Ucapan selamat usai Pemilu, awal sebuah rekonsiliasi

id Pemilu, Pemilu 2019,Rekonsiliasi usai pilpres

Ucapan selamat usai Pemilu, awal sebuah rekonsiliasi

Mantan wakil presiden dan calon presiden Amerika Serikat, Al Gore (REUTERS/Arnd Wiegmann)

Jakarta (ANTARA) - "Selamat malam. Beberapa waktu lalu saya telah berbicara dengan George W. Bush dan memberi selamat kepada beliau sebagai presiden ke-43 Amerika Serikat...saya telah meminta bertemu dengan beliau secepatnya sehingga kita bisa mulai mengobati pertentangan selama kampanye dan Pemilu yang baru saja kita lewati."

Itu adalah penggalan kalimat yang disampaikan Albert Arnold Gore Jr yang biasa disapa Al Gore dalam pidatonya pada 13 Desember 2000 atau sehari setelah Mahkamah Agung Amerika Serikat mengeluarkan keputusan untuk menghentikan semua upaya penghitungan ulang hasil pemilihan umum di negara bagian Florida, yang memperkuat kemenangan George W. Bush.

Selama lima pekan, Al Gore dan Bush terkunci dalam kemelut proses hitung ulang di negara bagian yang meniadi penentu kemenangan Pemilu di AS saat itu. Lawan Al Gore, George W. Bush, dinyatakan menang dengan selisih cuma ratusan suara (537 suara) di negara bagian penentu, Florida, bukan ribuan, bukan jutaan atau puluhan juta suara.

Dengan selisih suara sekecil itu, yang membuat Al Gore kalah suara elektoral, sekalipun secara nasional lebih unggul dalam jumlah suara pemilih (popular vote) karena artinya mayoritas pemilih memilih Al Gore, wakil presiden pada masa pemerintahan Bill Clinton itu mempunyai alasan untuk terus menggugat, tetapi dia dalam pidatonya yang dikutip oleh The New York Times, Al Gore menegaskan bahwa dia lebih memilih berhenti karena dia tahu kepentingan bangsa jauh lebih besar dari pada keyakinan diri dan ambisi pribadi.

Dia tak ingin bangsa dan rakyat terus terpecah. Dia ingin sekecil apa pun pun bolong menuju perpecahan segera disumbat karena dia sadar sekalipun tidak terpilih dia adalah pemimpin yang setiap lakunya diikuti pendukungnya.

Sejarah kemudian mencatat, kemenangan kontroversial Bush di Florida yang memastikan era kekepresidenannya, tetap kontroversial sampai sekarang. Namun para pemimpin politik AS tak ingin terjebak dalam egonya karena mereka menempatkan kesatuan nasional dan harmoni bangsa di atas segalanya.

Al Gore ingin bangsa melupakan perbedaan tajam selama Pemilu karena tantangan bangsa di depan menunggu untuk segera dihadapi dan diselesaikan. Untuk itulah, dia menyelamati lawannya sebagai awal dari mengirim pesan persahabatan dan rekonsiliasi yang sangat penting untuk menyatukan kembali negeri. "Ini adalah Amerika dan kita menempatkan negara di atas partai. Kita akan bersatu mendukung presiden kita."

Erdogan

Dalam pidato monumental yang rekonsiliatif itu, Al Gore mengajak pendukungnya menempatkan kesatuan bangsa di atas pilihan politiknya. Dia mendinginkan hawa panas yang dididihkan oleh retorika-retorika keras nan provokatif selama kampanye, dengan pidato rekonsiliatifnya itu.

Al Gore tahu pemimpin adalah manusia spesial yang ucapan dan tindakannya semestinya melebihi spektrum yang dipahami orang kebanyakan yang dengan cara itu orang kebanyakan mengikuti dan mencontoh.

Sembilan tahun kemudian di Turki pada penghujung Maret 2019, Presiden Recep Teyyep Erdogan menyatakan hasil Pilkada di Istanbul, yang pernah menjadi basis suara dan pendukungnya serta juga tempat di mana dia mengawali kesuksesan politiknya, harus diulang. Dia menggugat pemilu ulang, pengadilan mengabulkan, pemilu pun diulang, tetapi oposisi tetap menang.

Erdogan berhenti menggugat saat mengetahui menurut hasil penghitungan suara, calon yang diusung partainya tertinggal dengan margin hampir 10 persen. Dia tahu dia harus menghormati suara mayoritas rakyat yang tidak memilih kelompoknya, jika tidak ingin ketegangan di Istanbul, salah satu distrik ekonomi utama Turki, berlarut.

Dia tak mau terus menuntut, meskipun dia khawatir bahwa dia dan kubunya akan berbeda 180 derajat dengan kelompok oposisi yang menang di Istanbul, dalam cara bagaimana Turki dibangun atau Istanbul ditata, sehingga dapat menghalangi agenda-agenda nasional besarnya.

Oleh karena itu, walau cuma lewat Twitter, Erdogan tak sungkan menyelamati lawannya yang bahkan dia lontarkan secara eksplisit tanpa menunggu pengumuman resmi komisi Pemilu, melainkan dari hitung cepat lembaga survei.

"Saya mengucapkan selamat kepada Ekrem Imamoglu karena memenangkan Pemilu berdasarkan hasil tidak resmi," cuit Erdogan seperti dikutip laman harian terkemuka Turki, Hurriyet.

Ia juga segera mengalihkan perhatiannya dan publik pada isu yang jauh lebih besar, kelanjutan hubungan Turki dengan dunia internasional, dengan mengumumkan rencananya menghadiri Pertemuan Puncak Kelompok 20 di Osaka, Jepang, di tengah perselisihan perdagangan global, ketegangan baru di Teluk dan tak ketinggalan ancaman sanksi Amerika Serikat atas Turki terkait pembelian sistem pertahanan rudal S-400 buatan Rusia.

Hanya tiga jam setelah pemilihan ditutup, orang kuat Turki itu mengajak warganya untuk meninggalkan perselisihan pilkada.

Jusuf Kalla

Di negara-negara demokratis mana pun memberi selamat kepada lawan yang memenangkan Pemilu adalah hal biasa, bahkan menjadi kepantasan.

Bukan untuk apa-apa, tetapi lebih kepada upaya mendinginkan bangsa yang kelewat panas oleh perbedaan selama Pemilu dan sekaligus memberi pesan bahwa kesatuan bangsa adalah segalanya. Bahwa setelah sekian lama panas oleh retorika dan berbalas tudingan, maka bangsa harus diredakan kembali karena terlalu banyak pekerjaan rumah yang menunggu untuk dikerjakan oleh bangsa itu.

Kesatuan bangsa bisa dikuatkan kembali dengan menutup luka akibat retorika-retorika keras selama kampanye yang kadang mengancam menjerumuskan bangsa, agar rakyat bisa kembali berjalan seiring, bisa kembali menyatu demi kelanggengan negeri yang dikepung oleh potensi ancaman yang kasat atau tidak kasat mata, dan dikelilingi peluang menjadi makmur yang harus melibatkan semua komponen bangsa, baik mereka yang memilih si pemimpin yang terpilih maupun mereka yang tidak memilihnya.

Upaya mengobati luka itu diawali ketika pemimpin menyampaikan pesan rekonsiliatif kepada rakyatnya, dengan memulai dengan ucapan selamat yang menandai kontestasi telah selesai dan memberi sinyal kepada rakyat tak ada yang lebih berharga dari pada persatuan dan harmoni.

Banyak pemimpin Indonesia yang telah meneladankan bagaimana rekonsiliasi dimuliakan. Salah satunya, Jusuf Kalla.

Tak mau menjaga kesatuan dan persatuan berhenti kepada cuma retorika, Jusuf Kalla membumikan kemuliaan dalam berbangsa itu dengan memberi selamat kepada pemenang Pemilu 2009 yang dia ikuti.

"Kita ucapkan selamat kepada Pasangan SBY-Boediono. Kita taat kepada aturan," kata Jusuf Kalla beberapa saat setelah Mahkamah Konstitusi menolak gugatan pasangan Megawati-Prabowo dan pasangan Jusuf Kalla-Wiranto dalam sengketa Pilpres 2009. Jusuf Kalla bahkan menelepon Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyelamati sang pemenang Pemilu.

Al Gore, Erdogan, Jusuf Kalla, dan banyak lagi, adalah contoh mereka yang tak ingin kesatuan dan persatuan berhenti pada retorika. Mereka tahu pasti bahwa rekonsiliasi itu menguatkan bangsa, sebaliknya permusuhan hanya membusukkan dan merusakkan. (*)