi tapi kurang asupan energi lain. Makanan yang dinilai baik dan "trendy" menurut mereka adalah puluhan dan bahkan ratusan kali dipropogandakan lewat media televisi. Jadi, tak heran jika mereka tidak tertarik dengan berbagai jenis makanan berbahan pangan lokal. Menurut Trina, kondisi itu terjadi karena makanan lokal itu jarang masuk iklan. Kedua, karena bentuk dan warna, dan kemasannya juga tidak menarik. Ketiga, karena jarang ada orang yang memperkenalkan tentang kandungan mutu dan khasiatnya. "Kita tak dapat pula salahkan anak-anak, jika mereka lebih rela diperbudak oleh 'makanan iklan', meskipun akibatnya sering harus menanggung berbagai risiko seperti kegemukan atau obesitas dan gampang jatuh sakit," ujarnya. Melalui strategi promosi pangan lokal di sekolah anak akan menjadi pengubah perilaku orang tua di rumah dengan "kepolosan" mereka dapat menyebarkan informasi apa yang diterima dan dirasakan di sekolah. "Soal bahan baku, di sekitar kita tersedia begitu banyak makanan lokal, yang jumlah dan jenisnya cukup memadai, kesehatan serta gizinyapun dapat terjamin," katanya. Apabila dikonsumsi sungguh-sungguh akan dapat mengembangkan sikap dan perilaku yang adil, terutama bagi masyarakat petani di daerah yang mempersiapkan bahan pangan sejak mulai masa tanam. Masyarakat tahu bahwa jenis makanan tertentu selalu berkaitan dengan daerah tertentu. Orang Yogyakarta misalnya, selalu rindu akan makanan yang disebut gudeg. Orang Palembang terkenal dengan makanan yang disebut mpek-mpek dan orang padang dikenal dengan makanan yang disebut rendang. Begitulah manusia mengalami suatu kebiasaan dalam hal pangan, dan pada gilirannya menentukan pola konsumsi keluarga dan masyarakat. Pengelola pangan lokal harus cerdas dalam mengembangkan cara pembuatan dan cara sajinya, sehingga tetap menarik minat masyarakat, tambahnya. Menurut Trina, perilaku yang benar terhadap pangan lokal merupakan suatu penghargaan terhadap para petani. Masyarakat perlu mengembangkan suatu proses pembentukan yang mengarahkan manusia kepada penghargaan akan hasil usahanya. Selain mempromosikan pada anak sekolah, jelasnya, pemerintah khususnya Kementerian Pendidikan Nasional juga wajib memasukkan "materi tentang pangan lokal" dalam kurikulum pendidikan sebagai mata pelajaran muatan lokal.(sir)