Obat dari luka di pendidikan dokter spesialis

id kemenkes,kementerian kesehatan,kemendiktisaintek,bullying,perundungan,dokter spesialis,kasus RSHS,aulia risma lestari,RS

Obat dari luka di pendidikan dokter spesialis

Ilustrasi - Warga menggunakan alat Spriometri untuk menilai fungsi paru-paru. ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/foc.

Adapun secara spesifik, laporan tentang pemerkosaan tidak ada, namun ada 3 laporan tentang pelecehan seksual dari peserta PPDS. Ketiganya sudah ditindaklanjuti.

Urgensi akan evaluasi

Sejak kasus kekerasan seksual di RSHS, banyak yang menyoroti perlunya pembenahan sistem pendidikan ini. Yang paling banyak ditekankan adalah evaluasi tentang akses ke obat-obat anestesi, solusi bagi status ambigu para peserta yang belajar sambil bekerja, kejelasan prosedur operasional standar (SOP), hingga pemantauan kondisi kejiwaan secara berkelanjutan.

Pengamat manajemen kesehatan lulusan Universitas Airlangga dr. Puspita Wijayanti mengatakan perlunya pemantauan kejiwaan secara berkelanjutan, karena tes psikologi yang dilakukan saat rekrutmen atau seleksi hanya memberikan gambaran kesehatan jiwa pada momen pengerjaan saja.

Menurut dia, hal itu tidak dapat memprediksi kondisi psikis di kemudian hari, setelah para peserta diberatkan oleh beban emosional dari pasien, jam kerja panjang, kompetisi, hingga hubungan antarhierarki yang alot. Ketika tekanan tidak dikawal, burnout bisa menjelma menjadi disosiasi, dan jika diabaikan, luka internal bisa berubah menjadi kekerasan eksternal.

Oleh karena itu, perlu ada sejumlah langkah, seperti evaluasi psikologis berkala sebagai bagian dari kurikulum tersembunyi pendidikan dokter spesialis, dilakukan setiap 6 bulan atau tiap transisi rotasi besar.

Terkait status ambigu para peserta PPDS, secara hukum, peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) adalah peserta pendidikan klinik lanjutan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran dan Permenkes No. 51 Tahun 2018 tentang Rumah Sakit Pendidikan.

Para peserta masuk ke rumah sakit bukan sebagai pegawai tetap, melainkan untuk menjalani rotasi pembelajaran praktik profesional. Namun pada kenyataannya, para peserta bekerja layaknya dokter definitif, yang memegang wewenang klinis, mengakses data pasien, hingga memutuskan tindakan yang terkadang tanpa pengawasan yang layak.

Puspita menilai, ketika peserta didik diberi beban dan akses pelayanan, tapi tidak diletakkan dalam sistem otorisasi dan pengawasan yang ketat, maka lahirlah area abu-abu mengenai tanggung jawab klinis.

Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Slamet Budiarto juga menggarisbawahi perlunya membatasi waktu kerja atau pendidikan residen. Dia selalu menekankan untuk membatasi waktu maksimal 40-50 jam kerja atau belajar per minggunya.

Slamet juga menyebutkan perlunya SOP yang jelas terkait penanganan atau pemeriksaan lab, bius, dan semacamnya, dan tidak boleh memeriksa pasien sendirian.

Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) juga mendorong penguatan sistem etika, termasuk SOP interaksi antara tenaga kesehatan dan pasien/keluarga pasien. Rumah sakit pendidikan harus memiliki standar etik dan pengawasan yang tegas dalam kesehariannya.

Menata mental

Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Brian Yuliarto mengatakan bahwa kejadian-kejadian ini mencederai rasa keadilan, martabat kemanusiaan, dan kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan kedokteran serta RS sebagai tempat belajar dan memberikan pelayanan.

Peristiwa-peristiwa itu bukan kasus individual semata, sehingga perlu ada perbaikan secara sistematis untuk menangani sejumlah permasalahan yang mendasar, contohnya beban mental dan finansial. Kemendiktisaintek pun berkolaborasi dengan Kementerian Kesehatan membentuk komite bersama untuk menyusun pedoman pencegahan dan penanganan kekerasan di pendidikan kedokteran.

Dari Kementerian Kesehatan, ada sejumlah inisiatif signifikan yang bakal dilaksanakan, yakni pengecekan kesehatan mental secara berkala, yakni enam bulan sekali. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pun memberi mandat bagi para direktur rumah sakit pendidikan kesehatan untuk rutin bertemu langsung dengan para peserta, untuk melihat kondisi para pelajar itu serta mengintervensi apabila ada risiko atau masalah yang muncul.

Bahkan, dia mengungkapkan komitmennya untuk meluangkan waktunya guna bertemu dengan para peserta dan memastikan kesejahteraan mental dan fisik mereka.

Pembenahan lainnya yakni dengan memberikan Surat Izin Praktik (SIP) bagi para peserta PPDS agar bisa bekerja sebagai dokter umum. Hal ini karena para peserta umumnya sudah berkeluarga, dan selama belajar mereka tidak mendapatkan penghasilan, sehingga beban finansial mereka bertambah.

Dengan SIP itu, para peserta bisa mendapatkan pemasukan, baik ketika belajar di rumah sakit maupun di luar jam pendidikan, sehingga diharapkan bisa mengurangi beban finansial. Poin inilah yang berhubungan dengan penegasan Kementerian Kesehatan bahwa jam kerja 80 jam per minggu adalah batas maksimal dan tidak boleh dilampaui, namun demikian bukan berarti waktu bekerja dan pendidikan harus penuh 80 jam itu.

Menurut Direktur Jenderal Kesehatan Lanjutan Azhar Jaya, dengan waktu kerja 80 jam per minggu, masih memungkinkan seorang dewasa normal untuk mendapatkan waktu istirahat yang cukup, yakni 5-6 jam, atau 8 jam jika memungkinkan.

Alasan mengapa angka maksimal tersebut ditetapkan adalah untuk mempercepat proses pendidikan. Ada kalanya sebuah kasus yang bagus untuk dipelajari muncul di luar jam pendidikan, sehingga peserta dipanggil untuk turut mempelajari.

Tapi, Menkes tetap meminta bahwa jika dalam satu hari peserta bekerja overtime, maka hari berikutnya harus libur untuk istirahat.

Untuk memastikan peserta tetap fokus belajar agar menjadi dokter spesialis yang handal dan berkualitas, pengawasan juga semakin ditingkatkan, guna memastikan bahwa konsulennya yang mengajar, bukan seniornya. SOP juga diperbaiki. Tidak lagi para peserta disuruh-suruh membawa spesimen lab, dan ruangan kosong di RS harus dikunci untuk mencegah penyalahgunaan.

Kemenkes juga merespon kelanjutan kasus bullying berujung maut dari Semarang, dan menyebut akan mendalaminya lebih jauh. Diketahui, ZYA, tersangka yang melakukan perundungan terhadap dr. Aulia Risma Lestari, bisa mengikuti ujian kompetensi bahkan lulus dengan cepat, padahal statusnya tersangka dan masih dalam proses pidana.

Dalam surat tertanggal 18 April 2025, Kolegium Anestesiologi dan Terapi Intensif Reza Widianto Sudjud menyatakan bahwa sertifikat kompetensi ZYA ditunda untuk diberikan sehubungan dengan kasus tersebut.

Sejauh ini, Kementerian Kesehatan telah membekukan tiga program studi dokter spesialis, yakni prodi anestesi di Rumah Sakit Kariadi, prodi penyakit dalam di Rumah Sakit Kandou, dan prodi anestesi di Rumah Sakit Hasan Sadikin. Hal ini sebagai salah satu upaya evaluasi sistem pendidikan.

Orang bijak berkata, "waktu terbaik pertama untuk memulai adalah kemarin, dan waktu terbaik kedua untuk memulai adalah sekarang."

Dokter sering disebut-sebut sebagai penyelamat jiwa, dan sekarang adalah waktu yang tepat bagi bangsa untuk menyelamatkan jiwa para calon dokter spesialis ini, sebelum bakat dan niat luhur mereka hangus oleh sesuatu yang sebenarnya bisa dicegah.

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Mengobati luka menganga dalam pendidikan dokter spesialis