WCT minta pemerintah bentuk satgas penanganan konflik Harimau Sumatera dengan manusia

id konflik harimau dengan manusia di riau,teror harimau sumatera di pelangiran,harimau sumatra,berita riau,riau terkini

WCT minta pemerintah bentuk satgas penanganan konflik Harimau Sumatera dengan manusia

Tim dokter hewan melakukan pemeriksaan kesehatan seekor Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) bernama Antan Bintang sebelum dilepasliarkan di PR-HSD Yayasan ARSARI, Dhamasraya, Sumatera Barat, Senin (29/7/2019). Kementerian Lingkungan Hidup bersama Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera Dharmasraya - Yayasan ARSARI Djojohadikusumo (PR-HSD Yayasan ARSARI) melepasliarkan sepasang Harimau Sumatera terdari dari satu ekor Harimau betina bernama Bonita dan satu ekor Harimau jantan bernama Antan Bintang ke kawasan konservasi di Provinsi Riau. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww.

Pekanbaru, (ANTARA) - Aktivis lingkungan dari Wildlife Crime Team (WCT) meminta pemerintah Indonesia khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk membentuk satuan tugas atau Satgas yang fokus dalam penanganan konflik harimau sumatra dengan manusia di Provinsi Riau, karena terjadi eskalasi konflik yang tak terelakkan pada tahun ini.

Koordinator WCT, Osmantri, di Pekanbaru, Kamis, mengatakan untuk penanganan konflik harimau sumatra dengan manusia sebenarnya sudah ada peraturan yang jadi acuan, yakni Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor: P.48/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Penanggulangan Konflik Antara Manusia dan Satwa Liar. Namun, pedoman tersebut belum diikuti.

Baca juga: Tewaskan seorang warga, ternyata seperti ini kronologi serangan harimau di Indragiri Hilir

"Untuk penanganan konflik sendiri hingga saat ini belum terimplementasi dengan baik P.48 Tahun 2008, dimana daerah yang rawan atau potensial konflik harus bentuk satgas penanganan konflik. Nah, disini (Riau) ketika ada konflik, baru semua sibuk," kata Osmantri.

Ia mengatakan hal tersebut menanggapi konflik manusia dengan harimau sumatra (panthera tigris sumatrea) yang sudah menelan tiga korban jiwa pada tahun ini di Kecamatan Pelangiran Kabupaten Indragiri Hilir, Riau. Akibatnya, muncul keresahan dari warga Desa Tanjung Simpang di daerah tersebut yang menyurati kepala daerah setempat agar ada kebijakan merelokasi satwa dilindungi tersebut.

Menurut Osmantri, potensi konflik harimau dengan manusia di Kecamatan Pelangiran Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil) sudah terjadi selama 10 tahun terakhir. Daerah tersebut merupakan habitat asli satwa dilindungi tersebut, dengan intensitas konflik yang tinggi, sehingga semestinya sudah sedari awal menjadi perhatian pemerintah.

"Catatan saya, (sejak) 2009 saja sudah mulai 'gentayangan' harimau masuk kampung atau setidaknya wilayah kelola masyarakat, dan warga juga sudah melaporkan," ujarnya.

Baca juga: BKSDA usir harimau yang memangsa ternak warga di Agam

Hanya saja penanganan secara komprehensif untuk mencari solusi tidak pernah ada. Masalah konflik tersebut, ujar dia, mirip seperti penanganan masalah kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Riau yang pembahasan seakan hilang setelah turun hujan.

"Tapi, ya, itu, (konflik harimau-manusia) sama dengan karhutla. Hilang asap, hilang pula cerita produktif untuk pengendalian karhutla," katanya.

Menurut dia, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau sebagai perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di daerah, harus memperjelas kapan rencana untuk mencari solusi konflik tersebut dilakukan, melibatkan siapa dan bagaimana mekanismenya.

Baca juga: Polisi ungkap jaringan pemburu dan penjual bagian tubuh Harimau Sumatera di Bengkulu

Osmantri menjabarkan setidaknya ada empat faktor yang perlu dicermati karena telah memicu konflik terjadi di Pelangiran maupun daerah lainnya di Riau. Pertama, tata guna dan kelola pemanfaatan hutan yang besar diduga tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan kesehatan lingkungan.

Kedua, pertumbuhan kebutuhan akan hunian manusia yang semakin bertambah membuat habitat satwa semakin sempit. Ketiga, akses yang relatif mudah untuk mengakses kawasan sehingga memicu terjadinya eksploitasi hutan baik itu berupa kayu dan satwa di dalamnya.

Keempat, orientasi pengelolaan atau manajemen kawasan hutan belum komprehensif padahal sudah ada aturan yang mendukungnya. (*)

Baca juga: Pekerja asal Aceh tewas mengenaskan diterkam Harimau Sumatera di Riau