Yayasan Fort de Kock bantah "caplok" lahan Pemkot Bukittinggi

id Yayasan Fort de Kock ,Sikes Fort de Kock ,Sengketa Lahan,Pemkot Bukittinggi

Yayasan Fort de Kock bantah "caplok" lahan Pemkot Bukittinggi

Kuasa hukum Yayasan Fort de Kock Didi Cahyadi Ningrat (tengah) didampingi pengurus yayasan saat memberikan keterangan pers di Padang, Selasa (18/6). (ANTARA Sumbar/Fathul Abdi)

PadangĀ  (ANTARA) - Yayasan Fort de Kock sebagai pengelola kampus Stikes For de Kock membantah tuduhan kalau pihaknya telah mencaplok tanah milik Pemerintah Kota Bukittinggi, Sumatera Barat (Sumbar), yang akan dijadikan lahan membangun gedung DPRD daerah setempat.

"Pembangunan kampus dilakukan di atas lahan sendiri, kami tidak terima dengan tuduhan mencaplok itu," kata kuasa hukum Yayasan Fort de Kock Didi Cahyadi Ningrat, dalam jumpa pers yang digelar di Padang, Selasa.

Ia menceritakan pihak yayasan telah membeli lahan di Bukit Batarah, Kelurahan Manggis Ganting Koto Selayan, Bukittinggi kepada beberapa pemilik tanah mulai 2005 hingga 2006.

Salah satu pemilik tanah itu atas nama Syafri St Pangeran, hingga dilakukan Pengikatan Jual Beli (PJB) di bawah akta notaris untuk tanah seluas 12.000 meter persegi.

Terhadap itu akhirnya keluar Sertifikat Hak Milik untuk tanah seluas 2.182 meter persegi, sedangkan tanah- tanah yang lain dibeli kepada pemilik tanah yang berada berdekatan dengan tanah Syafri sehingga total keseluruhan tanah untuk pembangunan kampus seluas 8.000 meter persegi.

Berbekal sejumlah luas tanah yang ada itu maka dilakukan perencanaan pembangunan gedung kampus Stikes, dimulai dengan penataan kontur tanah yang berbukit, pembuatan desain bangunan melalui jasa konsultan perencana, mengurus kelengkapan administrasi untuk pembangunan seperti Izin Mendirikan Bangunan (IMB), dan advice planing.

"Namun saat itu ternyata Pemkot Bukittinggi berencana membangun gedung DPRD dan kedudukannya bersinggungan dengan kampus Stikes," katanya.

Untuk mencari jalan keluar dari persoalan itu akhirnya dilakukan beberapa kali perundingan, hingga muncul opsi tukar guling lahan.

"Berdasarkan serangkaian negosiasi dan rapat terjadi empat kali perubahan desain atas advice planing dan tata letak, dan perubahan-perubahan tersebut untuk mengakomodir permintaan pemerintah," klaimnya.

Pembangunan akhirnya dilakukan hingga selesai, dan proses belajar-mengajar di kampus telah berlangsung dari tahun 2011 hingga 2019.

Namun tiba-tiba pada 7 Mei 2019 pihak yayasan menerima surat peringatan dengan nomor; 000/ 81/ SP-1/DPUPR-TR/2019 yang memerintahkan kepada yayasan untuk membongkar bangunan gedung yang diklaim berdiri di atas tanah milik Pemko. Dengan konsekuansi apabila tidak diindahkan maka dilakukan pembongkaran paksa.

"Kami tentu saja kaget karena sejauh ini sudah bersifat kooperatif," ujarnya.

Terhadap hal itu pihak yayasan berencana menempuh jalur hukum untuk menyelesaikan polemik, dengan mengajukan gugatan Tata Usaha Negara (TUN) serta keperdataan.

"Perintah untuk membongkar bangunan kampus kami nilai tidak berdasar dan melawan hukum, PTUN adalah salurannya," katanya.

Didi yang didampingi Ketua Yayasan FDK, Nazaruddin dan pengurus yayasan Firma Murni berharap pihak tidak berkepentingan dan tidak memahami persoalan agar menahan diri berkomentar, terutama di media massa sehingga makin memperkeruh suasana.

Pada versi yang berbeda, Pemkot Bukittinggi mengklaim telah membeli dua bidang tanah seluas 8.292 meter persegi secara legal menggunakan APBD tahun 2007, di lokasi Bukit Batarah kelurahan Manggis Gantiang.

Tanah itu berada persis berdampingan dengan tanah Yayasan Stikes Fort de Kock.

Kemudian Yayasan Stikes Fort de Kock membangun kampus stikes pada tahun 2011 dari tanah total 7.943 meter persegi dengan tiga sertifikat HGB.

Namun dalam pelaksanaannya, pembangunan itu mengambil tanah milik pemko seluas 1.708 meter persegi tanpa izin dari pemko.

Kemudian tanah yang seharusnya untuk fasilitas umum seluas 1.144 meter per segi, sehingga total bangunan yang menyalahi izin menurut Pemkot seluas 2.852 meter persegi. (*)