Pengasuhan di Minangkabau penuh filosofi dan sesuai ajaran Islam

id berita agam, berita sumbar, adat minangkabau

Pengasuhan di Minangkabau penuh filosofi dan sesuai ajaran Islam

Musra Dahrizal Katik Rajo Mangkuto memberikan pencerahan pada niniak mamak serta warga Nagari Salo dan undangan lainnya, saat halaqah adat terintegrasi dengan agama, menyambut pergantian tahun 2019 yang digelar Ikatan Keluarga Sikumbang Ampek (IKSA) Nagari Salo, Kecamatan Baso, Kabupaten Agam, Ahad (29/12/2019) pagi. (Antara/Istimewa)

Padang, (ANTARA) - Apakah di Nagari Salo, masih ada kebiasaan menghadirkan ninik mamak, bapak dan saudara untuk berbuka puasa setiap bulan Ramadhan?

Ini jadi salah satu pertanyaan kunci yang disampaikan Musra Dahrizal Katik Rajo Mangkuto saat halaqah adat terintegrasi dengan agama, menyambut pergantian tahun 2019 yang digelar Ikatan Keluarga Sikumbang Ampek (IKSA) Nagari Salo, Kecamatan Baso, Kabupaten Agam, Ahad pagi.

“Kebiasaan mengundang berbuka puasa bersama ini berkaitan dengan proses pembayaran fidyah akibat peristiwa haid yang dialami perempuan baligh. Maknanya sangat dalam jika dilihat secara adat,” tegas Mak Katik, demikian Musra Dahrizal karib disapa melalui siaran pers yang diterima Antara Sumbar.

Ia menjelaska, nilai-nilai adat yang tumbuh dengan mengundang berbuka puasa dalam membayar fidyah , berkaitan dengan proses dikenalkannya kemenakan dengan mamak, anak dengan keluarga bapaknya serta sanak saudara lainnya.

“Lama haid itu bisa sepekan. Jika ada beberapa orang perempuan dewasa di rumah tersebut, maka dalam sepekan itu akan ada proses anak untuk mengenal keluarga bapaknya. Kemenakan mengenal mamaknya. Bayar fidyah itu kan tiga tekong beras di ukuran kita. Itu cukup untuk menjamu mamak atau bapak dari si anak untuk berbuka puasa,” terang dia.

“Dampak secara adatnya, ketika telah saling mengenal, tak akan ada lagi kita temui, mamak dan kemenakan dalam satu permainan ketika duduk di lapau. Karena, kehadiran mamak atau bapak, telah melalui sebuah proses mendalam di rumah ibunya,” urai Mak Katik.

Selain itu, Mak Katik juga mengungkap hasil wawancara mendalamnya terhadap 100 orang keluarga yang mengalami perceraian di Sumbar. Ditemukan, 79 di antaranya saat menikah dalam keadaan haid (tidak suci-red).

“Setelah manakok hari, mandeh ketek marapulai akan datang untuk bertanya, apakah pada hari yang telah ditetapkan itu, dalam keadaan bisa shalat. Jika tidak, maka hari yang sudah ditetapkan itu dimajukan sepekan atau dimundurkan. Begitu orang tua kita dulu menjaga seluruh proses kehidupan kita, agar adat dan syara’ tetap berjalan beriringan,” terangnya.

Internalisasi adat dan syara’, terangnya, juga telah dimulai sejak anak dilahirkan ke muka bumi. Dulu, orang tua-tua kita selalu berpesan pada bidan tempat melahirkan, agar meminta izin terlebih dulu untuk memotong tali pusar bayi yang baru lahir pada anggota keluarga orang tuanya.

Kemudian, titik potong juga tidak berdasarkan ukuran centimeter seperti ilmu medis saat ini. Melainkan dengan ukuran panjang antara dari titik pusar dengan batas bibir bawah. “Jika anaknya terlahir tinggi maka dia akan jadi lebih panjang atau sebaliknya. Saat ini, dipukul rata lima centimeter saja,” ungkap Mak Katik dalam ceramah adat yang juga dihadiri Wali Nagari Salo, Anwar St Kayo serta pemuka masyarakat dari sejumlah nagari tetangga itu.

“Pengalaman saya saat menganjurkan titik potong tali pusar ini, si anak jadi seperti manih dagiang saat dewasanya. Proses pemotongan tali pusar ini, juga berkaitan dengan simbol warna pada marawa kita. Kuning, merah dan hitam. Dia tak lepas dari warna yang tampak di tali pusar itu,” kata Mak Katik bertamsil.

“Meminta izin itu berkaitan dengan akad. Proses akad ini yang menjadikan kehalalan sebuah proses. Tak heran, orang-orang dulu itu tinggi etikanya dan halus budinya. Saya tak ingin berdebat dengan kondisi sekarang. Jika kita semua menyadari ada kesalahan, mari sama-sama kita perbaiki,” tegasnya.

Kemudian, Mak Katik juga menuturkan pantangan keluarga dulu, dalam memberi makan anak dengan lebih dulu menutup pintu. Saat ini, anak diberi makan sembari jalan-jalan keliling komplek perumahan tempat tinggal.

Menutup pintu saat makan itu, tegasnya, mengajarkan pada si anak bahwa ada proses yang tak selalu bisa sesuai kehendak hatinya. “Jika saat ini ditemukan ada anak yang gampang saja melawan dan berkata-kata kasar pada orang tuanya, coba tanyakan bagaimana proses dia diberi makan saat kanak-kanak. Jika dengan berjalan-jalan, segera lah bertaubat nasuha,” sarannya.

Banyak hal yang Mak Katik nukilkan dalam penuturan disertai tanya jawab selama dua jam setengah itu. Pria yang dilahirkan pada 18 Agustus 1949 itu, saat ini merupakan dosen luar biasa di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unand dan Fakultas Hukum UMSB Bukittinggi.

Walau hanya lulusan Sekolah Rakyat (SR), Mak Katik telah jadi dosen tamu di University of Hawaii, Menoa, Amerika Serikat dan Akademi Seni Warisan Budaya Kebangsaan Malaysia. Juga telah melanglang buana, mengenalkan adat Minangkabau ke berbagai negara di benua Eropa, Amerika, Asia Tengah dan lainnya.

Dikesempatan itu, Mak Katik yang asli Batipuah, Kabupaten Tanahdatar itu menegaskan, adat dengan agama di Minangkabau, ibarat aua jo tabiang, sanda manyanda kaduonyo. “Kini, mayoritas kita di Minang, mengamalkan ajaran Singosari atau Belanda. Adaik itu adaik. Nan agamo itu agamo. Berdiri sendiri. Tak saling berhubungan,” tegasnya.

“Tak ada yang bertentangan antara adat dan syara’. Kajiannya sudah tuntas di orang tua kita dulu. Awalnya, berdasarkan permintaan orang awak yang ahli fiqih, adat itu mesti berdasarkan Al Quran. Setelah perdebatan panjang dengan orang awak yang mengerti adat, disepakati dengan kata Al Quran diganti syara’. Karena, makna syara’ itu lebih luas jika dikaji secara lebih mendalam,” tegasnya.

“Syara’ itu mengacu pada ayat-ayat Allah yang diturunkan ke muka bumi sejak penciptaan makhluk Allah hingga kehadiran nabi Muhammad SAW sebagai pembawa risalah terakhir,” ungkapnya tentang pola pengasuhan (parenting) di Minangkabau yang terintegrasi dengan ajaran Islam.

Warih Bajawek

Saat membuka acara, pangulu Suku Sikumbang Ampek Nagari Salo, Dt Sipado mengungkapkan, pemahaman adat dengan syara’ yang benar, harus terus diwariskan kegenerasi muda.

“Kami Suku Sikumbang Ampek Nagari Salo, khawatir soal pewarisan adat jo syara’ ini. Karena, yang akan kami wariskan juga tak sempurna pula pemahamannya,” ungkap dia saat mengambangkan lapiak pembahasan yang akan dikupas dalam bakato adat tersebut.

Hantaran kata itu mengilustrasikan peserta kegiatan yang mayoritas dihadiri yang telah berusia lanjut. Baik itu kaum perempuan maupun laki-laki. Sementara, tema kegiatan ini “Kito Sambuik Tahun 2020 jo Bekal Adaik Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah untuk Generasi Milenial.”

Sementara, Ketua Pelaksana, Syafrizal mengungkapkan, kegiatan ini merupakan upaya kaum Suku Sikumbang Nagari Salo, dalam memenuhi anjuran Pemkab Agam untuk tidak ikut-ikut merayakan pergantian tahun dengan berhura-hura.