Jalan panjang mewujudkan keterwakilan perempuan di legislatif
Padang (ANTARA) - Gembar-gembor keterwakilan perempuan minimal 30 persen di legislatif agaknya masih menjadi wacana di Sumatera Barat.
Berdasarkan data yang dihimpun, jumlah kaum hawa yang berhasil menduduki kursi DPRD setempat masih di bawah angka 30 persen.
Salah satu contoh nyata adalah di Kabupaten Solok Selatan yang dalam 10 tahun terakhir tak ada kursi bagi bundo kanduang. Hingga dilantiknya anggota DPRD hasil Pemilu 2019, lengkap sudah tiga periode dewan setempat dihuni oleh kaum lelaki.
Demikian juga di DPRD Sumatera Barat (Sumbar). Jika pada periode 2014-2019 ada tujuh srikandi, memasuki masa bakti 2019-2024 melorot jadi empat orang saja dari total 65 anggota dewan.
Mereka yang berkiprah pada periode 2014-2019 di DPRD Sumbar antara lain Siti Izzati Aziz, Riva Melda, Rahayu Purwanti, Armiati, Endarmy, Marlina Suswati dan Zusmawati.
Kini hanya tersisa empat wanita, yaitu Leli Arni dari PDI Perjuangan, Mesra dari Partai Gerindra, Siti Izzati Aziz (Partai Golkar) dan Yunisra Syahiran (Partai Gerindra).
Hal ini secara tidak langsung akan berdampak pada angka Indeks Demokrasi Indonesia Sumatera Barat yang salah satu indikatornya adalah keterwakilan perempuan di legislatif.
Untuk kota Padang memang sedikit lebih baik karena pada masa 2014-2019 kursi Ketua DPRD sempat dijabat oleh politisi perempuan, yakni Elly Trisyanti yang merupakan wanita pertama menjabat sebagai Ketua DPRD di ibu kota Provinsi Sumatera Barat.
Memang secara aturan saat mengusulkan daftar calon legislatif, partai politik wajib menyertakan kuota perempuan minimal 30 persen.
Akan tetapi dalam praktiknya berkaca dari hasil pemilu, tetap saja dunia legislator masih didominasi oleh kaum pria.
Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M) Sumatera Barat mengungkap minimnya perempuan yang terpilih sebagai legislator di DPRD disebabkan perlakuan diskriminatif.
"Kendati sudah ada aturan kuota perempuan minimal 30 persen, tapi mulai dari proses pencalonan sudah banyak diskriminasi dan selama ini keberadaan perempuan tak lebih sekadar pemenuh kuota semata," kata Koordinator Program Advokasi LP2M Sumbar Sri Ambarwati.
Partai politik belum serius melakukan pengkaderan terhadap perempuan. Peremouan masih dijadikan sebagai pemenuhan regulasi kuota keterwakilan 30 persen.
Akses perempuan untuk mendapatkan informasi, bagaimana menjadi caleg yang potensial sudah dibatasi sejak awal oleh partai politik, ujarnya
Tak hanya itu bentuk diskriminasi lainnya. Kalau caleg pria kampanye difasilitasi sedangkan perempuan tidak sehingga sosialisasi minim.
Lalu soal nomor urut perempuan di kertas suara jarang berada di urutan atas dan lebih banyak di bawah.
Kalaupun ada perempuan yang diberikan nomor urut satu, tetap saja dalam proses pencoblosan ada narasi seolah-olah laki-laki lebih memiliki kapasitas.
Kemudian kondisi tersebut diperburuk oleh cara pandang masyarakat terhadap caleg perempuan. Caleg perempuan masih dianggap lemah dan dipandang tidak sanggup menjalankan tugas serta memimpin.
Ada banyak alasan yang sifatnya personal terhadap perempuan yang ada di pikiran masyarakat sehingga caleg perempuan banyak tak dipilih dalam pemilu.
Ia mengemukakan, perempuan tidak percaya kepada sesama perempuan. Ini disebabkan oleh sistem budaya yang memandang perempuan adalah makhluk yang lemah.
Karena itu perlu didorong kepemimpinan perempuan untuk melahirkan sosok potensial yang bisa berkiprah di legislatif dan eksekutif guna memperjuangkan hak kaumnya.
Istri Gubernur Sumbar Nevi Zuairina yang merupakan anggota DPR RI terpilih 2019-2014 mengakui perjuangan menjadi caleg perempuan berat karena perempuan tidak memilih kaumnya. Perempuan kerap disepelekan saat bersaing dengan laki-laki.
Kalau perempuan memilih perempuan maka dipastikan kuota 30 persen akan terpenuhi, ujarnya.
Karena itu, dia menilai ini merupakan tugas berat untuk menyosialisasikan kepada masyarakat bahwa perempuan juga berperan dalam dunia politik dan bisa lebih memahami aspirasi kaumnya.
Ia memberi contoh saat berkunjung ke PAUD yang ada di Sumbar terungkap belum pernah mendapatkan perhatian dari pemerintah setempat. Salah satunya ditengarai karena tidak ada legislator perempuan.
Ia juga mengidentifikasi faktor lain sulitnya perempuan berkiprah di politik karena mengalami masalah ekonomi rumah tangga.
Nevi pun bertekad akan mempermudah akses ekonomi bagi perempuan sehingga perempuan bisa lebih banyak berkiprah di dunia politik.
Bagi dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Thaha Saifuddin Jambi, Irma Sagala M,Si tidak perlu ada kuota perempuan dalam dunia politik termasuk di legislatif.
Yang perlu dilakukan adalah penyadaran kepada semua pihak bahwa laki-laki dan perempuan layak serta sama-sama hidup beradab dan diberadabkan, ujarnya.
Ia menilai pandangan ini belum berkembang yaitu kesadaran dan kesepahaman yang sama mulai dari tingkat elit politik hingga akar rumput.
Ini perlu dimulai dari tingkat keluarga, kantor partai sehingga bisa mengakar di tengah masyarakat, katanya.
Bagi dia, selama ini sudah diberlakukan kuota 30 persen tetapi dalam kenyataan tidak efektif
Selain itu, kehadiran anggota politisi perempuan di legislatif tidak serta merta dapat mengusung kebijakan yang lebih ramah terhadap perempuan berkaca dari pengalaman yang sudah ada.
Kuota itu solusi jangka pendek, darurat dan sementara karena ketika perempuan mau dan berminat 90 persenpun bisa. Namun persoalannya mencari yang mau dan berminat itu sulit.
Agaknya perjuangan perempuan untuk bisa turut berperan lebih besar di bidang politik khususnya di legislatif masih harus melalui panjang.
Selain didera persoalan personal, budaya yang berkembang di masyarakat dan juga akses serta kesempatan yang masih terbatas.
Berdasarkan data yang dihimpun, jumlah kaum hawa yang berhasil menduduki kursi DPRD setempat masih di bawah angka 30 persen.
Salah satu contoh nyata adalah di Kabupaten Solok Selatan yang dalam 10 tahun terakhir tak ada kursi bagi bundo kanduang. Hingga dilantiknya anggota DPRD hasil Pemilu 2019, lengkap sudah tiga periode dewan setempat dihuni oleh kaum lelaki.
Demikian juga di DPRD Sumatera Barat (Sumbar). Jika pada periode 2014-2019 ada tujuh srikandi, memasuki masa bakti 2019-2024 melorot jadi empat orang saja dari total 65 anggota dewan.
Mereka yang berkiprah pada periode 2014-2019 di DPRD Sumbar antara lain Siti Izzati Aziz, Riva Melda, Rahayu Purwanti, Armiati, Endarmy, Marlina Suswati dan Zusmawati.
Kini hanya tersisa empat wanita, yaitu Leli Arni dari PDI Perjuangan, Mesra dari Partai Gerindra, Siti Izzati Aziz (Partai Golkar) dan Yunisra Syahiran (Partai Gerindra).
Hal ini secara tidak langsung akan berdampak pada angka Indeks Demokrasi Indonesia Sumatera Barat yang salah satu indikatornya adalah keterwakilan perempuan di legislatif.
Untuk kota Padang memang sedikit lebih baik karena pada masa 2014-2019 kursi Ketua DPRD sempat dijabat oleh politisi perempuan, yakni Elly Trisyanti yang merupakan wanita pertama menjabat sebagai Ketua DPRD di ibu kota Provinsi Sumatera Barat.
Memang secara aturan saat mengusulkan daftar calon legislatif, partai politik wajib menyertakan kuota perempuan minimal 30 persen.
Akan tetapi dalam praktiknya berkaca dari hasil pemilu, tetap saja dunia legislator masih didominasi oleh kaum pria.
Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M) Sumatera Barat mengungkap minimnya perempuan yang terpilih sebagai legislator di DPRD disebabkan perlakuan diskriminatif.
"Kendati sudah ada aturan kuota perempuan minimal 30 persen, tapi mulai dari proses pencalonan sudah banyak diskriminasi dan selama ini keberadaan perempuan tak lebih sekadar pemenuh kuota semata," kata Koordinator Program Advokasi LP2M Sumbar Sri Ambarwati.
Partai politik belum serius melakukan pengkaderan terhadap perempuan. Peremouan masih dijadikan sebagai pemenuhan regulasi kuota keterwakilan 30 persen.
Akses perempuan untuk mendapatkan informasi, bagaimana menjadi caleg yang potensial sudah dibatasi sejak awal oleh partai politik, ujarnya
Tak hanya itu bentuk diskriminasi lainnya. Kalau caleg pria kampanye difasilitasi sedangkan perempuan tidak sehingga sosialisasi minim.
Lalu soal nomor urut perempuan di kertas suara jarang berada di urutan atas dan lebih banyak di bawah.
Kalaupun ada perempuan yang diberikan nomor urut satu, tetap saja dalam proses pencoblosan ada narasi seolah-olah laki-laki lebih memiliki kapasitas.
Kemudian kondisi tersebut diperburuk oleh cara pandang masyarakat terhadap caleg perempuan. Caleg perempuan masih dianggap lemah dan dipandang tidak sanggup menjalankan tugas serta memimpin.
Ada banyak alasan yang sifatnya personal terhadap perempuan yang ada di pikiran masyarakat sehingga caleg perempuan banyak tak dipilih dalam pemilu.
Ia mengemukakan, perempuan tidak percaya kepada sesama perempuan. Ini disebabkan oleh sistem budaya yang memandang perempuan adalah makhluk yang lemah.
Karena itu perlu didorong kepemimpinan perempuan untuk melahirkan sosok potensial yang bisa berkiprah di legislatif dan eksekutif guna memperjuangkan hak kaumnya.
Istri Gubernur Sumbar Nevi Zuairina yang merupakan anggota DPR RI terpilih 2019-2014 mengakui perjuangan menjadi caleg perempuan berat karena perempuan tidak memilih kaumnya. Perempuan kerap disepelekan saat bersaing dengan laki-laki.
Kalau perempuan memilih perempuan maka dipastikan kuota 30 persen akan terpenuhi, ujarnya.
Karena itu, dia menilai ini merupakan tugas berat untuk menyosialisasikan kepada masyarakat bahwa perempuan juga berperan dalam dunia politik dan bisa lebih memahami aspirasi kaumnya.
Ia memberi contoh saat berkunjung ke PAUD yang ada di Sumbar terungkap belum pernah mendapatkan perhatian dari pemerintah setempat. Salah satunya ditengarai karena tidak ada legislator perempuan.
Ia juga mengidentifikasi faktor lain sulitnya perempuan berkiprah di politik karena mengalami masalah ekonomi rumah tangga.
Nevi pun bertekad akan mempermudah akses ekonomi bagi perempuan sehingga perempuan bisa lebih banyak berkiprah di dunia politik.
Bagi dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Thaha Saifuddin Jambi, Irma Sagala M,Si tidak perlu ada kuota perempuan dalam dunia politik termasuk di legislatif.
Yang perlu dilakukan adalah penyadaran kepada semua pihak bahwa laki-laki dan perempuan layak serta sama-sama hidup beradab dan diberadabkan, ujarnya.
Ia menilai pandangan ini belum berkembang yaitu kesadaran dan kesepahaman yang sama mulai dari tingkat elit politik hingga akar rumput.
Ini perlu dimulai dari tingkat keluarga, kantor partai sehingga bisa mengakar di tengah masyarakat, katanya.
Bagi dia, selama ini sudah diberlakukan kuota 30 persen tetapi dalam kenyataan tidak efektif
Selain itu, kehadiran anggota politisi perempuan di legislatif tidak serta merta dapat mengusung kebijakan yang lebih ramah terhadap perempuan berkaca dari pengalaman yang sudah ada.
Kuota itu solusi jangka pendek, darurat dan sementara karena ketika perempuan mau dan berminat 90 persenpun bisa. Namun persoalannya mencari yang mau dan berminat itu sulit.
Agaknya perjuangan perempuan untuk bisa turut berperan lebih besar di bidang politik khususnya di legislatif masih harus melalui panjang.
Selain didera persoalan personal, budaya yang berkembang di masyarakat dan juga akses serta kesempatan yang masih terbatas.