Bibit mahal, jadi kendala budi daya kedelai di Sumbar

id kedelai,sumbar

Bibit mahal, jadi kendala budi daya kedelai di Sumbar

Kepala Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Sumbar, Candra. (FOTO ANTARA/Ist)

Padang (ANTARA) - Budi daya komoditas kedelai di Sumatera Barat terkendala mahalnya harga bibit dan rumitnya perawatan sehingga petani kembali beralih pada komoditas lain seperti jagung, kata pejabat berwenang.

"Satu hektare lahan dibutuhkan sekitar 25 kilogram bibit dengan kisaran harga saat ini Rp15 ribu/kilogram atau sekitar Rp375 ribu. Sebagian besar petani punya dua hektare. Jadi lumayan mahal," kata Kepala Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Sumbar, Candra di Padang, Senin.

Di samping itu, perawatan untuk komoditas kedelai juga terbilang cukup rumit, karena tanaman itu rentan diserang hama yang mengakibatkan buah bercak-bercak hitam, terutama pada musim hujan. Cara untuk mengantisipasi hama itu, perlu dilakukan penyemprotan secara teratur, tergantung kondisi tanaman.

"Belum lagi untuk biaya panennya. Sebenarnya untuk meminamalkan biaya panen itu telah kita bantu alat mesin perontokannya melalui kelompok tani. Tapi persoalannya petani masih memilih cara tradisional, akibatnya cukup banyak tenaga yang dikerahkan dan membuat pengeluaran dana yang cukup besar," ujarnya.

Candra menyebut budi daya kedelai di Sumbar itu dimulai melalui program pajele (padi, jagung dan kedelai) dari pemerintah pusat.

Setelah dijalani, ternyata bibitnya cukup mahal, dan biaya pemeliharaan cukup tinggi. Akibatnya kini lahan yang dulu sempat ditanami kedelai, beralih ke tanaman lain seperti jagung.

Di Sumatera Barat, budi daya kedelai dalam skala cukup besar diantaranya tersebar di Kabupaten Agam, Pasaman Barat, Sijunjung, Dharmasaraya, dan Kabupaten Pesisir Selatan.

Untuk masing-masing daerah itu, Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Sumatera Barat telah menyerahkan bantuan alat mesin untuk panen kadelai sebanyak 100 unit melalui kelompok tani.

Namun bantuan itu ternyata belum bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh petani, padahal kebutuhan komoditas itu di Sumbar cukup tinggi terutama untuk usaha tempe dan tahu.

Berdasarkan berbagai kendala yang terjadi itu, Pemprov Sumbar memutuskan untuk tidak terlalu fokus pada komoditas itu pada 2019.