Pimpinan Muhammadiyah: Puasa tetap jaga jarak, batasi emosi dan provokasi

id Hamim Ilyas,Ramadhan,COVID-19,islam corona

Pimpinan Muhammadiyah: Puasa tetap jaga jarak, batasi emosi dan provokasi

Wakil Ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah Dr H Hamim Ilyas MA (ANTARA/HO)

Ada COVID-19 maka menyikapinya harus secara proporsional,
Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Majelis Tarjih Pengurus Pusat Muhammadiyah Dr H Hamim Ilyas MA mengatakan bulan suci Ramadhan 1441 Hijriah akan segera tiba dan kondisi kini di tengah pandemi COVID-19 harus menjadi semangat puasa tetap dijadikan ruang untuk melatih diri, dengan tetap menjaga jarak dengan nafsu, juga membatasi emosi negatif dan provokasi.

"Ada COVID-19 maka menyikapinya harus secara proporsional. Seperti misalnya untuk mencegah penularan infeksi COVID-19 itu, maka dilakukan pembatasan sosial, maka umat Islam pun harus melakukan pembatasan sosial, jangan melanggar," kata Hamim Ilyas, dalam keterangan tertulis yang diterima, Kamis.

Menurut dia, pandemi Virus Corona atau COVID-19 membuat umat Islam tidak boleh menjalankan ibadah dan berbagai tradisi Ramadhan di masjid, tapi harus dilakukan di rumah saja.

Namun, lanjutnya, berbagai pembatasan itu tidak boleh menjadi penghalang bagi umat untuk mengisi Ramadhan dengan berbagai ibadah wajib dan sunah.

Hamim juga mengatakan bahwa organisasi besar, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Muhammadiyah pun juga telah mengeluarkan fatwa bahwa untuk Qiyamu Ramadhan atau Shalat Tarawih di rumah saja di tengah pandemi Corona.

"Masyarakat harus memperhatikan juga protokol kesehatannya untuk mencegah penularan COVID-19 ini, seperti fatwa yang juga telah dikeluarkan oleh MUI dan Muhammadiyah untuk sementara melakukan Shalat Tarawih di rumah," ujar dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta itu.

Hamim mengungkapkan bahwa puasa itu sebetulnya harus ada hasilnya, yaitu takwa, termasuk kesadaran diri itu.

"Seperti dalam QS Al-Baqarah ayat 183 bahwa sebetulnya puasa itu ada hasilnya. Hasilnya adalah la'allakum tattaqun, yaitu takwa. Kalau di dalam Al Quran, takwa salah satu pengertiannya adalah prinsip kesadaran. Jadi orang yang melakukan puasa itu supaya berhasil puasanya, maka dia harus memiliki kesadaran baru dari puasanya itu," ujarnya pula.

Hamim melanjutkan kalau selama ini ada yang kurang bersyukur, maka dengan puasa kemudian mendapatkan kesadaran baru bahwa orang tersebut harus bersyukur dengan anugerah yang diterima, misalnya seperti mata yang bisa berkedip dimana banyak orang tidak menyadari bahwa mata berkedip itu adalah anugerah yang besar.

"Saya pernah nonton di televisi ada seorang wanita di Amerika sakit mata tidak bisa berkedip lalu berobat habis 1 juta dolar AS, kalau dikurskan ke rupiah 1 dolar Rp14 ribu itu berarti untuk berobat dia habis Rp14 miliar. Ini kan kesadaran baru bahwa kita harus banyak bersyukur," kata dosen Magister Studi Islam tersebut.

Hamim juga mengatakan ada juga takwa untuk kesadaran moral seperti yang dijelaskan dalam QS Al A’raf yang berbunyi ‘innalazi nattaqa izamasahun thaifummina syaithan tadzakkaru’.

"Jadi orang-orang yang bertakwa apabila disentuh oleh setan maka, kemudian tadzakkaru mereka langsung sadar," katanya pula.

Ia memaparkan bahwa pengertian disentuh oleh setan ini dalam pengertian kalau di dalam hatinya terlintas untuk melakukan tidak baik, maka orang yang bertakwa itu langsung sadar.

"Jadi misalnya dalam wabah COVID-19 ini dalam pemberian bantuan kepada masyarakat, orang yang bertakwa itu dalam berpuasa jangan sampai terlintas untuk melakukan korupsi pada bantuan tersebut. Apabila sampai terlintas di pikiran, maka harus segera dihentikan jangan sampai jadi keinginan apalagi dilakukan," ujarnya lagi.

Hamim juga menyampaikan ada juga kesadaran tentang masa depan yang di situ dihubungkan dengan takwa kepada Allah SWT, sehingga umat Islam disarankan untuk memiliki kesadaran tentang masa depan.

Artinya, umat Islam yang berpuasa harus memiliki kesadaran bahwa masa depan itu harus lebih baik dibandingkan dengan masa sekarang.

"Mestinya para pelaku kekerasan atau provokasi yang mengatasnamakan agama itu harus sadar, kekasaran malah mengakibatkan yang namanya islamophobia orang sinis pada Islam. Padahal kalau dia takwa, pasti memiliki kesadaran tentang masa depan, sehingga kalau berdakwah dia pasti melakukannya secara damai dan tidak akan melakukan provokasi, apalagi di tengah pandemi Corona," ungkapnya.

Begitu juga dalam konteks pengendalian diri dalam bermedia sosial di bulan puasa, Hamim menyampaikan bahwa kita harus mengikuti "golden rule".

"Perlakukanlah orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan oleh orang lain. Sehingga kalau orang memiliki kesadaran, dia pasti menyadari kalau dia pasti juga tidak ingin menjadi korban ujaran kebencian, sehingga dia tidak akan melakukan ujaran kebencian," ujarnya pula.

Hamim mencontohkan tentang provokasi di media sosial yang bisa menyebabkan kerusuhan, sehingga banyak orang yang meninggal.

"Kalau misal ada orang yang tersangkut kasus di pengadilan, lalu dia difitnah sehingga bisa saja keluarganya dibunuh atau rumahnya dibakar. Itu kan berarti fitnah itu lebih kejam, jadi kalau dia orang Islam maka sadarlah," ujarnya.

Ia juga menyampaikan bahwa dalam menanggulangi wabah saat ini harus bergotong royong untuk bersama-sama menanggulangi COVID-19 ini.

"Di Indonesia sudah mulai lumayan tinggi kesadarannya. Ada banyak masjid-masjid mengorganisir jamaahnya memberikan bantuan kepada masyarakat yang terdampak wabah COVID-19 ini. Jadi tidak cukup hanya Pemerintah saja, masyarakat juga harus terlibat," demikian Hamim Ilyas.