Harga minyak dunia naik dipicu ketegangan di Timur Tengah

id harga minyak,minyak mentah,ketegangan timur tengah

Harga minyak dunia naik dipicu ketegangan di Timur Tengah

Ilustrasi: Suar gas dari produksi minyak di Ladang minyak Soroush di Teluk Persia, Selatan Teheran, Iran (REUTERS/Raheb Homavandi)

New York, (ANTARA) - Harga minyak terus naik pada hari Senin (6/1) setelah militer AS membunuh seorang komandan senior Iran yang memicu kekhawatiran meningkatnya ketegangan di Timur Tengah dapat mengganggu produksi energi di wilayah tersebut.

Harga patokan minyak AS, West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Februari naik 0,22 dolar AS menjadi 63,27 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange.

Sementara harga patokan minyak internasional, mentah Brent untuk pengiriman Maret naik 0,31 dolar menjadi ditutup pada 68,91 dolar per barel di London ICE Futures Exchange.

Harga minyak Brent mencapai 70 dolar AS per barel pada awal sesi perdagangan, mencapai tertinggi lebih dari tiga bulan.

Amerika Serikat membunuh Mayor Jenderal Qassem Soleimani, Komandan Pasukan Pengawal Revolusi Islam Iran Quds, dalam serangan udara di Baghdad pada hari Jumat (3/1) yang meningkatkan ketegangan di Timur Tengah.

Pelaku pasar khawatir bahwa meningkatnya ketegangan Timur Tengah dapat berdampak pada produksi energi di kawasan kaya minyak, yang menyumbang hampir sepertiga dari pasokan minyak global, kata para analis.

Namun para analis juga mencatat bahwa meskipun ada ketegangan geopolitik, kapasitas cadangan dalam minyak mungkin tetap memadai.

"Kami masih mengharapkan pasar minyak yang kelebihan pasokan tahun ini karena pertumbuhan pasokan non-OPEC melampaui pertumbuhan permintaan minyak yang moderat," kata kepala investasi UBS Global Wealth Management Mark Haefele dan timnya dalam sebuah catatan pada hari Senin (6/1).

Sementara harga minyak kemungkinan akan membangun premi risiko yang lebih besar di tengah ketegangan politik yang meningkat, harga Brent akan berjuang untuk bertahan di atas 70 dolar AS per barel pada paruh pertama 2020, kata analis UBS itu. (*)